A.
Pengertian
Musytarak
Kata musytarak berasal dari kata Isytaraka yang berarti bersekutu.
Sedangkan secara istilah adalah satu
lafaz yang menunjukkan dua makna atau lebih.
Jadi lafaz musytarak adalah lafaz yang diletakkan untuk dua makna atau
lebih dengan peletakan yang bermacam-macam, dimana lafaz itu menunjukkan makna
yang ditetapkan secara ‘ain ditetapkan menurut bahasa untuk pandangan, untuk
mata air yang bersumber, dan untuk mata-mata, misalnya bagi lafaz al-quru
ditetapkan dalam bahasa, untuk pengertian suci dan haid, masing-masing arti
memiliki penggunaan pada tempat yang berbeda.
B.
Ketentuan Hukum
Lafadz Musytarak
Apabila dalam nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah terdapat lafadz
yang musytarak, maka menurut kaidah yang telah dirumuskan oleh para ulama’
ushul adalah sebagai berikut :
a.
Apabila lafadz
tersebut mengandung kebolehan terjadinya hanya musytarak antara arti bahasa dan
istilah syara’, maka yang ditetapkan adalah arti istilah syara’, kecuali ada
indikasi- indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah arti dalam
istilah bahasa.
b.
Apabila lafadz
tersebut mengandung kebolehan terjadinya banyak arti, maka yang ditetapkan
adalah salah satu arti saja dengan dalil-dalil (qarinah) yang menguatkan dan
menunjukkan salah satu arti tersebut. Baik berupa qarinah lafdziyah maupun
qarinah haliyah. Yang dimaksud qarinah lafdziyah adalah suatu kata yang
menyertai nash. Sedangkan qarinah haliyah adalah keadaan/kondisi tertentu
masyarakat arab pada saat turunnya nash tersebut.
c.
Jika tidak ada
qarinah yang dapat menguatkan salah satu arti lafadz-lafadz tersebut, menurut
golongan Hanafiyah harus dimauqufkan sampai adanya dalil yang dapat menguatkan
salah satu artinya. Menurut golongan Malikiyah dan Syafi’iyah membolehkan
menggunakan salah satu artinya.
C.
Sebab-Sebab
Terjadinya Lafadz Musytarak
Sebab-sebab terjadinya lafadz musytarak dalam bahasa arab sangat
banyak sekali, namun ulama’ ushul telah merumuskan sebab-sebab yang paling
mempengaruhi antara lain sebagai berikut :
1.
Terjadinya
perbedaan kabilah-kabilah arab di dalam menggunakan suatu kata untuk
menunjukkan terhadap satu makna. Seperti perbedaan dalam pemakaian kata يد , dalam satu kabilah, kata ini digunakan
menunjukkan arti “hasta secara sempurna” (كله ذراع).
Satu kabilah untuk menunjukkan (الساعدوالكف).
Sedangkan kabilah yang lain untuk menunjukkan khusus “telapak tangan”.
2.
Terjadinya
makna yang berkisar/ keragu-raguaan (تردد)
antara makna hakiki dan majazy (kiasan
atau perumpamaan).
3.
Terjadinya
makna yang berkisaran/keragu-raguaan تردد))
antara makna hakiki dan makna istilah urf. Sehingga terjadi perubahan arti satu
kata dari arti bahasa kedalam arti istilah, seperti kata-kata yang digunakan
dalam istilah syara’. Seperti lafadz الصلاة
yang dalam arti bahasa bermakna do’a, kemudian dalam istilah syara’ digunakan
untuk menunjukkan ibadah tertentu yang telah kita ma’lumi.
Contoh:
Yang Artinya: “dan wanita-wanita yang diceraikan itu, hendaklah
berdiam diri (iddah) 3 kali suci. (Al- Baqorah: 228)
Lafaz quru’ mempunyai dua arti yaitu datang bulan (haid) atau suci
D.
Macam-macam
Qorinah Lafaz Musytarak
Selanjutnya qorinah yang digunakan dalam mentarjih salah satu makna
dari lafaz musytarak dapat ditinjau dari empat segi antara lain sebagai
berikut:
· Qorinah yang ditinjau dari segi lafaz itu sendiri seperti: pentarjihan
makna haid bagi lafaz musytarak sebab materi kata quru’ menunjukkan arti berkumpul
dan berpindah, kemudian makna yang pertama diunggulkan untuk menunjukkan makna
haid karena quru’ merupakan ungkapan bagi berkumpulnya darah dalam rahin, yaitu
darah haid.
· Qorinah yang ditinjau dari segi kata atau kalimat sebelumnya dengan
kata lain qorinah yang mendahuli lafaz musytarak itu misalnya tsalasah sebelum
kata quru’ dalam firman Allah swt tentang iddah wanita yang ditholaq suaminya.
Kata tersebut adalah kata yang khusus yang berarti tiga, tidak lebih dan tidak
kurang jika yang dimaksudkan dengan kata quru’ itu suci, maka konsekuwensinya
ialah apabila seorang wanita diceraikan pada masa suci maka masa suci ini
dihitung dalam iddahnya, dan iddah tersebut kurang dari tiga quru’, jika masa
suci pertama tidak dimasukkan dalam hitungan iddah maka akan lebih dari tiga
quru’.
Selanjutnya jika yang dimaksudkan dengan kata quru’ haid maka tidak
akan terjadi kekurangan apabila seorang wanita ditholaq pada masa haid itu,
karena masa haid ini tidak dihitung, ini terbukti bahwa iddah budak perempuan
adalah dua haidnya padahal sebenarnya iddahnya adalah separuh dari iddah wanita
yang merdeka. Mestinya iddahnya adalah satu setengah dari iddahnya.
· Qorinah yang berupa dalil eksternal, yaitu dalil lain diluar nash
itu misalnya kata quru’ yang dapat berarti haid dan dapat pula berarti suci.
Dalam firman Allah swt yaitu:
228. “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu)
tiga kali quru” [142].
Quru' dapat diartikan Suci atau haidh.
Kemudian makna haid diunggulkan kandungan dalil lain yaitu sabda
nabi saw: Yang Artinya :”thalaq budak perempuan dua kali thalaq dan iddahnya
dua kali haid (H.R. Tirmidzi dan Abu Daud).
Dan sabda Nabi pada Fatimah binti Hubais Yang Artinya : tinggalkan
sholat pada masa-masa quru’mu”.
Dalam eksternal lainnya yang mendukung makna haid dalam firman
Allah swt dalam surat at- tholaq: 4:
Artinya:. Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause)
di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya),
Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan
yang tidak haid.
Tiga bulan dalam ayat di atas dijadikan dengan tiga quru’ bagi
orang-orang yang telah memasuki menopause atau tidak haid sama sekali. Ini
berarti penekanan iddah adalah pada haid hal ini terbukti melalui ayat itu
tadi.
Oleh: Wulan Purnamasari
Daftar Pustaka
Khallaf Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqih, Semarang; Dina Utama, 1996.
A. Hanafie A, Ushul Fiqih, Jakarta; Widjaya, 1959.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar