Rabu, 13 Januari 2016

Biografi Perjalanan Abdurrahman Wahid

1.  Latar Belakang Keluarga
K.H.Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan gelar Gus Dur, lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil pada tanggal 4 Agustus 1940 di Denayar Jombang, anak pertama dari enam bersaudara. Menurut wawancara Greg Barton, ternyata tanggal lahir sesungguhnya adalah tanggal 7 September[1]. Ayahnya K.H.Abd. Wahid Hasyim, adalah putra K.H.Hasyim Asy’ari, pendiri Pondok Pesantren Tebuireng dan pendiri Jam’iyah Nahdhatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia melalui jumlah anggota sedikitnya 40 juta Orang.[2]
Ibunya, Ny. Hj Sholehah juga putri tokoh besar NU, K.H.Bisri Syamsuri, pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang dan Rois Aam Syuriyah PBNU setelah K.H.Wahab Hasbullah, dengan demikian secara genetik K.H.Abd Rahman Wahid memang keturunan Dara biru. Gus Dur adalah cucu dari dua ulama terkemuka NU dan tokoh besar Bangsa Indonesia.
Kedua kakek Gus Dur, Kiai Bisri Syansuri dan Kiai Hasyim Asy’ari, sangat dihormati di kalangan NU, baik karena peran mereka dalam mendirikan NU maupu karena posisi mereka sebaagai ulama. Berbeda dengan yang biasa terjadi pada kaum ulama tradisional, Kyai Hasyim Asy’ari dan ayahnya Kiai Wahid Hasyim, yang menjadi menteri agama pada era pemerintahan Soekarno, juga dihormati oleh masyarakat menengah kota oleh karena kedekatanya dengan gerakan nasionalis yang memimpin perjuangan revolusioner melawan penjajah Belanda setelah akhir perang Dunia II.[3]
Lebih dari itu Gus Dur adalah keturunan Brawijaya IV (Lembu Peteng) lewat dua jalur yakni Ki Ageng Tarub I dan Joko Tingkir. Bersama Ir. Soekarno Presiden pertama Republik Indonesia dan kawan-kawan. Ayah Gus Dur termasuk salah seorang perumus “Piagam Jakarta”. Iapun pernah menjabat Menteri Agama pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS). Dalam kedudukannya sebagai keturunan kiyai paling terkemuka dan bangsawan di Indonesia.
Meskipun demikian kehidupan Gus Dur tidak mencerminkan seorang ningrat. Dia berproses dan hidup sebagaimana layaknya kebanyakan masyarakat. Gus Dur kecil belajar di Pondok Pesantren. Dalam usia 5 tahun ia sudah lancar membaca al-Qur’an, gurunya waktu itu adalah kakenya sendiri K.H.Hasyim Asy’ari.[4]
Masa kanak-kanak Abdurrahman Wahid dihabiskan dalam lingkungan pesantren milik kakeknya Hasyim Asy’ari (pendiri pondok pesantren Tebuireng) dan Kiai Bisri Syansuri (pendiri pondok pesantren Denanyar). Berkat bimbingan ibunya, Abdurrahman Wahid pada usia 4 tahun telah mampu membaca al-Qur’an beserta ilmu tajwidnya dan ditambah lagi dengan kehidupan pesantren yang terbiasa dengan kitab- kitab kuning yang berbahasa arab tanpa sakal dan arti Indonesia maupun Jawa. Kemudian di usia 4 tahun, Abdurrahman Wahid tinggal bersama ayahnya di Menteng Jakarta Pusat, ketika itu Wahid Hasyim dipercaya mengepalai  Shumubu,  semacam  kantor ustusan  agama  atas  permintaan pemerintah Jepang[5].
Sejak tinggal di Jakarta bersama dengan ayahnya, Abdurrahman Wahid langsung dibimbing oleh ayahnya dan sekaligus mendapatkan wawasan yang cukup. Dan sejak inilah awal mula ia diperkenalkan dunia yang sangat berbeda dari kehidupan pesantren yaitu: dunia perkotaan yang cukup kosmopolitan. Belum lagi didukung oleh kehidupan Wahid Hasyim yang mempunyai banyak relasi dengan berbagai lapisan masyarakat baik orang pribumi maupun orang luar serta berbagai tokoh baik dari kalangan agamawan,  nasionalis,  politikus  maupun  pemimpin  komunis,  termasuk Tan Malaka, Mohammad Hatta, anak muda bernam Munawir Sadzali (dari kalangan mahasiswa) serta seorang Jerman Williem Iskandar Bueller yang masuk  Islam.  Kemanapun  ayahnya  pergi  Abdurrahman  Wahid  selalu diajak, sehingga Abdurrahman Wahid sejak kecil sudah diperkenalkan dengan kehidupan yang berbeda dengan lingkungan pesantren di mana ia dilahirkan dan diasuh oleh ibunya. Mulai dari sini Abdurrahman Wahid diperkenalkan dengan orang-orang yang mempunyai berbagai ideologi dan latar belakang yang berbeda dengan dirinya.
Wahid Hasyim sangat menyayangkan melihat cupetnya pikiran di kalangan masyarakatnya oleh karena itu ia berharap banyak kelak anak- anaknya lebih-lebih pada putra kesayangannya (Abdurrahman Wahid) mempunyai pemahaman yang mendalam dengan berharap nantinya anak- anaknya dapat meneruskan perjuangan ayahnya. Karena keinginan yang tinggi maka Abdurrahman Wahid sering diajak dalam pertemuan- pertemuan ayahnya, dengan harapan mengenalkan terhadap berbagai realitas dan masyarakat tanpa memilah-milah golongan dan status sosial.
Sejak kanak-kanak Ibunya diberi isyarat bahwa Abdurrahman Wahid, anaknya kelak akan mengalami garis hidup yang berbeda dan memiliki kesadaran penuh akan tanggung jawab terhadap organisasi NU[6]. Pada tahun 1944, ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah berakhir, ayahnya diangkat sebagai ketua partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia  (Masyumi).Keadaain ini memutuskan keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta[7]. Menjelang remaja tanggungjawab tersebut secara dramatis meningkat. Pada sabtu  tanggal 18 April 1953, Gus Dur bepergian menemani Ayahnya untuk suatu pertemuan NU di Sumedang, yang dapat ditempuh dengan mobil dalam waktu beberapa jam saja dan terletak disebelah tenggara Jakarta. Di jalan menuju kota Bandung yang berliku-liku melalui pegunungan berapi dan menjadi punggung pulau Jawa. Ketika perjalanan berada antara Cimahi dan Bandung, Wahid Hasyim dan Gus Dur bersama dengan Argo Sutjipto, seorang penerbit yang merupakan sahabatnya, terjadi kecelakaan sekitar pukul 01.00 siang tetapi mobil ambulan dari Bandung baru tiba ditempat kejadian sekitar pukul 04.00 sore. Pada pukul 10.30 pagi keesokan harinya, Wahid Hasyim tak lagi dapat bertahan dan meninggal dunia. Beberapa jam kemudian Argo juga meninggal dunia. Wahid Hasyim, yang merupakan harapan banyak orang di Indonesia, telah menghembuskan nafas terakhir, ia berusia 38 tahun. Gus Dur baru berusia 12 tahun.[8]
2.  Latar Belakang Pendidikan
Meskipun berasal dari keluarga santri, sebagian pendidikan formal Abdurrahman Wahid, ditempuh di sekolah-sekolah sekuler. Ia lulus sekolah rakyat (SR) di Jakarta tahun 1953. Kemudian melanjutkan pendidikannya pada Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) Yogyakarta, tahun 1953-1957. Dikota ini ia tinggal dirumah salah seorang anggota Majlis Tarjih Muhammadiyah, KH. Junaidi. Pergaulan dengan beberapa tokoh lintas NU ini telah membuka cakrawala Abdurrahman Wahid dalam memandang komunitas keberagamaan lain yang perlu dihormati. Dan bisa hidup sejajar secara humanis membangun kehidupan bersama yang penuh keadilan dan demokratis. Dari tahun 1957-1959 ia belajar di pesantren Tegal Rejo Magelang dan kemudian pindah ke pesantren Mu’allimat Jombang sampai tahun 1963. Kemudian ia juga pindah ke pesantren Krapyak Yogyakarta, dan menetap dirumah tokoh terkemuka KH Ali Ma’sum.[9]
Tumbuh di lingkungan pesantren, bukan berarti seluruh pendidikannya semata-mata bersifat keagamaan. Terutama dalam hal pendidikan yang bersifat informal, Abdurrahman Wahid sejak kecil sudah banyak diperkenalkan dengan bacaan-bacaan di luar literatur tradisi pesantren: novel, biografi tokoh dunia, dan ideologi sosial-politik. Kesempatan  yang  luas  ini  bertemu  dengan  minat  baca  Abdurrahman Wahid sendiri yang sangat tinggi. Jadilah dia seorang pembaca, pembelajar, dan pencari yang penuh gairah dan sampai tingkat tertentu membentuknya menjadi seorang otodidak sejati[10].
Pada usia 22 tahun, Gus Dur berhasil menamatkan beberapa kitab standar mu‟tabarah Pondok Pesantren. Sehingga dia dapat dikatakan telah memenuhi syarat untuk menjadi seorang alim. Dalam usia itu ia kemudian berangkat menuju Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan melanjutkan studynya ke Timur Tengah. Pada tahun 1964 Gus Dur melanjutkan study di Al-Azhar Islamic University Mesir, mengambil konsentrasi Departemen of Higer Islamic and Arabic Studies.
Setelah tiba di Mesir Gus Dur menemui kendala, sehingga praktis selama dua tahun disana waktunya tebuang hanya untuk mengurus Ijazah tadi. Ketika akhirnya ia diterima di Fakultas Syari’ah Universitas Al Azhar, namun lagi-lagi hatinya tak terpuaskan karena pelajaran yang dia terima disana rata-rata sudah dia pelajari di pesantren, dan untuk menghilangkan rasa bosan sebagai gantinya Gus Dur menghabiskan waktunya disalah satu perpustakaan lengkap di Kairo Selama kuliah di Kairo ia lebih aktif ke perpustakaan, nonton film dan selebihnya diisi dengan kegiatan organisasi, akibatnya Gus Dur tidak naik tingkat dalam kuliahnya di Al Azhar. Mendengar kegagalan kuliyah Gus Dur di Mesir, gadis pujaannya Nuriyah mengirim surat dari tanah air kepadanya di Mesir yang bernada motifasi dan menghibur, “Kamu harus berhasil dalam kuliahmu seperti berhasilnya kamu menanamkan perasaan dalam hatiku,” tulis Nuriyah.[11]
Setelah beberapa lama tinggal di Mesir, Gus Dur memutuskan untuk menghentikan studi ditengah jalan sewaktu beranggapan bahwa Kairo sudah tidak kondusif lagi dengan keinginannya. Ia pindah ke Baghdad irak dan mengambil fakultas sastra. Pada saat di Baghdad ia menunjukan minat yang serius terhadap kajian Islam di Indonesia, hingga kemudian ia dipercaya untuk meneliti asal-usul keberdaan Islam di Indonesia.[12]
Pada 1966 Gus Dur pun pindah ke Irak dimana negara ini memiliki peradaban Islam yang sangat maju. Ia masuk dalam Departement of Religion di Universitas Baghdad. Selepas belajar di Baghdad Gus Dur bermaksud melanjutkan studi ke Eropa, namun karena persyaratan yang ketat ia putus asa. Akhirnya Gus Dur berinisiatif melakukan kunjungan dan menjadi pelajar keliling dari satu universitas ke universitas lainnya.
Pada akhirnya ia menetap di Belanda selama enam bulan dan mendirikan perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa. Untuk membiayai kebutuhannya dua kali sebulan ia pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker.
Perjalanan keliling studi Gus Dur berakhir pada tahun 1971. Dia kembali ke Jawa dan mulai memasuki kehidupan baru. Sepulang ke Indonesia, ia kembali ke habitatnya semula yakni dunia pesantren. Dari tahun 1972 hingga 1974, ia di percaya menjadi dosen sekaligus menjabat sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy'ari Jombang. Tahun 1974 sampai 1980 oleh pamannya, K.H. Yusuf Hasyim, diberi amanat untuk menjadi sekretaris umum Pesantren Tebuireng, Jombang. Selama periode ini ia secara teratur mulai terlibat dalam kepengurusan NU dengan menjabat Katib awal Syuriah PBNU sejak tahun 1979.[13]
Pada tahun 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta dan merintis Pesantren Ciganjur dan awal tahun 1980, Gus Dur dipercaya sebagai wakil katib Syuriah PBNU. Pada 1984, Gus Dur dipilih sebagai tim ahl hall wa al-‘aqdi sebagai ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Ia juga menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia tahun 1986-1987. Lalu pada tahun 1991-1999 Gus Dur diangkat menjadi ketua Forum Demokrasi.
Gus Dur pernah terbuka menyatakan bahwa ia memiliki darah Tionghoa. Mengaku keturunan Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri kesultanan Demak. Tan A lok dan Tan Eng Hwa adalah merupakan anak dari putri campa, putri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V. Tan Kim Han sendiri berdasarkan penelitian seorang peneliti perancis, Louis Charles, di identifikasi sebagai syekh Abdul Qadir Al Shini yang makamnya di daerah Trowulan, Jawa Timur.[14]


Oleh: Agus Riswandi, S.Sy.

[1] Di beberapa buku banyak tertulis bahwa tanggal lahir Gus Dur adalah 4 Agustus 1940. akan tetapi  menurut  Greg  Barton  ketika  wawancara  dengan  Gus  Dur,  sebenarnya  Gus  Dur  memang dilahirkan pada hari ke empat, bulan ke delapan. Padahal tanggal itu adalah menurut kalender Islam, yakni bulan Sya’ban. Tetapi pejabat catatan sipil setempat mencatat tanggal 4 Agustus sebagai tanggal lahir Gus Dur. Lihat Greg Barton, Biografi Gus Dur, terj, (Yogyakarta: LKiS, 2008), cet. XI, h. 25.
[2] K.H.A.Mustofa Bisri,Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan GUS DUR, (Cet. I PT. Remaja Rosdakarya Bandung 2000). Hlm, 4. 

[3] Greg Barton., Ibid.. hlm. 26
[4] Ibid, Hlm, 6.
[5] Greg Barton, Biografi…, hlm. 34
[6] Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 79.
[7] Pada tahun 1949, ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah berakhir, ayahnya diangkat  sebagai  Menteri  Agama  pertama,  sehingga  keluarga  Wahid  Hasyim  pindah  ke  Jakarta. Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu yang terdiri dari para tokoh-dengan berbagai bidang profesi yang sebelumnya telah dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi Menteri Agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi seorang anak bernama Abdurrahman Wahid. Secara tidak langsung, Gus Dur juga mulai berkenalan dengan dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya yang sering ke rumahnya.
[8] Greg Barton, Biografi Gus Dur The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid,terjemahan dari Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahidalih bahasa Lie Hua, cet. XI, ( Yogyakarta:LKiS,2011), h. 40-42.
[9] Almarhum KH. Ali Ma`sum adalah ulama yang sangat disegani dikalangan Nahdlatul Ulama, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak; Pernah menjabat sebagai Rais `Am PBNU
[10] Greg Barton,., hlm. 40
[11] K.H.A.Mustofa Bisri. Op. Cit, hlm, 16.
[12] Mamun Murod al-Brebesy, Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur Dan Amien Rais Tentang Negara, (Jakarta: Raja Grafindo, 1999), hlm, 99.
[13] Abdul Ghofur, Demokratisasi dan Prospek Hukum di Indonesia, cet.I, (Yogyakarta: pustaka pelajar, 2002), hlm, 57-58.
[14] Muhammad Zakki, Gus Dur Presiden Akhirat, (Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka, 2010), hlm, 2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar