Rabu, 13 Januari 2016

Teori Hubungan Agama dan Negara

Hubungan Islam dan negara modern secara teoritis dapat diklasifikasikan ke dalam tiga (3) pandangan: integralistik, simbiotik,dan sekukaristik.
a.      Paradigma Integralistik
Paradigma integralistik hampir sama persis dengan pandangan negara teokrasi Islam. Paradigma ini menganut paham dan konsep agama dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupaka dua lembaga negara yang menyatu (Integrated). Paham ini juga memberi penegasan bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus sebagai lembaga agama. Konsep ini menegaskan kembali bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama (din) dan politik atau negara (dawlah).
Dalam pergulatan Islam dan negara modern, pola hubungan integratif ini kemudian melahirkan konsep tentang agama-negara, yang berarti bahwa kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan hukum dan prinsip keagamaan. Dari sinilah kemudian paradigma integralistik identik dengan paham Islam ad-Din wa dawlah (Islam sebagai agama dan negara), yang sumber hukum positifnya adalah hukum Islam (syariat Islam). Paradigma integralistik ini antara lain dianut oleh negara Kerajaan Saudi Arabia dan penganut paham Syi’ah di Iran. Kelompok pecinta Ali ra. ini menggunakan istilah imamah sebagaimana dimaksud dengan istilah dawlah yang banyak dirujuk kalangan Sunni.
b.     Paradigma Simbiotik
Menurut paradigma simbiotik, hubungan agama dan negara berada pada posisi saling membutuhkan dan bersifat timbal balik (simbiosis mutualita). Dalam pandangan ini, agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya, negara juga memerlukan agama sebagai sumber moral, etika, dan spiritualitas warga negaranya.
Paradigma simbiotik tampaknya besesuaian dengan pandangan Ibnu Taimiyah tentang negara sebagai alat agama di atas. Dalam kerangka ini Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan negara, maka agama tidak bisa berdiri tegak. Pendapat Ibnu taimiyah tersebut melegitimasi bahwa antara agama dan negara merupaka dua entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan. Oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak hanya berasal dari adanya kontrak sosial (social contract), tetapi bisa diwarnai oleh hukum agama (syariat). Dengan kata lain, agama tidak mendominasi kehidupan bernegara, sebaliknya ia menjadi sumber moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Model pemerintahan negara Mesir dan Indonesia dapa digolongkan kepada kelompok paradigma ini.

c.      Paradigma Sekularistik
            Paradigma sekularistik beranggapan bahwa terjadi pemisahan yang jelas antara agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain mempunyai garapan masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Negara adalah urusan publik, sementara agama merupakan wilayah pribadi masing-masing warga negara.
            Berdasarkan pada pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum positif yang berlaku adalah hukum yang berasal dari kesepakatan manusia melalui social contract yang tidak terkait sama sekali dengan hukum agama (syari’at). Konsep sekularistik dapat ditelusuri pada pandangan Ali Abdul Raziq yang menyatakan bahwa dalam sejarah kenabian Rasulullah SAW. pun tidak ditemukan keingiman Nabi Muhammad untuk mendirikan negara Islam. Negara Turki modern dapat digolongkan kedalam paradigma ini.[1]

Oleh: Agus Riswandi, S.Sy.



[1] A.Ubeidillah  dkk, Op. cit., hlm, 95-97.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar