Diskursus tentang
negara hampir tidak pernah berhenti, lebih-lebih di zaman modern ini. Alasannya
sangat jelas dan sederhana karena tidak ada seorang pun yang terlepas dari
jarring-jaring negara (state). Kalau ada perbedaan, hanyalah pada kadar dan
intensitasnya.
Untuk mempermudah
analisa dalam penulisan ini, penyusun memandang perlu untuk memaparkan teori
tentang terbentuknya negara, teori berguna berguna untuk mendeskripsikan dan
untuk lebih mempertajam fakta yang hendak kita selidiki. Berikut di bawah ini
teori-teori tentang terbentuknya negara:
1. Teori
Ketuhanan
Teori ketuhanan ini didasarkan pada kepercayaan bahwa segala kejadian di
jagat raya ini terjadi karena kehendak Tuhan. Demikian juga, negara terbentuk
karena kehendak-Nya. Jadi, kekuatan supranatural atau gaib yang mneghendaki
terbentuknys negara itu. Menurut teori ini, suatu negara tidak atau belum akan
terjadi, jika Tuhan belum menghendakinya. Dewasa ini, indikasi masih dianutnya
paham dari teori ini, sekurang-kurangnya dapat dilihat dalam Undang-Undang
Dasar atau konstitusi berbagai negara yang mencantumkan kalimat :
“Dengan
Berkat Rahmat Tuhan” atau “ by the
grace of God”.
Di sini, asal usul raja atau kepala
negara yang memerintah dan mengelola negara adalah penjelmaan atau bayangan
Tuhan di bumi. Misalnya, Mikado di Jepang adalah kaisar yang dianggap sebagai
keturunan dewa matahari, Raja Iskandar Dzulkarnaen dinyatakan sebagai putra
Zeus Ammon. Bertolak dari anggapan itu, diyakini dan diterimalah bahwa
kekuasaan itu sesungguhnya dipindahkan dari Tuhan atau dewa-dewa kepada manusia
sehingga masalahnya tidak dapat dipecahkan secara ilmu pengetahuan oleh manusia
biasa.[1]
2. Teori
Hukum Alam
Hukum Alam Ini tidak bertitik tolak dari
negara, tetapi dari manusia, yakni manusia bebas dalam status naturalis. Ini
artinya, hukum alam bukan merupakan hukum buatan negara, melainkan hukum yang
berlaku menurut keadaan alam. Para penganut teori hukum alam ini menganggap
bahwa di dalam alam ini ada hukum yang berlaku abadi atau “universal”, yaitu
tidak berubah, berlaku dalam setiap waktu dan tempat.
Hukum alam menurut Prof Mr. R.
Krenenburg seperti dikutip solly lubis, adalah “manusia secara abstark, manusia
di luar negara, dibuat pangkal permulaan pikiran, mudah untuk dimengerti. Bukankah yang dicari
pertumbuhan negara, sehingga mudah dipahami? Manusia di luar ikatan negara,
manusia tak terikat, manusia luar, itulah yang dijadikan pangkal permulaan.
Untuk mempelajari dengan baik hukum-hukum yang menguasai pembentukan negara dan
hukum. (il faut considerer un home avant
I’ etablissment des societies-kita harus memandang manusia sebelum
terdapatnya masyarakat).”
Mengenai teori-teori hukum alam (kodrat)
ini, secara lebih luas Prof. Mr. Mahadi mengurai sebagai berikut: hukum alam
disebut juga dengan ius natural. Dalam
hal ini, para sarjana terbagi atas dua golongan, yaitu: 1) Sarjana yang
berpendapat bahwa hukum alam berakar pada agama; 2) Sarjana yang berpendapat
bahwa hukum alam sebagai hasil pikiran sehat (ratio).[2]
3. Teori
Kekuasaan
“Raja yang pertama adalah prajurit yang
berhasil”
Penggalan kalimat di atas dibuat
oleh Voltaire (1694-1778) untuk
menggambarkan bahwa negara itu terbentuk tidak lain karena kekuatan atau
kekuasaan. Pendapat yang sama sebenarnya sudah ada sejak zaman kuno. Kallikles,
misalnya, kurang lebih berpendapat seperti itu, yakni bila orang-orang yang
lebih baik telah memperoleh kekuasaan yang lebih besar daripada orang-orang
yang kurang baik, di situlah keadilan, begitu juga orang yang lebih kuat
terhadap orang yang lebih lemah. Sering terbukti bahwa hal tersebut terdapat pada manusia maupun makhluk lain, bahkan
pada negara-negara bahwa yang terkuat senantiasa memerintah (menguasai) yang
lemah.
Bertalian dengan itu, Karl Marx juga
mengajarkan bahwa negara adalah hasil dari pertarungan antara kekuatan-kekuatan
ekonomis dan negara merupakan alat pemeras bagi mereka yang lebih kuat terhadap
yang lemah, dan negara itu akan lenyap kalau perbedaan kelas itu tidak ada
lagi. Intinya Marx berpendapat bahwa negara itu timbul karena kekuasaan. Marx
berpendirian bahwa sebelum ada negara di dunia ini telah ada masyarakat komunis
purba. Buktinya, pada masa itu menurut Marx, belum dikenal hak milik pribadi
sehingga semua alat produksi menjadi milik seluruh masyarakat.
Jadi, menurut Marx bahwa lahirnya negara
untuk yang pertama kali adalah bersamaan dengan munculnya hak milik pribadi.
Adanya hak milik pribadi menyebabkan masyarakat terpecah menjadi dua kelas yang
saling bertentangan, yakni kelas pemilik alat-alat produksi dan kelas bukan
pemilik alat-alat produksi. Kelas pemilik alat-alat produksi. Atau popular kelas borjuis, merasa tidak nyaman
dengan kelebihan yang dimilikinya dalam dalam bidang ekonomi. Mereka memerlukan
suatu organisasi pemaksa yang disebut negara,
yaitu untuk mempertahankan pola produksi yang memberikan kedudukan istimewa
kepadanya untuk melanggengkan pemilikan atas alat-alat produksi tersebut.[3]
4. Teori
Perjanjian Masyarakat
Teori perjanjian masyarakat bertitik
tolak pada anggapan bahwa sebelum ada negara, manusia hidup secara
sendiri-sendiri, dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Saat
itu, belum ada masyarakat dan belum ada peraturan apapun juga, sehingga
kehidupan masyarakat sangat kacau.
Dalam keadaan demikian, manusia dengan
anugerah akal yang dimilikinya melakukan perkumpulan untuk membentuk sebuah
permufakatan bersama dalam rangka saling memelihara keselamatan hidup dan
kepemilikan harta. Permufakatan itu sering disebut dengan “Perjanjian Masyarakat” (contrac social). Salah satu
permufakatan itu adalah pendirian “organisasi kekuasaan bersama” yakni sebuah
negara. Perjanjian antar kelompok masyarakat atau manusia yang melahirkan
negara disebut pactum unionis.
Sementara perjanjian antar kelompok masyarakat dengan penguasa yang diangkat
dalam perjanjian pertama, pactum unionis
disebut pactum subjectionis. Isi pactum subjectionis adalah pernyataan
manusia untuk menyerahkan hak-haknya (hak-hak yang diberikan alam) kepada
penguasa dan berjanji akan taat kepadanya.
Dengan demikian, permufakatan atau
perjanjian tersebut melahirkan sejumlah hak dan kewajiban antara individu atau
kelompok individu (masyarakat) dengan negara di satu sisi, dan antara individu
dengan individu atau kelompok individu di sisi lain.[4]
5. Teori
Organis
Teori organis menyatakan bahwa negara
adalah suatu organisme. Teori ini sama dengan konsep biologis yang melukiskan
negara dengan istilah-istilah ilmu alam. Misalnya, terbentuk dan lahirnya
negara sama seperti (dianalogikan) kelahiran makhluk hidup lainnya. Jika ada
embrionya, perlahan-lahan embrio tersebut berkembang menjadi negara. Negara
tumbuh sebagai hasiul suatu evolusi seperti tumbuhnya makhluk hidup lain
seperti manusia, hewan, dan tumbuhan. Misalnya, negara bermula dari pola kerja
sama antarorganisasi sederhana, kemudian meningkat secara bertahap ke dalam
bentuk yang lengkap dan jelas. Dalam tahap terakhir inilah, lahir suatu negara.[5]
6. Teori
Garis Kekeluargaan (Patriarkhal, Mathriarkhal)
Teori
ini menerangkan bahwa negara dapat terbentuk dari perkembangan suatu keluarga
yang menjadi besar kemudian bersatu membentuk negara. Adakalanya garis
kekeluargaan berdasarkan garis ayah (pathriarkhal) dan adakalanya garis ibu
(mathriarkahl). Teori ini juga disebut sebagai teori perkembangan suku.
Orang-orang yang mempunyai hubungan darah (kekeluargaan) berkembang menjadi
suatu suku (tribe) lalu berkembang
lagi sehingga membentuk suatu negara.[6]
Oleh: Agus Riswandi, S.Sy.
[1] DR.H. Deddy Ismatullah,
S.H., M. Hum. Asep A Sahid Gatara Fh, M. Si.,
Ilmu Negara Dalam Multi Perspektif Kekuasaan, Masyarakat, Hukum, dan Agama,
Bandung: Pustaka Setia, Cetakan ke-2, 2007, hlm 57.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar