Manusia adalah hewan yang berpikir. Begitulah yang dikatakan Filsuf Aristoteles. Tapi dengan hanya sekedar berpikir saja tidak cukup, lalu bagaimana dengan tindakan yang semestinya dilakukan?
Inilah peran dan tanggung jawab manusia sesungguhnya. Menanggapi fenomena yang terjadi dengan cermat, teliti dan kritis. Menangkap fenomena yang terjadi secara objektif dan berimbang lalu dicerna oleh akal secara kritis, dengan tidak lupa menggunakan hati nurani sebagai alat pertimbangan yang benar. Hasil dari pemikiran yang matang dan objektif inilah yang (seharusnya) melahirkan tindakan yang benar pula, sebagai aksiologi bagi seorang manusia. Karena kemudian, apalah yang dipertanggungjawabkan oleh seorang manusia jika bukan tentang kemanusiaannya. Perbedaan yang menjadi perekat bangsa selama berabad-abad untuk merdeka, kini menjadi dinding tinggi tak bercelah untk memisahkan bangsa Nusantara. Intoleransi menjadi isu yang selalu hangat untuk diserukan ke seluruh penjuru negeri, pelanggengan perbedaan dan pertempuran antara satu sama lain adalah hal lumrah yang selalu kita bantu untuk menabuh genderang perangnya. Lalu kemanakah Nusantara sesungguhnya? Kemanakah manusia Nusantara itu?
Belum lagi ditambah dengan modernisasi dan permasalahan generasi penerus bangsa.
Sangat miris memang kondisi kita (manusia yang menjadi masyarakat Indonesia) saat ini. Budaya ramah, budi pekerti dan toleransi atas keberagaman telah luntur di makan zaman. Generasi muda kita sudah tidak bangga menjadi Indonesia yang murah senyum, rendah hati dan memiliki moralitas tinggi dengan kentalnya balutan adat istiadat.
Banyak generasi muda kita malu memakai bahasa daerah dan menggunakan balutan kain keIndonesiaan. Padahal keindahan itulah yang membuat kita dikagumi dan disegani bangsa lain. Kehormatan tidak hanya didapatkan dari penampilan seperti yang diperlihatkan oleh orang-orang yang (katanya) dianggap maju yang berada di negara seberang sana, tidak hanya dengan bicara was-wes-wos layaknya bahasa-bahasa yang (katanya) dipakai orang modern, tetapi ada hal yang lebih penting yang membuat kita dihormati. Bagaimana mungkin penghormatan dan kebanggaan dikalungkan dileher bangsa Indonesia jika bangsanya saja tidak bangga dan tidak bisa menjaga kehormatannya. Bergaul di tengah masyarakat dunia yang lebih multikultur tidak pernah salah, berbicara menggunakan bahasa internasionalpun tak salah, berpenampilan layaknya bangsawan negeri seberang pun tak salah. Jadikanlah itu sebagai alat kemajuan diri dan untuk memajukan bumi kita, tetaplah berbusana dan bercorak Nusantara, agar ketika melesat terbang ke langit, kita tidak pernah lupa sebutir tanahpun dan setetes darahpun yang memberikan kita kebebasan untuk terbang.
Inilah peran dan tanggung jawab manusia sesungguhnya. Menanggapi fenomena yang terjadi dengan cermat, teliti dan kritis. Menangkap fenomena yang terjadi secara objektif dan berimbang lalu dicerna oleh akal secara kritis, dengan tidak lupa menggunakan hati nurani sebagai alat pertimbangan yang benar. Hasil dari pemikiran yang matang dan objektif inilah yang (seharusnya) melahirkan tindakan yang benar pula, sebagai aksiologi bagi seorang manusia. Karena kemudian, apalah yang dipertanggungjawabkan oleh seorang manusia jika bukan tentang kemanusiaannya. Perbedaan yang menjadi perekat bangsa selama berabad-abad untuk merdeka, kini menjadi dinding tinggi tak bercelah untk memisahkan bangsa Nusantara. Intoleransi menjadi isu yang selalu hangat untuk diserukan ke seluruh penjuru negeri, pelanggengan perbedaan dan pertempuran antara satu sama lain adalah hal lumrah yang selalu kita bantu untuk menabuh genderang perangnya. Lalu kemanakah Nusantara sesungguhnya? Kemanakah manusia Nusantara itu?
Belum lagi ditambah dengan modernisasi dan permasalahan generasi penerus bangsa.
Sangat miris memang kondisi kita (manusia yang menjadi masyarakat Indonesia) saat ini. Budaya ramah, budi pekerti dan toleransi atas keberagaman telah luntur di makan zaman. Generasi muda kita sudah tidak bangga menjadi Indonesia yang murah senyum, rendah hati dan memiliki moralitas tinggi dengan kentalnya balutan adat istiadat.
Banyak generasi muda kita malu memakai bahasa daerah dan menggunakan balutan kain keIndonesiaan. Padahal keindahan itulah yang membuat kita dikagumi dan disegani bangsa lain. Kehormatan tidak hanya didapatkan dari penampilan seperti yang diperlihatkan oleh orang-orang yang (katanya) dianggap maju yang berada di negara seberang sana, tidak hanya dengan bicara was-wes-wos layaknya bahasa-bahasa yang (katanya) dipakai orang modern, tetapi ada hal yang lebih penting yang membuat kita dihormati. Bagaimana mungkin penghormatan dan kebanggaan dikalungkan dileher bangsa Indonesia jika bangsanya saja tidak bangga dan tidak bisa menjaga kehormatannya. Bergaul di tengah masyarakat dunia yang lebih multikultur tidak pernah salah, berbicara menggunakan bahasa internasionalpun tak salah, berpenampilan layaknya bangsawan negeri seberang pun tak salah. Jadikanlah itu sebagai alat kemajuan diri dan untuk memajukan bumi kita, tetaplah berbusana dan bercorak Nusantara, agar ketika melesat terbang ke langit, kita tidak pernah lupa sebutir tanahpun dan setetes darahpun yang memberikan kita kebebasan untuk terbang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar