BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ibadah merupakan
suatu kewajiban bagi umat manusia terhadap tuhannya dan dengan ibadah manusia
akan mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan di Dunia dan di Akhirat nanti.
Bentuk dan jenis Ibadah sangat bermacam-macam, seperti Shalat, puasa, naik
haji, membaca Al Qur’an, jihad dan lainnya.
Shalat merupakan salah satu kewajiban bagi kaum muslimin yang sudah baligh berakal, dan harus
dikerjakan bagi seorang mukmin dalam keadaan bagaimanapun.
Sahlat merupkan rukun Islam yang kedua setelah syahadat. Islam
didirikan atas lima sendi (tiang) salah satunya adalah shalat, sehingga barang
siapa yang mendirikan shalat, maka dia telah mendirikan agama, dan barang siapa
yang meninggalkan shalat, maka ia meruntuhkan agama (Islam)
Shalat yang wajib harus didirikan dalam sehari semalam sebanyak lima kali, berjumlah 17 raka’at.
Shalat tersebut wajib dilaksanakan oleh muslim baligh tanpa terkecuali baik
dalam keadaan sehat mapun sakit, dalam keadaan susah maupun senang, lapang
ataupun sempit.Selain shalat wajib yang lima ada juga shalat sunat.
Untuk membatasi
masalah bahasan, maka penulis hanya membahas tentang shalat wajib yang
berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.
B. Identifikasi Masalah
Hubungan ibadah dengan ilmu fiqih sangatlah erat karena dengan ilmu
fiqih kwalitas ibadah dapat tercapai dengan baik. Dan dengan Ilmu Fiqih dapat
mempelajari tata cara Shalat, syarat syahnya shalat,serta wajib dan
sunahnya shalat,dan lain-lain.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Mengingat luasnya bahasan yang berhubungan dengan shalat , maka
perlu kiranya penulis memberikan batasan
masalah yang akan penulis uraikan
nantinya. Secara garis besarnya Penulis membahas tentang :
1. Pengertian shalat
2. Dalil-dalil Yang Mewajibkan Shalat
3. Syarat-syarat Shalat
4. Rukun Shalat
5. Yang Membatalkan
Shalat
6. Sunah dalam Melakukan
Shalat
7. Makruh Shalat
8. Perbedaan Laki-laki
dan Perempuan dalam Shalat
9. Hal-hal Yang Mungkin
Terlupakan
10. Beberapa Pelajaran dari
Kewajiban Shalat
11. Macam-macam shalat
wajib
12. Waktu yang terlarang
untuk shalat
13. Shalat dalam perjalanan
14. Shalat Qashar
15. Tatacara shalat bagi
orang sakit
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Shalat
Sholat berasal dari bahasa Arab As-Sholah yang berarti do'a,. Sedangkan secara Syar’i
(terminologi), sholat adalah perkataan dan perbuatan tertentu/khusus yang
dibuka dengan takbir (takbiratul ihram) dan ditutup dengan salam sesuai dengan
syarat dan rukunnya.
Secara lahiriah Shalat berarti ‘Beberapa ucapan dan perbuatan yang
dimulai dengan takbir dan di akhiri dengan salam, yang dengannya kita beribadah
kepada Allah menurut syarat-syarat yang telah ditentukan’(Sidi Gazalba,88).
Secara hakiki Shalat ialah ‘Berhadapan hati, jiwa dan raga kepada
Allah,secara yang mendatangkan rasa takut kepada-Nya atau mendhairkan hajat dan
keperluan kita kepada Allah yang kita sembah dengan perkataan dan perbuatan’
(Hasbi Asy-syidiqi,59)
Dalam pengertian lain Shalat ialah salah satu sarana komunikasi antara
hamba dengan Tuhannya sebagai bentuk ibadah yang didalamnya merupakan amalan
yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang diawali dengan takbir
dan diakhiri dengan salam, serta sesuai dengan syarat dan rukun yang telah
ditentukan syara’ (Imam Basyahri Assayuthi,30).
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Shalat
adalah Suatu ibadah kepada Tuhan, berupa perkataan dengan perbuatan yang
diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam menurut syarat dan rukun yang
telah ditentukan syara’ berupa penyerahan diri secara lahir batin kepada Allah
dalam rangkah ibadah dan memohon ridho-Nya.
2. Hukum dan Dalil Yang
Mewajibkan Shalat
Hukum sholat dapat dikategorisasikan sebagai berikut :
Fardhu, Sholat fardhu ialah salat yang diwajibkan untuk
mengerjakannya. Sholat Fardhu terbagi lagi menjadi dua, yaitu :
Fardhu ‘Ain : ialah kewajiban yang diwajibkan kepada mukallaf
langsung berkaitan dengan dirinya dan tidak boleh ditinggalkan ataupun
dilaksanakan oleh orang lain, seperti sholat lima waktu, dan sholat
Jum’at(Fardhu 'Ain untuk pria).
Fardhu Kifayah : ialah kewajiban yang diwajibkan kepada mukallaf
tidak langsung berkaitan dengan dirinya. Kewajiban itu menjadi sunnah setelah
ada sebagian orang yang mengerjakannya. Akan tetapi bila tidak ada orang yang
mengerjakannya maka kita wajib mengerjakannya dan menjadi berdosa bila tidak
dikerjakan. Seperti sholat jenazah.
Nafilah (sholat sunah),Sholat Nafilah adalah sholat-sholat yang
dianjurkan atau disunnahkan akan tetapi tidak diwajibkan. Sholat nafilah
terbagi lagi menjadi dua, yaitu
Nafil Muakkad adalah salat sunah yang dianjurkan dengan penekanan
yang kuat (hampir mendekati wajib), seperti sholat dua hari raya, sholat
tarawih, sholat dhuha, sholat tahajjud, sholat sunah witir dan sholat sunah
thawaf.
Nafil Ghairu Muakkad adalah sholat sunah yang dianjurkan tanpa
penekanan yang kuat, seperti sholat sunah Rawatib dan sholat sunah yang
sifatnya insidentil (tergantung waktu dan keadaan, seperti salat kusuf/khusuf
hanya dikerjakan ketika terjadi gerhana).
Dalil yang mewajibkan shalat banyak sekali, baik dalam Al
Qur’an maupun dalam Hadits nabi Muhammad
SAW.
Dalil Ayat-ayat Al Qur’an yang mewajibkan shalat antara lain
berbunyi;
Artinya:
“Dan dirikanlah Shalat, dan
keluarkanlah Zakat, dan ruku’lah bersama-sama orang yang ruku’(QS.Al
Baqarah;43)
Artinya;
Kerjakanlah shalat, sesungguhnya shalat mencegah perbuatan yang
jahat dan mungkar”(QS. Al-Ankabut;45)
Perintah shalat ini hendaklah ditanamkan dalam hati dan jiwa kita
umat muslim dan anak-anak dengan cara
pendidikan yang lcermat, dan dilakukan sejak kecil sebagaimana tersebut dalam
hadis nabi Muhammad SAW :
Artinya ;
Perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan shalat diwaktu usia mereka
meningkat tujuh tahun, dan pukulah ( kalau mereka enggan melasanakan shalat)
diwaktu usia mereka meningkat sepuluh tahun (HR.. Abu Dawud)
3. Syarat-Syarat Shalat
· Beragama islam
· Sudah baligh dan berakal
· Suci dari hadats
· Suci seluruh anggota badan pakaian dan tempat
· Menutup aurat
· Masuk waktu yang telah ditentukan
· Menghadap kiblat
· Mengetahui mana rukun wajib dan sunah.
4. Rukun Shalat
· Niat
· Takbiratul ihram
· Berdiri tegak ,bagi yang kuasa ketika shalat fardhu. Boleh
duduk,atau berbareng bagi yang sedang sakit.
· Membaca surat Al-Fatihah pada tiap-tiap raka’at
· Ruku’ dengan tumakninah
· I’tidal dengan tumakninah
· Sujud dua kali dengan tumakninah
· Duduk antara dua sujud dengan tumakninah
· Duduk tasyahud akkhir dengan tumakninah
· Membaca tasyahud akhir
· Membaca shalawat nabi pada tasyahud akhir
· Membaca salam yang pertama
· Tertib; (Berurutan sesuai rukun-rukunnya)
5. Yang Membatalkan
Shalat
Shalat akan batal atau tidak sah apabila salah satu rukunnya tidak
dilaksanakan atau ditinggalkan dengan sengaja.
Adapun hal-hal yang dapat membatalkan shalat adalah sebagai berikut
:
· Berhadats
· Terkena Najis yang tidak dimaafkan.
· Berkata-kata dengan sengaja di;luar bacaan shalat.
· Terbuka auratnya
· Mengubah niat, misal ingin memutuskan shalat (niat berhenti shalat)
· Makan atau /minum.walau sedikit,
· Bergerak tiga kali berturut-turut, diluar gerakan shalat.
· Membelakangi kiblat
· Menambah rukun yang berupa perbuatan, seperti menambah ruku’sujud
atau lainnya dengan sengaja.
· Tertawa terbahak-bahak
· Mendahului Imam dua rukun.
· Murtad, keluar dari Islam.
6. Sunah dalam Melakukan
Shalat
Waktu mengerjakan shalat ada ,dua sunah, yaitu sunah Ab’adh dan
sunah Hai’at
a.
Sunah Ab’adh
1. Membaca tasyahud awal
2. Membaca shalawat pada
tasyahud awal,
3. Membaca shalawat atas
keluarga Nabi SAW pada tasyahud akhir.
4. Membaca Qunut pada
shalat Subuh dan shalat witir.
b.
Sunah Hai’at
1. Mengangkat keduabelah
tangan ketika takbiratul ikhram,ketika akan ruku’ dan ketika berdiri dari
ruku’.
2. Meletakan telapak
tangan yang kanan diatas pergelangan tangan kiri ketika sedekap,
3. Membaca do’a Iftitah
sehabis takbiratul ikhram.
4. Membaca Ta’awwudz
ketika hendak membaca fatihah,
5. Membaca Amiin ketika
sesudah membaca Fatihah,
6. Membaca surat Al-Qur’an
pada dua raka’at permulaan sehabis membaca Fatihah,
7. Mengeraskan bacaan
Fatihah dan surat pada raka’at pertama dan kedua, pada shalat magrib, isya’ dan
subuh selain makmum.
8. Membaca Takbir ketika
gerakan naik turun,
9. Membaca tasbih ketika
ruku’ dan sujud.
10. Membaca “sami’allaahu
liman hamidah” ketika bangkit dari ruku’ dan membaca “Rabbanaa lakal Hamdu”
ketika I’tidal,
11. Meletakan kedua telapak
tangan diatas paha ketika duduk tasyahud awal dan tasyahud akhir,dengan
membentangkan yang kiri dan mengenggamkan yang kanan, kecuali jari telumjuk.
12. Duduk Iftirasy dalam semua duduk shalat,
13. Duduk Tawarruk pada
duduk tasyahud akhir
14. Membaca salam yang
kedua.
15. Memalingkan muka ke
kanan dan ;kekiri ketika membaca salam pertama dan kedua
7. Makruh Shalat
Orang yang sedang shalat dimakruhkan :
· Menaruh telapak tangan di dalam lengan bajunya ketika Takbiratul
ikhram, ruku’ dan jsujud.
· Menutup mulutnya rapat rapat.
· Terbuka kepalanya,
· Bertolak pinggang,
· Memalingkan muka ke kiri dan ke kanan.
· Memejamkan mata,
· Menengadah ke langit,
· Menahan hadats
· Berludah
· Mengerjakan shalat di atas kuburan,
· Melakukan hal-hal yang mengurangi kekhusukan shalat.
8. Perbedaan Laki-laki
Dan Perempuan Dalam Shalat
LAKI-LAKI
· Merenggangkan kedua siku tangannya dari kedua lambungnya waktu
ruku’ dan sujud.
· Waktu ruku’ dan sujud mengangkat perutnya dari pahanya.
· Menyaringkan suaranya /bacaanya dikeraskan di tempatr keras.
· Bila member tahu sesuatu Membaca Tasbih, yakni ‘Subhaanallah’
· Auratnya barang antara Pusar dan lutut.
PEREMPUAN
· Merapatkan satu anggota kepada anggota lainnya.
· Meletakan perutnya pada dua tangan/ sikunya ketika sujud.
· Merendahkan suaranya/ bacaanya dihadapan laki-laki lain yang bukan
muhrimnya.
· Bila memberitahu sesuatu dengan bertepuk tangan,yakni tangan kanan
ditepukkan ke punggung telapak tangan kiri.
· Auratnya seluruh anggouta tubuh kecuali bagian muka dan kedua
telapak tangan
9. Hal-hal Yang Mungkin
Dilupakan
Dalam melaksanakan shalat mungkin ada hal-hal yang terlupakan
misalnya;
1.
Lupa
melaksanakan yang Fardhu
Bila yang terlupakan itu fardhu maka tidak cukup diganti dengan
sujud sawi bila ia ingat ketika sedang shalat, maka haruslah cepat-cepat ia
melaksanakannya. Bila ingat setelah salam, sedang jarak waktunya masih
sebentar, wajiblah baginya mengulangi (menunaikan) apa yang terlupakan, lalu sujud
sawi (sujud sunah karena lupa) sebelum salam.
2.
Lupa
melaksanakan sunah Ab’adh,
Jika yang terlupakan itu sunah ab-adh, kita tidak perlu mengulangi
apa yang terlupakan itu,kita meneruskan shalat itu sampai selesai, dan sebelum
salam kita disunahkan sujud sawi.
3.
Lupa
melakksanakan Sunah hai’at
Jika yang terlupakan itu sunah
hai’at, maka tidak perlu diulangi apa yang terlupakan itu dan tidak
perlu sujud sawi.
Sujud sawi itu hukumnya sunah, dan letaknya sebelum salam,
dikerjakan dua kali sebagaimana sujud biasa.
Apabila orang bimbang atau ragu tentan bilangan jumlah raka’at yang
telah dilakukan, haruslah ia menetapkan dengan yakin, yaitu yang paling sedikit
dan hendaklah ia sujud sawi.
10. Beberapa Pelajaran dari
Kewajiban Shalat
a.
Shalat
merupakan syarat menjadi taqwa.
Taqwa merupakan hal pyang penting dalam islam karena dapat
menentukan tingkah laku manusia, orang-orang yang betul-betul taqwa tidak
mungkin melakukan perbuatan keji dan mungkar, dan salah satu syarat orang yang
betul-betul taqwa adalah mendirikan
shalat sebagaimana firman tuhan dalam surat Al-Bakarah ayat; 43,dan 110, Surat
Al- Ankabut ayat; 45,dan surat An-Nuur, ayat; 56 .
b.
Shalat
merupakan benteng kemaksiatan
Shalat sebagai benteng kemaksiatan artinya Shalat dapat mencega
perbuatan keji dan mungkar. Semakin baik kwalitas shalat seseorang maka semakin
efektif pula benteng pertahanannya untuk memelihara dirinya dari perbuatan
maksiat.
c.
Shalat mendidik
perbuatan baik dan jujuur
Shalat akan mendidik perbuatan baik seseorang apabila dilaksanakan
secara khusuk. Banyak orang-orang yang shalat celaka, karena lalai akan
shalatnya.
Selain mendidik perbuatan baik Shalat juga mendidik perbuatan jujur
dan tertib, orang yang mendirikan shalat dengan baik tidak .mungkin
meninggalkan syarat dan rukunnya, karena apabila salah satu syarat atau
rukunnya ditinggalkan maka shalatnta akan batal atau tidak sah.
d.
Shalat akan
membangun etos kerja
Sebagaimana keterangan di atas bahwa pada intinya shalat merupakan
penentu apakah orang-orang itu baik atau buruk, baik dalam kehidupan
sehari-hari maupun di tempat dimana mereka bekerja. Apabila ia melaksanakan
shalat dengan khusuk dan ikhlas karena Allah, maka hal ini akan mempengaruhi
terhadap etos kerja, mereka tidak akan melakukan korupsi atau tidak jujur dalam
bekerja melaksanakan tugas.
11. Macam-macam shalat wajib
A. Macam-macam sholat wajib:
Sholat Isya' yaitu sholat yang dikerjakan 4 (empat) raka'at dengan
dua kali tasyahud dan satu kali salam. Waktu pelaksanaannya dilakukan menjelang
malam (+ pukul 19:00 s/d menjelang fajar)yang diiringi dengan sholat sunnah
qobliyah (sebelum) dan ba'diyah (sesudah) sholat isya.
Sholat Subuh yaitu sholat yang dikerjakan 2 (dua) raka'at dengan
satu kali salam. Adapaun waktu pelaksanaannya dilakukan setelah fajar (+ pukul
04:10) yang hanya diiringi dengan sholat sunnah qobliyah saja, sedang ba'diyah
dilarang.
Sholat Lohor (Dhuhur) yaitu sholat yang dikerjakan 4 (empat)
raka'at dengan dua kali tasyahud dan satu kali salam. Adapun waktu pelaksaannya
dilakukan sa'at matahari tepat di atas kepala (tegak lurus) + pukul 12:00
siang, yang diiringi dengan sholat sunnah qobliyah dan sholat sunnah ba'diyah
(dua raka'at-dua raka'at atau empat raka'at-empat raka'at dengan satu kali
salam).
Sholat Ashar yaitu sholat yang dikerjakan 4 (empat) raka'at dengan
dua kali tasyahud dan satu kali salam. Adapun waktu pelaksanaannya dilakukan
setelah matahari tergelincir (+ pukul 15:15 sore atau sebatas pandangan mata)
yang hanya diiringi oleh sholat sunnah qobliyah dengan dua raka'at atau empat
raka'at (satu kali salam).
Sholat Maghrib yaitu sholat yang dikerjakan 3 (tiga) raka'at dengan
dua kali tasyahud dan satu kali salam. Adapun waktu pelaksanaanya dilakukan
setelah matahari terbenam (+ pukul 18:00) yang diiringi oleh sholat sunnah
ba'diyah dua raka'at atau empat raka'at dengan satu kali salam, sedang sholat
sunnah qobliyah hanya dianjurkan saja bila mungkin : lakukan, tapi bila tidak :
jangan (karena akan kehabisan waktu).
12. Waktu yang terlarang untuk sholat
Sebagaimana yang telah diteangkan bahwa sholat sunnah mutlak itu
tidak mempunyai waktu yang tertentu, tetapi semua waktu boleh untuk sholat
sunnah mutlak, kecuali beberapa waktu yang berikut:
· Sesudah Subuh sampai terbit matahari
· Sesudah Ashar sampai terbenam matahari
· Tengah hari selin hari Jum’at
· Tatkala terbit matahari sampai setinggi tombak (jam 8-9)
· Tatkala hampir terbenam matahari sampai terbenamnya
‘Uqbah bin ‘Amir
radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Ada tiga waktu di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
kami untuk melaksanakan shalat di tiga waktu tersebut atau menguburkan jenazah
kami, yaitu ketika matahari terbit sampai tinggi, ketika seseorang berdiri di
tengah hari saat matahari berada tinggi di tengah langit (tidak ada bayangan di
timur dan di barat) sampai matahari tergelincir dan ketika matahari miring
hendak tenggelam sampai benar-benar tenggelam.” (HR. Muslim no. 1926)
Dalam hadits di atas kita pahami ada tiga waktu yang terlarang bagi
kita untuk melaksanakan shalat di waktu tersebut, yaitu:
· Ketika matahari terbit sampai tinggi
· Saat matahari di tengah langit, ketika tidak ada bayangan benda di
timur dan di barat
· Ketika matahari hendak tenggelam sampai benar-benar tenggelam
Dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu disebutkan,
termasuk waktu yang dilarang untuk shalat adalah setelah shalat subuh sampai
matahari tinggi dan setelah shalat ashar sampai matahari tenggelam. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak ada shalat setelah subuh sampai matahari tinggi dan tidak
ada shalat setelah ashar sampai matahari tenggelam.” (HR. Al-Bukhari no. 586
dan Muslim no. 1920)
13. Shalat Dalam Perjalanan
Ciri khas syariat Islam adalah keringanan dan kemudahan yang tersebar
di hampir semua bagian ibadah. Salah satunya adalah keringanan untuk menjama’ dan
mengqashar shalat. Menjama’ adalah melakukan dua shalat dalam satu waktu.
Misalnya, shalat Zhuhur dan shalat Ashar dikerjakan di waktu Zhuhur atau di waktu
Ashar. Sedangkan mengqashar adalah mengurangi jumlah rakaat shalat ruba'iyah
(yang jumlah rakaatnya empat) menjadi dua rakaat.
Namun semua keringanan itu punya aturan, sejumlah syarat dan
ketentuan untuk bisa dilakukan. Tidak boleh asal gabung atau asal mengurangi
begitu saja.
I. Shalat Jama'
Ada dua jenis jama', yang pertama disebut jama’ taqdim dan yang
kedua disebut jama’ ta'khir. Jama’ taqdim adalah melakukan dua shalat pada
waktu shalat yang pertama. Jama’ tadim ini hanya ada dua saja. yaitu shalat
Zhuhur dan shalat Ashar dilakukan pada waktu Zhuhur. Lalu shalat Maghrib dan
shalat Isya' dilakukan pada waktu Maghrib.Di luar keduanya, tidak ada jama’
lainnya.
A. Hal-hal Yang Membolehkan Jama'
a.
Dalam keadaan
safar yang panjang sejauh orang berjalan kaki atau naik kuda selama dua hari.
Para ulama kemudian mengkonversikan jarak ini menjadi 89 km atau tepatnya
88,704 km. Hujan yang turun membolehkan dijama'nya Mahgrib dan Isya' di waktu
Isya, namun tidak untuk jama’ antara Zhuhur dan Ashar.
Dengan dalil :
“Sesungguhnya merupakan sunnah bila hari hujan untuk menjama’
antara shalat Maghrib dengan Isya'” (HR. Atsram)
b.
Keadaan sakit
menurut Imam Ahmad bisa membolehkan seseorang menjama’ shalat. Dalilnya adalah
hadits nabawi
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjama’ shalat
bukan karena takut juga bukan karena hujan. “
B. Syarat Jama’ Taqdim
Untuk dibolehkan dan sah-nya jama’ taqdim, paling tidak harus dipenuhi
4 syarat. Bila salah satu syarat ini tidak terpenuhi, tidak sah bila dilakukan
jama’ taqdim.
a.
Niat Sejak
Shalat Yang Pertama
Misalnya kita menjama’ shalat Zhuhur dengan shalat Ashjar di waktu
Zhuhur, maka sejak berniat shalat Zhuhur kita juga harus sudah berniat untuk
menjama’ dengan Ashar. Niat untuk menjama’ ini masih dibolehkan selama shalat
Zhuhur belum selesai. Jadi batas kebolehan berniatnya hingga sebelum
mengucapkan salam dari shalat Zhuhur. Bila selesai salam kita baru berniat
untuk menjama', jama taqdim tidak boleh dilakukan. Sehingga shalat Ashar hanya
boleh dilakukan nanti bila waktu Ashar telah tiba.
b.
Tertib
Misalnya kita menjama’ shalat Maghrib dengan shalat Isya' dengan
taqdim, yaitu di waktu Maghrib, maka keduanya harus dilakukan sesuai dengan
urutan waktunya. Harus shalat Maghrib dulu yang dikerjakan baru kemudian shalat
Isya'. Bila shalat Isya' yang dikerjakan terlebih dahulu, maka tidak sah
hukumnya. Namun bila bukan jama’ taqdim,
dimungkinkan untuk melakukannnya dengan terbalik, yaitu shalat Isya' dulu baru
shalat Maghrib. Meski pun tetap lebih utama bila dilakukan dengan tertb urutan
waktunya.
c.
Al-Muwalat (Bersambung)
Maksudnya antara shalat yang awal dengan shalat kedua tidak boleh
terpaut waktu yang lama. Boleh diselingi sekadar lama waktu orang melakukan
shalat dua rakaat yang ringan. Juga boleh diselingi dengan mengambil wudhu'. Tapi
tidak boleh bila diselingi pekerjaan lain dalam waktu yang terlalu lama. Disunnahkan
di antara jeda waktu itu untuk mengulangi adzan dan iqamah, tapi bukan shalat
sunnah. Sebab pada hakikatnya kedua shalat ini disatukan. Ketiga syarat ini
berlaku mutlak untuk jama’ taqdim namun untuk jama’ ta'khir bukan menjadi
syarat, hanya menjadi sunnah saja.
d.
Masih Berlangsungnya
Safar Hingga Takbiratul Ihram
Shalat Yang Kedua Misalnya kita menjama’ taqdim shalat Maghrib
dengan Isya' di waktu Maghrib, maka pada saat Isya' kita harus masih dalam keadaan
safar atau perjalanan. Paling tidak pada saat takbiratul ihram shalat
Isya'. Hal itu terbayang kalau kita
melakukannya di kapal laut misalnya. Kapal itu harus masih dalam pelayaran pada
saat kita takbiratul ihram shalat Isya. Tidak mengapa bila selama shalat Isya itu,
kapal sudah merapat ke pelabuhan negeri kita.
C.Syarat Jama’ Ta'khir
Sedangkan syarat dibolehkannya jama’ ta'khir hanya ada dua saja.
Yaitu adalah :
a.
Berniat Untuk
Menjama' Ta'khir Sebelum Habisnya
Waktu Shalat Yang Pertama. Misalnya kita berniat untuk menjama’
shalat Maghrib dengan Isya di waktu Isya', maka sebelum habis waktu Maghrib,
kita wajib untuk berniat untuk menjama’ takhir shalat Maghrib di waktu Isya'. Niat
itu harus dilakuakan sebelum habisnya waktu shalat Maghrib.
b.
Safar Harus
Masih Berlangsung Hingga Selesainya Shalat Yang Kedua. Kita masih harus dalam
perjalanan hingga selesai shalat Maghrib dan Isya'. Tidak boleh jama’ ta'khir
itu dilakukan di rumah setelah safar sudah selesai. Sebab syarat menjama’
shalat adalah safar, maka bila safar telah selesai, tidak boleh lagi melakukan jama'.
Oleh karena itu, bila kita mau menjama’ ta'khir, jangan lakukan di rumah,
melainkan sebelum sampai ke rumah atau selama masih dalam kondisi perjalanan.
Bolehkah Shalat Isya' Dulu Baru Maghrib?
Bila jama’ taqdim, tidak boleh mendahulukan shalat Isya', tapi boleh
bila jama’ ta'khir. Namun tetap lebih utama bila dilakukan sesuai urutan
shalatnya. Kecuali ada uzdur tertentu yang tidak memungkinkan mendahulukan shalat
Maghirb. Misalnya, di waktu Isya di suatu masjid dimana orang-orang sedang
shalat Isya', tidak mungkin para musafir yang singgah mengerjakan shalat
Maghrib dengan berjamaah.
14. Shalat Qashar
Allah SWT berfirman di dalam Al-quran al-Kariem tentang keringanan
bagi orang yang sedang dalam perjalanan untuk mengurangi jumlah bilangan rakaat
shalat. Pengurangan bilangan rakaat ini disebut juga dengan istilah Qashr.
Yaitu pada shalat fardhu yang jumlah rakaatnya empat dikurangi menjadi dua
rakaat. Sedangkan yang jumlahnya tiga rakaat (shalat Maghrib) dan dua rakaat
(shalat Shubuh) tidak ada pengurangan jumlah rakaat.
1. Dasar dari Al-Quran
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu
men-qashar shalat, jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya
orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.(QS. An-Nisa : 110)
2. Dasar dari Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Dari ‘Aisah radhiyallahu ‘anhu berkata :
“Awal diwajibkan shalat adalah dua rakaat, kemudian ditetapkan bagi shalat
safar dan disempurnakan ( 4 rakaat) bagi shalat hadhar (tidak safar)”
(Muttafaqun’alaihi) Dari ‘Aisah
radhiyallahu ‘anhu berkata: ”Diwajibkan shalat 2 rakaat kemudian Nabi hijrah,
maka diwajibkan 4 rakaat dan dibiarkan shalat safar seperti semula (2 rakaat)”
(HR Bukhari)
Dalam riwayat Imam Ahmad menambahkan :
“Kecuali Maghrib, karena Maghrib adalah shalat witir di siang hari
dan shalat Subuh agar memanjangkan bacaan di dua rakaat tersebut”
· Kapankah Dibolehkan Menjama` / Qashar Shalat?
Sebenarnya untuk membolehkan seseorang menjama` shalatnya, ada
beberapa syarat yang harus terpenuhi. Tidak sembarang keadaan bisa membolehkan
jama` shalat, sebab kewajiban shalat itu sudah memiliki waktu yang tetap dan
pasti. Dan dimana pun seorang muslim mendapatkan waktu shalat, maka disitu dia
bisa melakukan shalat. Hal ini sangat jauh berbeda dengan bentuk ibadah ahli
kitab yang diwajibkan untuk ibadah HANYA didalam rumah ibadahnya yang khusus.
Tidak boleh dilakukan di sembarang tempat.
Buat umat Muhammad, bumi telah dijadikan suci, baik untuk tayammum atau
pun untuk melakukan shalat. Kapan pun seorang muslim mendengar Adzan, pada
prinsipnya dia bisa langsung mengerjakan shalat di tempat itu. Sebagaimana
hadits nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini :
“Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu bahwa nabi shallallahu
'alaihi wasallam bersabda,”Telah dijadikan bumi ini bagiku dan bagi umatku sebagai
masjid dan suci. Dimana pun umatku mendapatkan waktu shalat, maka dia suci.
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian, hampir-hampir tidak ada alasan bagi setiap muslim
untuk tidak shalat atau mengabung-gabung shalatnya, selama kondisi masih
memungkinkan. Diantara penyebab dibolehkannya
jama` dan qashar adalah safar adalah :
1. Bepergian atau safar
Syarat yang harus ada dalam perjalanan itu menurut ulama fiqih antara
lain :
a. Niat Safar
b. Memenuhi jarak minimal dibolehkannya safar yaitu 4 burd (88, 656
km ). Sebagian ulama berbeda dalam menentukan jarak minimal.
c. Keluar dari kota tempat tinggalnya
d. Shafar yang dilakukan bukan safar maksiat
2. Sakit
Imam Ahmad bin Hanbal membolehka jama` karena disebabkan sakit.
Begitu juga Imam Malik dan sebagian pengikut Asy-Syafi`iyyah. Sedangkan dalam kitab Al-Mughni karya Ibnu
Qudamah dari mazhab Al-Hanabilah menuliskan bahwa sakit adalah hal yang membolehkan
jama` shalat. Syeikh Sayyid Sabiq menukil masalah ini dalam
Fiqhussunnah-nya. Sedangkan Al-Imam
An-Nawawi dari mazhab Asy-Syafi`iyyah menyebutkan bahwa sebagian imam
berpendapat membolehkan menjama` shalat saat mukim (tidak safar) karena
keperluan tapi bukan menjadi kebiasaan1. Pendapat ini antara lain dikemukakan
oleh Ibnu Sirin dan Asyhab dari kalangan Al-Malikiyah. Begitu juga Al-Khattabi menceritakan
dari Al-Quffal dan Asysyasyi al-kabir dari kalangan Asy-Syafi`iyyah.
1 dalam Syarah An-Nawawi jilid 5 halaman 219
Begitu juga dengan ibnul munzir yang menguatkan pendapat dibolehkannya
jama` ini dengan perkataan Ibnu Abbas ra, “beliau tidak ingin memberatkan
ummatnya”.
Allah SWT berfirman:
“Allah tidak menjadikan dalam agama ini kesulitan”. (QS. Al-Hajj :
78)
“Dan bagi orang sakit tidak ada kesulitan” (QS. Annur : 61)
3. Haji
Para jamaah haji disyariatkan untuk menjama` dan mengqashar shalat
zhuhur dan Ashar ketika berga di Arafah dan di Muzdalifah dengan dalil hadits
berikut ini : Dari Abi Ayyub al-Anshari ra. Bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam menjama` Maghrib dan Isya` di Muzdalifah pada haji wada`. (HR.
Bukhari 1674).
4. Hujan
Dari Ibnu Abbas RA. Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat
di Madinah tujuh atau delapan ; Zuhur, Ashar, Maghrib dan Isya`”. Ayyub
berkata,”Barangkali pada malam turun hujan?”. Jabir berkata,”Mungkin”. (HR.
Bukhari dan Muslim)1.
Dari Nafi` maula Ibnu Umar berkata,”Abdullah bin Umar bila para umaro
menjama` antara maghrib dan isya` karena hujan, beliau ikut menjama` bersama
mereka”. (HR. Ibnu Abi Syaibah)2.
Hal seperti juga dilakukan oleh para salafus shalih seperti Umar bin
Abdul Aziz, Said bin Al-Musayyab, Urwah bin az-Zubair, Abu Shahih Bukhari 543
dan Shahih Muslim 705 dengan sanad
Shahih
Bakar bin Abdurrahman dan para masyaikh lainnya di masa itu. Demikian
dituliskan oleh Imam Malik dalam Al-Muwattha` jilid 3 halaman 40. Selain itu ada juga hadits yang menerangkan
bahwa hujan adalah salah satu sebab dibolehkannya jama` qashar.
Dari Ibnu Abbas ra. Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjama`
zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya` di Madinah meski tidak dalam keadaan takut
maupun hujan.” (HR. Muslim)1
.
5. Keperluan Mendesak
Bila seseorang terjebak dengan kondisi dimana dia tidak punya alternatif
lain selain menjama`, maka sebagian ulama membolehkannya. Namun hal itu tidak
boleh dilakukan sebagai kebiasaan atau rutinitas.
Dalil yang digunakan adalah dalil umum seperti yang sudah disebutkan
diatas.
Allah SWT berfirman :
“Allah tidak menjadikan
dalam agama ini kesulitan”. (QS. Al-Hajj : 78)
Dari Ibnu Abbas ra, “beliau tidak ingin memberatkan ummatnya”.
Dari Ibnu Abbas ra. Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjama`
zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya` di Madinah meski tidak dalam keadaan takut
maupun hujan.” (HR. Muslim).
C. Jarak Dibolehkan Jama` / Qashar
Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan menjama` shalat
dilihat dari segi batas minimal jarak perjalanan.
1. Pendapat Pertama :
1. Imam Malik ra, Imam Asy-Syafi`i ra, Imam Ahmad bin Hanbal ra.
dan lainnya mengatakan minimal berjarak 4 burud (4 farsakh). Para ulama sepakat
menyatakan bahwa jarak 1 Farsakh itu sama dengan 4 mil. Dalam tahkik kitab
Bidayatul Mujtahid dituliskan bahwa 4 burud itu sama dengan 88,704 km.
2. Pendapat Kedua :
Abu Hanifah dan Kufiyun mengatakan minimal perjalanan 3 hari.
3. Pendapat Ketiga :
Sedangkan Zahiri mengatakan tidak ada batas minimal seperti yang
telah kami sebutkan di atas. Jadi mutlak safar, artinya berapa pun jaraknya
yang penting sudah masuk dalam kriteria safar atau perjalanan. Seorang musafir dapat mengambil rukhsoh
shalat dengan mengqashar dan menjama’ jika telah memenuhi jarak tertentu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: Dari Yahya bin Yazid al-Hana’i berkata, saya bertanya pada Anas bin
Malik tentang jarak shalat Qashar? “Anas menjawab:” Adalah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam jika keluar menempuh jarak 3 mil atau 3 farsakh
beliau shalat dua rakaat” (HR Muslim)
Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:”
Wahai penduduk Mekkah janganlah kalian mengqashar shalat kurang dari 4 burd
dari Mekah ke Asfaan” (HR at-Tabrani, adDaruqutni) Dari Ibnu Syaibah dari arah
yang lain berkata:” Qashar shalat dalam jarak perjalanan sehari semalam”.
Adalah Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu dan Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhu mengqashar shalat dan buka puasa pada perjalanan menepun jarak 4 burd
yaitu 16 farsakh”. Ibnu Abbas menjelaskan jarak minimal dibolehkannya qashar
shalat yaitu 4 burd atau 16 farsakh. 1 farsakh = 5541 meter sehingga 16 Farsakh
= 88,656 km.
Dan begitulah yang dilaksanakan sahabat seperti Ibnu Abbas dan Ibnu
Umar. Sedangkan hadits Ibnu Syaibah menunjukkan bahwa qashar shalat adalah perjalanan
sehari semalam. Dan ini adalah perjalanan kaki normal atau perjalanan unta
normal. Dan setelah diukur ternyata jaraknya adalah sekitar 4 burd atau 16 farsakh
atau 88,656 km. Dan pendapat inilah yang diyakini mayoritas ulama seperti imam
Malik, imam asy-Syafi’i dan imam Ahmad serta pengikut ketiga imam tadi.
D. Batasan Waktu Untuk Tetap Menjama` / Mengqashar
Batasan berapa lama seseorang boleh tetap menjama` dan mengqashar
shalatnya, ada beberapa perbedaan pendapat di antara para fuqoha. Imam Malik dan Imam As-Syafi`i berpendapat
bahwa masa berlakunya jama` dan qashar bila menetap disuatu tempat selama 4 hari,
maka selesailah masa jama` dan qasharnya.
Sedangkan Imam Abu Hanifah dan At-Tsauri berpendapat bahwa masa
berlakunya jama` dan qashar bila menetap disuatu tempat selama 15 hari, maka
selesailah masa jama` dan qasharnya. Dan
Imam Ahmad bin Hanbal dan Daud berpendapat bahwa masa berlakunya jama` dan
qashar bila menetap disuatu tempat lebih dari 4 hari, maka selesailah masa
jama` dan qasharnya. Adapaun musafir
yang tidak akan menetap maka ia senantiasa mengqashar shalat selagi masih dalam
keadaan safar. Ibnul Qoyyim berkata,”Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal di Tabuk 20 hari mengqashar shalat”.
Disebutkan Ibnu Abbas :” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan
shalat di sebagian safarnya 19 hari, shalat dua rakaat. Dan kami jika safar 19
hari, shalat dua rakaat, tetapi jika lebih dari 19 hari, maka kami shalat dengan
sempurna”. (HR. Bukhari)
15. Tata cara shalat bagi orang sakit
Orang yang sakit tetap wajib mengerjakan shalat pada waktunya dan
melaksanakannya menurut kemampuannya, sebagaimana yang diperintahkan Allah
Subhanahu wa Ta'ala dalam firman_Nya: "Maka bertakwalah kamu kepada Allah
menurut kesanggupanmu" [at-Taghâbun/ 64:16]. Dan sabda Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam dalam hadits Imran Bin Husain Radhiyallahu 'anhu:
كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الصَّلَاةِ فَقَالَ صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ
تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
"Pernah penyakit wasir menimpaku, lalu aku bertanya kepada
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang cara shalatnya. Maka beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: Shalatlah dengan berdiri, apabila tak
mampu, maka duduklah dan bila tak mampu juga maka berbaringlah” [HR al-Bukhari
no. 1117].
Sesuai dengan hadits Imran Bin Husain Radhiyallahu 'anhu diatas
maka dapat dijabarkan tentang tata cara shalat bagi orang yang sakit. Tata
caranya yaitu:
1. Diwajibkan bagi orang yang sakit untuk shalat dengan berdiri
apabila mampu dan tak khawatir sakitnya bertambah parah, karena berdiri dalam
shalat wajib merupakan rukun shalat. Allah Azza wa Jalla berfirman: "Berdirilah
untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu" [al-Baqarah/ 2:238].
Diwajibkan juga bagi orang yang mampu berdiri walaupun dengan menggunakan
tongkat, bersandar ke tembok atau berpegangan pada tiang, berdasarkan hadits
Ummu Qais Radhiyallahu 'anha yang berbunyi:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا
أَسَنَّ وَحَمَلَ اللَّحْمَ اتَّخَذَ عَمُودًا فِي مُصَلَّاهُ يَعْتَمِدُ عَلَيْهِ
"Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika
berusia lanjut dan lemah, beliau memasang tiang di tempat shalatnya sebagai
sandaran". [HR Abu Dawud & dishahihkan al-Albani dlm Silsilah
Ash-Shohihah 319]. Demikian juga orang bungkuk diwajibkan berdiri walaupun
keadaannya seperti orang rukuk. Syeikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah berkata,
"Diwajibkan berdiri bagi seorang dalam segala caranya, walaupun menyerupai
orang ruku' atau bersandar kepada tongkat, tembok, tiang ataupun manusia".
2. Orang sakit yang mampu berdiri namun tidak mampu ruku' atau
sujud , dia tetap wajib berdiri. Dia harus shalat dengan berdiri dan melakukan
rukuk dengan menundukkan badannya. Bila dia tak mampu membungkukkan punggungnya
sama sekali, maka cukup dengan menundukkan lehernya, kemudian duduk, lalu
menundukkan badannya untuk sujud dalam keadaan duduk dengan mendekatkan
wajahnya ke tanah sebisa mungkin.
3. Orang sakit yang tidak mampu berdiri, maka dia melakukan
shalatnya dengan duduk, berdasarkan hadits Imrân bin Hushain dan ijma para
ulama. Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan, "Para ulama telah berijmâ'
bahwa orang yang tidak mampu shalat berdiri maka dibolehkan shalat dengan
duduk".
4. Orang sakit yang khawatir akan bertambah parah sakitnya atau
memperlambat kesembuhannya atau sangat susah berdiri, diperbolehkan shalat
dengan duduk. Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "Yang benar
adalah, kesulitan (Masyaqqah) membolehkan seseorang mengerjakan shalat dengan
duduk. Apabila seorang merasa susah mengerjakan shalat berdiri, maka dia boleh
mengerjakan shalat dengan duduk", berdasarkan firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala: "Allah Azza wa Jalla menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu" [al-Baqarah/ 2:185]. Sebagaimana orang yang
berat berpuasa bagi orang yang sakit, walaupun masih mampu puasa, diperbolehkan
baginya berbuka dan tidak berpuasa, demikian juga shalat, apabila berat untuk
berdiri, maka boleh mengerjakan shalat dengan duduk.
Orang yang sakit apabila mengerjakan shalat dengan duduk sebaiknya
duduk bersila pada posisi berdirinya berdasarkan hadîts ‘Aisyah Radhiyallahu
'anha yang berbunyi:
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي
مُتَرَبِّعًا
"Aku melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat dengan
bersila". Juga, karena duduk bersila secara umum lebih mudah dan lebih
tuma'ninah (tenang) daripada duduk iftirâsy. Apabila rukuk, maka lakukanlah
dengan bersila dan membungkukkan punggung serta meletakkan tangan di lutut,
karena ruku' dilakukan dengan berdiri. Dalam keadaan demikian, masih diwajibkan
sujud di atas tanah dengan dasar keumuman hadits Ibnu Abas Radhiyallahu 'anhu
yang berbunyi:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ الْجَبْهَةِ وَأَشَارَ بِيَدِهِ
عَلَى أَنْفِهِ وَالْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ
"Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda, “Aku diperintahkan untuk bersujud dengan 7 tulang, Dahi beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam mengisyaratkan dengan tangannya ke hidung, kedua
telapak tangan, 2 kaki dan ujung kedua telapak kaki" [Muttafaqun ‘Alaihi].
Bila tetap tidak mampu, maka dia melakukan sujud dengan meletakkan
kedua telapak tangannya ke tanah dan menunduk untuk sujud. Bila tidak mampu,
hendaknya dia meletakkan tangannya di lututnya dan menundukkan kepalanya lebih
rendah dari pada ketika ruku'.
5. Orang sakit yang tidak mampu melakukan shalat berdiri dan duduk,
cara melakukannya adalah dengan berbaring, boleh dengan miring ke kanan atau ke
kiri, dengan menghadapkan wajahnya ke arah kiblat. Ini berdasarkan sabda
Rasulullah dalam hadits ‘Imrân bin al-Hushain Radhiyallahu 'anhu:
صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ
تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
"Shalatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu maka duduklah
dan bila tidak mampu juga maka berbaringlah" [HR al-Bukhâri no. 1117].
Dalam hadits ini Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak
menjelaskan pada sisi mana seseorang harus berbaring, ke kanan atau ke kiri,
sehingga yang utama adalah yang termudah dari keduanya. Apabila miring ke kanan
lebih mudah, itu yang lebih utama baginya dan apabila miring ke kiri itu yang
termudah maka itu yang lebih utama. Namun bila kedua-duanya sama mudahnya, maka
miring ke kanan lebih utama dengan dasar keumuman hadits ‘Aisyah Radhiyallahu
'anha yang berbunyi:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ
التَّيَمُّنَ فِي شَأْنِهِ كُلِّهِ فِي نَعْلَيْهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ
"Dahulu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyukai
mendahulukan sebelah kanan dalam seluruh urusannya, dlm memakai sandal,
menyisir dan bersucinya" [HR Muslim no 396].
6. Orang sakit yang tidak mampu berbaring, boleh melakukan shalat
dengan terlentang dan menghadapkan kakinya ke arah kiblat, karena hal ini lebih
dekat kepada cara berdiri. Misalnya bila kiblatnya arah barat maka letak
kepalanya di sebelah timur & kakinya di arah barat.
7. Apabila tidak mampu menghadap kiblat dan tidak ada yang
mengarahkan atau membantu mengarahkannya, maka hendaklan dia shalat sesuai
keadaannya tersebut, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: "Allah
Azza wa Jalla tak membebani seseorang melainkan sesuai dgn kesanggupannya"
[al-Baqarah/ 2:286].
8. Orang sakit yang tidak mampu shalat dengan terlentang maka
shalatnya sesuai keadaannya dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"Maka bertakwalah kamu kepada Allah Azza wa Jalla menurut
kesanggupanmu" [at-Taghâbun/ 64:16].
9. Orang yang sakit dan tidak mampu melakukan shalat dengan semua
gerakan di atas (Dia tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya dan tidak mampu
juga dengan matanya), hendaknya dia melakukan shalat dengan hatinya. Shalat
tetap diwajibkan selama akal seorang masih sehat.
10. Apabila shalat orang yang sakit mampu melakukan perbuatan yang
sebelumnya tidak mampu, baik keadaan berdiri, ruku' atau sujud, maka dia wajib
melaksanakan shalatnya dengan kemampuan yang ada dan menyempurnakan yang
tersisa. Dia tidak perlu mengulang yang telah lalu, karena yang telah lalu dari
shalat tersebut telah sah.
11. Apabila yang orang sakit tidak mampu melakukan sujud di atas
tanah, hendaknya dia cukup menundukkan kepalanya dan tidak mengambil sesuatu
sebagai alas sujud. Hal ini didasarkan hadîts Jâbir Radhiyallahu 'anhu yang
berbunyi:
أَنَّ رَسُوْلَ الله عَادَ مَرِيْضًا فَرَآهُ يُصَلِّي عَلَى
وِسَادَةٍ فَأَخَذَهَا فَرَمَى بِهَا، فَأَخَذَ عُوْدًا لِيُصَلِّي عَلَيْهِ
فَأَخَذَهُ فَرَمَى بِهِ، قَالَ: صَلِّ عَلَى الأَرْضِ إِنِ اسْتَطَعْتَ وَإِلاَّ
فَأَوْمِ إِيْمَاءً وَاجْعَلْ سُجُوْدَكَ أَخْفَضَ مِنْ رُكُوْعِكَ
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjenguk orang
sakit, beliau melihatnya sedang mengerjakan shalat di atas (beralaskan) bantal,
beliau pun mengambil dan melemparnya, kemudian mengambil kayu untuk dijadikan
alas shalatnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Shalatlah
di atas tanah apabila engkau mampu dan bila tidak maka dengan isyarat dengan menunduk
(al-Imâ`) dan jadikan sujudmu lebih rendah dari ruku'mu".
BAB III
KESIMPULAN
Dari semua yang telah penulis uraikan di atas maka dapat
disimpulkan ;
1.Shalat merupakan penyerahan diri secara totalitas untuk menghadap
Tuhan, dengan perkataan dan perbuatan menurut syarat dan rukun yang telah
ditentukan syara’
2.Shalat merupakan kewajiban bagi kaum muslim yang baligh berakal
tanpa terkecuali.
3.Dalam shalat ada rukun sunah dan wajibnya.
4.Hikmah mendirikan shalat yaitu ;
a. Shalat mencega
perbuatan keji dan mungkar.
b. Shalat mendidik
perbuatan baik dan jujur.
c. Shalat akan
membangun etos kerja.
5. Jarak dibolehkannya seseorang mengqashar dan menjama’ shalat,
menurut jumhur ulama; yaitu pada saat seseorang menempuh perjalanan minimal 4
burd atau 16 farsakh atau sekitar 88, 656 km.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar