1. Latar Belakang Keluarga
K.H.Abdurrahman Wahid atau
yang lebih dikenal dengan gelar Gus Dur, lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil
pada tanggal 4 Agustus 1940 di Denayar Jombang, anak pertama dari enam
bersaudara. Menurut wawancara Greg Barton, ternyata tanggal lahir sesungguhnya
adalah tanggal 7 September[1].
Ayahnya K.H.Abd. Wahid Hasyim, adalah putra K.H.Hasyim Asy’ari, pendiri Pondok
Pesantren Tebuireng dan pendiri Jam’iyah Nahdhatul Ulama (NU),
organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia melalui jumlah anggota
sedikitnya 40 juta Orang.[2]
Ibunya, Ny. Hj Sholehah juga
putri tokoh besar NU, K.H.Bisri Syamsuri, pendiri Pondok Pesantren Denanyar
Jombang dan Rois Aam Syuriyah PBNU setelah K.H.Wahab Hasbullah, dengan demikian
secara genetik K.H.Abd Rahman Wahid memang keturunan Dara biru. Gus Dur adalah
cucu dari dua ulama terkemuka NU dan tokoh besar Bangsa Indonesia.
Kedua kakek Gus Dur, Kiai
Bisri Syansuri dan Kiai Hasyim Asy’ari, sangat dihormati di kalangan NU, baik
karena peran mereka dalam mendirikan NU maupu karena posisi mereka sebaagai
ulama. Berbeda dengan yang biasa terjadi pada kaum ulama tradisional, Kyai
Hasyim Asy’ari dan ayahnya Kiai Wahid Hasyim, yang menjadi menteri agama pada
era pemerintahan Soekarno, juga dihormati oleh masyarakat menengah kota oleh
karena kedekatanya dengan gerakan nasionalis yang memimpin perjuangan
revolusioner melawan penjajah Belanda setelah akhir perang Dunia II.[3]
Lebih dari itu Gus Dur
adalah keturunan Brawijaya IV (Lembu Peteng) lewat dua jalur yakni Ki Ageng
Tarub I dan Joko Tingkir. Bersama Ir. Soekarno Presiden pertama Republik
Indonesia dan kawan-kawan. Ayah Gus Dur termasuk salah seorang perumus “Piagam
Jakarta”. Iapun pernah menjabat Menteri Agama pada masa Republik Indonesia
Serikat (RIS). Dalam kedudukannya sebagai keturunan kiyai paling terkemuka dan
bangsawan di Indonesia.
Meskipun demikian kehidupan
Gus Dur tidak mencerminkan seorang ningrat. Dia berproses dan hidup sebagaimana
layaknya kebanyakan masyarakat. Gus Dur kecil belajar di Pondok Pesantren.
Dalam usia 5 tahun ia sudah lancar membaca al-Qur’an, gurunya waktu itu adalah
kakenya sendiri K.H.Hasyim Asy’ari.[4]
Masa kanak-kanak Abdurrahman
Wahid dihabiskan dalam lingkungan pesantren milik kakeknya Hasyim Asy’ari
(pendiri pondok pesantren Tebuireng) dan Kiai Bisri Syansuri (pendiri pondok
pesantren Denanyar). Berkat bimbingan ibunya, Abdurrahman Wahid pada usia 4
tahun telah mampu membaca al-Qur’an beserta ilmu tajwidnya dan ditambah lagi
dengan kehidupan pesantren yang terbiasa dengan kitab- kitab kuning yang
berbahasa arab tanpa sakal dan arti Indonesia maupun Jawa. Kemudian di usia 4
tahun, Abdurrahman Wahid tinggal bersama ayahnya di Menteng Jakarta Pusat,
ketika itu Wahid Hasyim dipercaya mengepalai
Shumubu, semacam kantor ustusan agama
atas permintaan pemerintah Jepang[5].
Sejak tinggal di Jakarta bersama
dengan ayahnya, Abdurrahman Wahid langsung dibimbing oleh ayahnya dan sekaligus
mendapatkan wawasan yang cukup. Dan sejak inilah awal mula ia diperkenalkan
dunia yang sangat berbeda dari kehidupan pesantren yaitu: dunia perkotaan yang
cukup kosmopolitan. Belum lagi didukung oleh kehidupan Wahid Hasyim yang
mempunyai banyak relasi dengan berbagai lapisan masyarakat baik orang pribumi
maupun orang luar serta berbagai tokoh baik dari kalangan agamawan, nasionalis,
politikus maupun pemimpin
komunis, termasuk Tan Malaka,
Mohammad Hatta, anak muda bernam Munawir Sadzali (dari kalangan mahasiswa)
serta seorang Jerman Williem Iskandar Bueller yang masuk Islam.
Kemanapun ayahnya pergi
Abdurrahman Wahid selalu diajak, sehingga Abdurrahman Wahid sejak
kecil sudah diperkenalkan dengan kehidupan yang berbeda dengan lingkungan
pesantren di mana ia dilahirkan dan diasuh oleh ibunya. Mulai dari sini
Abdurrahman Wahid diperkenalkan dengan orang-orang yang mempunyai berbagai
ideologi dan latar belakang yang berbeda dengan dirinya.
Wahid Hasyim sangat
menyayangkan melihat cupetnya pikiran di kalangan masyarakatnya oleh karena itu
ia berharap banyak kelak anak- anaknya lebih-lebih pada putra kesayangannya
(Abdurrahman Wahid) mempunyai pemahaman yang mendalam dengan berharap nantinya
anak- anaknya dapat meneruskan perjuangan ayahnya. Karena keinginan yang tinggi
maka Abdurrahman Wahid sering diajak dalam pertemuan- pertemuan ayahnya, dengan
harapan mengenalkan terhadap berbagai realitas dan masyarakat tanpa memilah-milah
golongan dan status sosial.
Sejak kanak-kanak Ibunya
diberi isyarat bahwa Abdurrahman Wahid, anaknya kelak akan mengalami garis
hidup yang berbeda dan memiliki kesadaran penuh akan tanggung jawab terhadap
organisasi NU[6].
Pada
tahun 1944, ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah berakhir, ayahnya
diangkat sebagai ketua partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).Keadaain ini memutuskan keluarga
Wahid Hasyim pindah ke Jakarta[7]. Menjelang remaja tanggungjawab tersebut secara dramatis meningkat.
Pada sabtu tanggal 18 April 1953, Gus
Dur bepergian menemani Ayahnya untuk suatu pertemuan NU di Sumedang, yang dapat
ditempuh dengan mobil dalam waktu beberapa jam saja dan terletak disebelah
tenggara Jakarta. Di jalan menuju kota Bandung yang berliku-liku melalui
pegunungan berapi dan menjadi punggung pulau Jawa. Ketika perjalanan berada
antara Cimahi dan Bandung, Wahid Hasyim dan Gus Dur bersama dengan Argo
Sutjipto, seorang penerbit yang merupakan sahabatnya, terjadi kecelakaan
sekitar pukul 01.00 siang tetapi mobil ambulan dari Bandung baru tiba ditempat
kejadian sekitar pukul 04.00 sore. Pada pukul 10.30 pagi keesokan harinya,
Wahid Hasyim tak lagi dapat bertahan dan meninggal dunia. Beberapa jam kemudian
Argo juga meninggal dunia. Wahid Hasyim, yang merupakan harapan banyak orang di
Indonesia, telah menghembuskan nafas terakhir, ia berusia 38 tahun. Gus Dur
baru berusia 12 tahun.[8]
2. Latar Belakang
Pendidikan
Meskipun berasal dari keluarga santri,
sebagian pendidikan formal Abdurrahman Wahid, ditempuh di sekolah-sekolah
sekuler. Ia lulus sekolah rakyat (SR) di Jakarta tahun 1953. Kemudian
melanjutkan pendidikannya pada Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP)
Yogyakarta, tahun 1953-1957. Dikota ini ia tinggal dirumah salah seorang
anggota Majlis Tarjih Muhammadiyah, KH. Junaidi. Pergaulan dengan beberapa
tokoh lintas NU ini telah membuka cakrawala Abdurrahman Wahid dalam memandang
komunitas keberagamaan lain yang perlu dihormati. Dan bisa hidup sejajar secara
humanis membangun kehidupan bersama yang penuh keadilan dan demokratis. Dari
tahun 1957-1959 ia belajar di pesantren Tegal Rejo Magelang dan kemudian pindah
ke pesantren Mu’allimat Jombang sampai tahun 1963. Kemudian ia juga pindah ke
pesantren Krapyak Yogyakarta, dan menetap dirumah tokoh terkemuka KH Ali
Ma’sum.[9]
Tumbuh di lingkungan pesantren, bukan
berarti seluruh pendidikannya semata-mata bersifat keagamaan. Terutama dalam hal
pendidikan yang bersifat informal, Abdurrahman Wahid sejak kecil sudah banyak
diperkenalkan dengan bacaan-bacaan di luar literatur tradisi pesantren: novel,
biografi tokoh dunia, dan ideologi sosial-politik. Kesempatan yang
luas ini bertemu
dengan minat baca
Abdurrahman Wahid sendiri yang sangat tinggi. Jadilah dia seorang pembaca,
pembelajar, dan pencari yang penuh gairah dan sampai tingkat tertentu
membentuknya menjadi seorang otodidak sejati[10].
Pada usia 22 tahun, Gus Dur berhasil
menamatkan beberapa kitab standar mu‟tabarah Pondok Pesantren. Sehingga
dia dapat dikatakan telah memenuhi syarat untuk menjadi seorang alim. Dalam
usia itu ia kemudian berangkat menuju Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan
melanjutkan studynya ke Timur Tengah. Pada tahun 1964 Gus Dur melanjutkan study
di Al-Azhar Islamic University Mesir, mengambil konsentrasi Departemen of
Higer Islamic and Arabic Studies.
Setelah tiba di Mesir Gus Dur menemui
kendala, sehingga praktis selama dua tahun disana waktunya tebuang hanya untuk
mengurus Ijazah tadi. Ketika akhirnya ia diterima di Fakultas Syari’ah Universitas
Al Azhar, namun lagi-lagi hatinya tak terpuaskan karena pelajaran yang dia
terima disana rata-rata sudah dia pelajari di pesantren, dan untuk
menghilangkan rasa bosan sebagai gantinya Gus Dur menghabiskan waktunya disalah
satu perpustakaan lengkap di Kairo Selama kuliah di Kairo ia lebih aktif ke
perpustakaan, nonton film dan selebihnya diisi dengan kegiatan organisasi,
akibatnya Gus Dur tidak naik tingkat dalam kuliahnya di Al Azhar. Mendengar
kegagalan kuliyah Gus Dur di Mesir, gadis pujaannya Nuriyah mengirim surat dari
tanah air kepadanya di Mesir yang bernada motifasi dan menghibur, “Kamu harus
berhasil dalam kuliahmu seperti berhasilnya kamu menanamkan perasaan dalam
hatiku,” tulis Nuriyah.[11]
Setelah
beberapa lama tinggal di Mesir, Gus Dur memutuskan untuk menghentikan studi ditengah
jalan sewaktu beranggapan bahwa Kairo sudah tidak kondusif lagi dengan
keinginannya. Ia pindah
ke Baghdad irak dan mengambil fakultas sastra.
Pada saat di Baghdad ia menunjukan minat yang serius terhadap kajian Islam di Indonesia, hingga kemudian ia dipercaya untuk
meneliti asal-usul keberdaan Islam di Indonesia.[12]
Pada 1966 Gus Dur pun pindah ke Irak
dimana negara ini memiliki peradaban Islam yang sangat maju. Ia masuk dalam
Departement of Religion di Universitas Baghdad. Selepas belajar di Baghdad Gus
Dur bermaksud melanjutkan studi ke Eropa, namun karena persyaratan yang ketat
ia putus asa. Akhirnya Gus Dur berinisiatif melakukan kunjungan dan menjadi
pelajar keliling dari satu universitas ke universitas lainnya.
Pada akhirnya ia menetap di Belanda
selama enam bulan dan mendirikan perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia
yang tinggal di Eropa. Untuk membiayai kebutuhannya dua kali sebulan ia pergi
ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker.
Perjalanan
keliling studi Gus Dur berakhir pada tahun 1971. Dia kembali ke Jawa dan mulai memasuki kehidupan baru. Sepulang ke Indonesia, ia kembali ke habitatnya semula yakni
dunia pesantren. Dari tahun 1972 hingga 1974, ia di percaya menjadi dosen sekaligus menjabat sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy'ari Jombang. Tahun 1974 sampai 1980 oleh pamannya, K.H. Yusuf Hasyim,
diberi amanat untuk menjadi sekretaris umum Pesantren Tebuireng, Jombang.
Selama periode ini ia secara teratur mulai terlibat dalam kepengurusan NU dengan menjabat Katib awal Syuriah PBNU sejak tahun 1979.[13]
Pada tahun 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta dan merintis Pesantren Ciganjur dan awal tahun 1980, Gus Dur dipercaya sebagai wakil katib Syuriah
PBNU. Pada 1984, Gus Dur dipilih sebagai
tim ahl hall wa al-‘aqdi sebagai ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Ia juga
menjadi ketua juri dalam Festival
Film Indonesia tahun 1986-1987. Lalu pada tahun 1991-1999
Gus Dur diangkat menjadi ketua Forum Demokrasi.
Gus Dur
pernah terbuka menyatakan bahwa
ia memiliki darah Tionghoa. Mengaku keturunan Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara raden Patah (Tan Eng
Hwa), pendiri kesultanan Demak.
Tan A lok dan Tan Eng Hwa adalah merupakan
anak dari putri campa, putri Tiongkok
yang merupakan selir Raden Brawijaya
V. Tan Kim Han sendiri berdasarkan
penelitian seorang peneliti
perancis, Louis Charles, di identifikasi sebagai syekh Abdul Qadir Al Shini
yang makamnya di daerah Trowulan, Jawa Timur.[14]
Oleh: Agus Riswandi, S.Sy.
[1]
Di beberapa buku banyak tertulis bahwa tanggal lahir Gus Dur adalah 4 Agustus
1940. akan tetapi menurut Greg
Barton ketika wawancara
dengan Gus Dur,
sebenarnya Gus Dur
memang dilahirkan pada hari ke empat, bulan ke delapan. Padahal tanggal
itu adalah menurut kalender Islam, yakni bulan Sya’ban. Tetapi pejabat catatan
sipil setempat mencatat tanggal 4 Agustus sebagai tanggal lahir Gus Dur. Lihat
Greg Barton, Biografi Gus Dur, terj, (Yogyakarta: LKiS, 2008), cet. XI, h. 25.
[2] K.H.A.Mustofa Bisri,Jejak
Antropologis Pemikiran dan Gerakan GUS DUR, (Cet. I PT. Remaja Rosdakarya
Bandung 2000). Hlm, 4.
[3]
Greg Barton., Ibid.. hlm. 26
[4] Ibid, Hlm, 6.
[5] Greg
Barton, Biografi…, hlm. 34
[7]
Pada tahun 1949, ketika clash dengan
pemerintahan Belanda telah berakhir, ayahnya diangkat sebagai
Menteri Agama pertama,
sehingga keluarga Wahid
Hasyim pindah ke
Jakarta. Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu yang
terdiri dari para tokoh-dengan berbagai bidang profesi yang sebelumnya telah
dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi Menteri
Agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi seorang anak bernama
Abdurrahman Wahid. Secara tidak langsung, Gus Dur juga mulai berkenalan dengan
dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya yang sering ke rumahnya.
[8]
Greg Barton, Biografi Gus Dur The
Authorized Biography of Abdurrahman Wahid,terjemahan dari Gus Dur: The
Authorized Biography of Abdurrahman Wahidalih bahasa Lie Hua, cet. XI, (
Yogyakarta:LKiS,2011), h. 40-42.
[9]
Almarhum KH. Ali Ma`sum adalah ulama yang sangat
disegani dikalangan Nahdlatul Ulama, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawwir
Krapyak; Pernah menjabat sebagai Rais `Am PBNU
[10]
Greg Barton,., hlm. 40
[11] K.H.A.Mustofa Bisri. Op.
Cit, hlm, 16.
[12]
Ma’mun Murod al-Brebesy, Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur Dan Amien Rais
Tentang Negara, (Jakarta:
Raja Grafindo, 1999),
hlm, 99.
[13] Abdul Ghofur, Demokratisasi dan Prospek Hukum di Indonesia,
cet.I, (Yogyakarta: pustaka pelajar, 2002), hlm, 57-58.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar