Rabu, 13 Januari 2016

MAKALAH Fiqh Munakahat: Nikah Siri

BAB II
PEMBAHASAN
1.     NIKAH SIRI
A.    Definisi nikah siri
Kata siri berasal dari bahasa Arab yaitu ”sirri” atau ”sir” yang berarti rahasia. Keberadaan nikah siri dikatakan sah secara agama tapi tidak sah menurut negara karena pernikahan tidak dicatat di Kantor Urusan Agama. Nikah siri juga disebut dengan Nikah di Bawah Tangan
Kata siri yang berarti rahasia, hal tersebut merujuk pada rukun islam tentang perkawinan yaitu sah perkawinan apabila diketahui oleh orang banyak. Namun etimologi tersebut berubah di Indonesia, nikah siri berarti nikah yang tidak dicatat oleh negara

B.    Keabsahan nikah siri
Perkawinan yang dilakukan secara sirri/perkawinan di bawah tangan tidak selalu merupakan perkawinan yang tidak sah baik dilihat dari aspek hukum positif maupun hukum islam. Kalau pemikiran dan pendapat yang mengatakan bahwa setiap perkawinan yang telah memenuhi syarat dan rukun nikah sebagaimana di atur dalam hukum islam dapat disepakati, maka perkawinan itu sah baik hukum islam maupun hukum positif. Hal itu karena pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No 1 tahun 1974tentang perkawinan pun menyatakan bahwa keabsahan suatu perkawinan apabila dilakukan sesuai dengan ajaran agama yang orang yang melakukan perkawinan itu. Karena itu, perkawinan siri dibawah tangan semacam ini apabilah telah memenuhi syarat dan rukun nikah menurut hukum islam adalah sah secara hukum islam maupun hukum positif. Hanya saja perkawinan itu tidak di catat sehingga dikatakan perkawinan di bawah tangan.
Nikah Siri adalah nikah secara agama saja tidak tercatat di Kantor Urusan Agama.
Jadi setelah nikah tidak mempunyai buku nikah sebagai bukti bahwa pasangan tersebut telah menikah.
Nikah Siri tetap sah menurut hukum Islam sepanjang terpenuhi syarat wajib dan rukun nikah.
Rukun akad nikah dalam Islam ada tiga:
·       Adanya kedua mempelai yang tidak memiliki penghalang keabsahan nikah seperti adanya hubungan mahram dari keturunan, sepersusuan atau semisalnya. Atau pihak laki-laki adalah orang kafir sementara wanitanya muslimah atau semacamnya.
·       Adanya penyerahan (ijab), yang diucapkan wali atau orang yang menggantikan posisinya dengan mengatakan kepada (calon) suami, 'Saya nikahkan anda dengan fulanah' atau ucapan semacamnya.
·       Adanya penerimaan (qabul), yaitu kata yang diucapkan suami atau ada orang yang menggantikan posisinya dengan mengatakan, 'Saya menerimnya.' atau semacamnya.

Adapun syarat-syarat sahnya nikah adalah:
·       Masing-masing kedua mempelai telah ditentukan, baik dengan isyarat, nama atau sifat atau semacamnya.
·        Kerelaan kedua mempelai. Berdasarkan sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam:
"Al-Ayyimu (wanita yang pisah dengan suaminya karena meninggal atau cerai) tidak dinikahkan mendapatkan perintah darinya (harus diungkapkan dengan jelas persetujuannya). Dan gadis tidak dinikahkan sebelum diminta persetujuannya (baik dengan perkataan atau diam). Para shahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana persetujuannya?' Beliau menjawab, 'Dia diam (sudah dianggap setuju)." (HR. Bukhori, no. 4741)
·        Yang melakukan akad bagi pihak wanita adalah walinya. Karena dalam masalah nikah Allah mengarahkan perintahnya kepada para wali.
FirmanNya, ‘Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu" (QS. An-Nur: 32)
Juga berdasarkan sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam,
“Wanita mana saja yang menikah tanpa izin dari walinya, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal." (HR. Tirmizi, no. 1021)
·        Ada saksi dalam akad nikah.
Berdasarkan sabda Nabi sallahu’alaihi wa sallam,
“Tidak (sah) nikah kecuali dengan kehadiran wali dan dua orang saksi.” (HR. Thabrani. Hadits ini juga terdapat dalam kitab Shahih Al-Jami’, no. 7558)
Sangat dianjurkan mengumumkan pernikahan. Berdasarkan sabda Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam, "Umumkanlah pernikahan kalian’ (HR. Imam Ahmad. Dihasankan dalam kitab Shahih Al-Jami’, no. 1072).
Adapun syarat untuk wali, sebagai berikut:
1.     Berakal.
2.      Baligh.
3.      Merdeka (bukan budak).
4.      Kesamaan agama. Maka tidak sah wali kafir untuk orang Islam laki-laki dan perempuan. Begitu pula tidak sah perwalian orang Islam untuk orang kafir laki-laki atau perempuan. Adapun orang kafir menjadi wali bagi wanita kafir adalah, meskipun berbeda agamanya. Dan orang yang keluar dari agama (murtad) tidak bisa menjadi wali bagi siapapun.
5.      Adil, bukan fasik. Sebagian ulama menjadikan hal ini sebagai syarat, tapi sebagian lain mencukupkan dengan syarat sebelumnya. Sebagian lagi mencukupkan syarat dengan kemaslahatan bagi yang diwalikan untuk menikahkannya.
6.      Laki-laki.
Berdasarkan sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam,
“Wanita tidak (dibolehkan) menikahkan wanita lainnya. Dan wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri. Karena wanita pezina adalah yang menikahkan dirinya sendiri." (HR. Ibnu Majah, no. 1782. Hadits ini terdapat dalam Shahih Al-Jami, no. 7298)
7.      Bijak, yaitu orang yang mampu mengetahui kesetaraan (antara kedua pasangan) dan kemaslahatan pernikahan.
Para wali harus berurutan menurut ahli fiqih.
Maka tidak dibolehkan melewati wali terdekat, kecuali jika wali terdekat tidak ada atau tidak memenuhi syarat.
Wali seorang wanita adalah bapaknya, kemudian orang yang diwasiatkannya untuk menjadi walinya, lalu kakek dari bapak sampai ke atas, lalu anak laki-lakinya, lalu cucu sampai ke bawah.
Kemudian saudara laki-laki sekandung, berikutnya saudara laki-laki seayah, kemudian anak dari keduanya. Kemudian paman sekandung, lalu paman sebapak, kemudian anak dari keduanya. Kemudian yang terdekat dari sisi keturunan dari asobah seperti dalam waris.
Kemudian penguasa muslim (dan orang yang menggantikannya seperti Hakim) sebagai wali bagi yang tidak mempunyai perwalian.


C.    Konsekuensi hukum nikah siri dan hak waris mewarisi

1.     Akibat nikah siri terhadap harta perkawinan
Negara indonesia adalah negara hukum, dan segenap bangsa indonesia harus tunduk kepada hukum yang berlaku di  indonesia. Undang-Undang no 1 tahun 1974 adalah hukum negara indonesia yang mengatur tentang perkawinan. Maka sejak diundangkannya Undang-Undang tersebut Bangsa indonesia terikat olehundang-undang itu karenanya harus di taati dan di jalankan. Oleh karena itu suatu perkawinan yang dilaksanakan tidak mematuhi hukum perkawinan tersebut, akan berakibat kepada mereka yang melaksanakan perkawinan tersebut, keturunan dan harta kekayaannya.
2.     Akibat nikah siri terhadap status hukum seseorang
Kejelasan status perkawinan suami istri melalui bukti otentik  tentang perkawinan mereka, menjadi landasan bagi kejelasan status hukum bagi seorang anak. Begitu pula kejelasan terhadap status pasangan suami atau istri yang di tinggal mati, hukum tidak akan melindungi suami atau istri yang di tinggal mati  terhadap harta warisan yang dikuasai aleh saudara atau orang tua si mati.
Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, kejelasan status seseorang sebagai suami atau sebagai istri merupakan suatu keharusan. Kepastian status itu dapat di lihat dari bukti perkawinan mereka, dalam akta perkawinan. Sebaliknya, suami-istri yang tidak mempunyai akta perkawinan. Sebagai akibat perkawinannya tidak di catatkan, tidak memberikan kepastian hukum terhadap perkawinan mereka.
Seorang anak yang sah menurut undang-undang yaitu hasil dari perkawinan yang sah. Hal ini merujuk bahwa status anak memiliki hubungan darah dengan kedua orang tuanya.
Sedangkan status anak nikah siri karena tidak dicatat oleh negara maka status anak dikatakan di luar nikah. Namun secara agama hal status anak dari hasil nikah siri mendapat hak sama dengan anak hasil perkawinan sah






2.     Kawin paksa
1)     Definifi paksaan
Paksaan adalah praktik memaksa pihak lain untuk berperilaku secara spontan (baik melalui tindakan atau tidak bertindak) dengan menggunakan ancaman, imbalan, atau intimidasi atau bentuk lain dari tekanan atau kekuatan. Dalam hukum, pemaksaan dikodifikasikan sebagai kejahatan paksaan. Tindakan tersebut digunakan sebagai pengaruh, memaksa korban untuk bertindak dengan cara yang diinginkan. Paksaan mungkin melibatkan penderitaan sebenarnya rasa sakit fisik/cedera atau kerusakan psikologis dalam rangka meningkatkan kredibilitas ancaman. Ancaman kerusakan lebih lanjut dapat menyebabkan kerja sama atau kepatuhan dari orang yang dipaksa. Penyiksaan adalah salah satu contoh yang paling ekstrim dari sakit parah adalah pemaksaan yaitu ditimbulkan sampai korban memberikan informasi yang dikehendaki.

B.    Macam macam, Rukun dan Syarat Paksaan

Ø  Anak Perempuan Di Bawah Umur (Belum Baligh)
Menurut sebagian pendapat, anak perempuan kecil yang masih belum mencapai usia akil baligh boleh menikah. Dan ayah kandungnya sebagai wali mujbir boleh menikahkan anak tersebut dengan pria dewasa baik dengan persetujuannya atau tidak. Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari menyatakan:
قال ابن بطال : يجوز تزويج الصغيرة بالكبير إجماعاً ، ولو كانت في المهد ، لكن لا يمكّن منها حتى تصلح للوطء
(Ibnu Battal berkata: Boleh menikahkan anak perempuan kecil dengan pria dewasa secara ijmak. Walaupun masih dalam gendongan. Akan tetapi melakukan hubungan intim sampai pantas masa untuk itu).
Senada dengan itu adalah pendapat Al-Jaziri dalam Al-Fiqh alal Madzahibil Arba’ah dalam mendefinisikan wali mujbir dan non-mujbir sebagai berikut:

ينقسم الولي إلى قسمين: ولي مجبر له حق تزويج بعض من له عليه الولاية بدون إذنه ورضاه وولي غير مجبر ليس له ذلك بل لا بد منه ولكن لا يصح له أن يزوج بدون إذن من له عليه الولاية ورضاه
(Wali terbagi menjadi dua wali mujbir yaitu wali yang mempunyai hak untuk menikahkan sebagian perempuan yang berada di bawah perwaliannya tanpa ijin dan ridonya. Dan wali nonmujbir yaitu wali yang tidak punya hak untuk menikahkan kecuali atas izin wanita yang berada di bawah perwaliannya.[5]
Ibnu Hazm dalam Al Mahalli  memiliki pendapat yang sama. Dia mengatakan:
وللأب أن يزوج ابنته الصغيرة البكر مالم تبلغ بغير إذنها ، ولا خيار لها إذا بلغت
(Ayah boleh menikahkan anak perempuannya yang masih kecil dan perawan tanpa ijinnya selagi masih belum baligh. Dan anak tersebut tidak boleh memilih untuk bercerai saat dia baligh kelak) [6] Dalil atas bolehnya pernikahan ini adalah peristiwa dinikahkannya Aisyah oleh ayahnya Abu Bakar saat usianya 6 (enam) tahun. Kata Ibnu Hazm:
الحجة في إجازة إنكاح الأب ابنته الصغيرة البكر ، إنكاح أبي بكر رضي الله عنه النبي صلى الله عليه وسلم من عائشة رضي الله عنها وهي بنت ست سنين ، وهذا أمر مشهور غنينا عن إيراد الإسناد فيه ، فمن ادعى أنه خصوص لم يلتفت لقوله ، لقول الله عز وجل ( لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة لمن كان يرجو الله واليوم الآخر
Sementara itu, Ibnu Syubromah tidak sependapat. Ia mengatakan: لا يجوز إنكاح الأب ابنته الصغيرة إلا حتى تبلغ وتأذن ، ورأى أمر عائشة رضي الله عنها خصوصاً للنبي صلى الله عليه وسلم  (Tidak boleh seorang ayah menikahkan anak perempuannya yang masih kecil kecuali setelah baligh dan atas ijinnya. Adapun pernikahan Aisyah adalah kasus khusus untuk Nabi saja)
Ø  Anak Perawan Baligh (Dewasa)
Terdapat sejumlah perbedaan di kalangan ulama baik dalam madzhab Syafi’i atau ulama dari madzhab lain seperti Hanbali, Hanafi dan Maliki tentang boleh tidaknya menikahkan anak perempuan baligh yang perawan secara paksa.
Sikap ulama dalam soal ini dapat dikategorikan dalam dua pendapat. Pendapat pertama, ayah boleh memaksa anak perawannya untuk menikah. Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid mengutip beberapa pendapat ulama yang membolehkan ayah memaksa nikah anak perempuan baligh yang perawan sebagai berikut:
واختلفوا في الأب هل يجبر ابنته الكبيرة البكر على النكاح أم لا فقال مالك والشافعي وابن أبي ليلى إذا كانت المرأة بكرا كان لأبيها أن يجبرها على النكاح ما لم يكن ضررا بينا وسواء كانت صغيرة أو كبيرة وبه قال أحمد وإسحاق وجماعة وحجتهم أنه لما كان له أن يزوجها وهي صغيرة كان له أن يزوجها وهي كبيرة إذا كانت بكرا لأن العلة البكورة
(Ulama berbeda pendapat soal apakah ayah dapat memaksa anak perempuanya yang perawan dan baligh untuk menikah atau tidak. Imam Malik, Imam Syafi’i, Ibnu Abi Laila berpendapat boleh memaksa selagi pemaksaan itu tidak menimbulkan bahaya yang jelas baik pada anak perempuan yang masih kecil atau baligh. Alasan mereka adalah apabila ayah dapat menikahkan anak yang masih kecil, maka berarti boleh menikahkan saat mereka sudah besar.)
Bahkan Imam Syafi’i berpendapat  kakeknya pun dapat memaksa cucu perempuan menikah apabila ayah tidak ada. Sebagaimana disebut oleh Imam Nawawi dalam Al-Majmuk Syarh Muhadzab sebagai berikut:
فإن كانت البكر بالغا فللأب والجد اجبارها على النكاح وان أظهرت الكراهية، وبه قال ابن أبي ليلى وأحمد وإسحاق
Apabla anak perawan itu sudah dewasa atau baligh maka ayah atau kakeknya boleh memaksanya menikah walaupun anak itu menunjukkan rasa tidak suka. Ini juga pendapat Ibnu Abi Laila, Ahmad dan Ishaq. Imam Malik membatasi hanya ayah yang boleh memaksa sedangkan kakek tidak boleh.
Namun, dalam madzhab Syafi’i bolehnya wali mujbir memaksa anak perawan menikah harus memenuhi 7 (tujuh) syarat antara lain (a) tidak ada permusuhan antara keduanya [wali dan anak] yang tampak secara lahir; (b) tidak ada permusuhan abadi yang tampak antara anak perawan dan suami; (c) suami harus kufu’ atau sebanding; (d) suami harus kaya dalam arti mampu membayar mahar.; (d) mahar harus tunai.
Pendapat kedua menyatakan bahwa ayah atau wali lain tidak boleh dan tidak berhak memaksa gadis perawan untuk menikah. Kalau hal itu terjadi, maka pernikahannya tidak sah. Dan status pernikahannya menunggu ijin dari wanita yang bersangkutan.  Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan ulama madzhab Hanafi, Auza’i, Tsauri, Abu Tsaur, Abu Ubaid, Ibnu Mundzir dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
 Dalil yang dipakai adalah hadits Nabi: الثيب أحق بنفسها من وليها والبكر تستأذن في نفسها واذنها صماتها
(Janda lebih berhak atas dirinya sedang perawan diminta ijinnya. Dan diamnya seorang perawan itu tanda persetujuan).
Ibnul Qoyyim dari madzhab Hanbali sepakat dengan pendapat madzhab Hanafi tentang tidak bolehnya ayah memaksa anak perawan dewasa untuk menikah. Dalam kitab Zadul Ma’ad Ibnu Qayyim mengatakan:

لا تجبر البكر البالغ على النكاح ، ولا تزوج إلا برضاها . وهذا قول جمهور السلف، ومذهب أبي حنيفة ، وأحمد في إحدى الروايات عنه. وهو القول الذي ندين الله به، ولا نعتقد سواه، وهو الموافق لحكم رسول الله، وأمره ونهيه، وقواعد شريعته، ومصالح أمته
(Wanita perawan hendaknya tidak dipaksa menikah dan tidak dinikahkan kecuali dengan izinnya. Ini adalah pendapat jumhur ulama salaf, madzhab Abu Hanifah dan Ahmad Hanbali dalam salah satu riwaya. Ini merupakan pendapat yang sesuai dengan hukum Rasulullah, perintah dan larangannya, kaidah syariahnya dan kemaslahatan umatnya).
Perlu dicatat, bahwa perbedaan pendapat ulama tentang boleh tidaknya wali memaksa kawin tersebut terbatas pada wali mujbir yakni ayah dari perempuan. Sedangkan wali non-mujbir, maka ulama sepakat tidak boleh menikahkan perempuan perawan tanpa ijin dari wanita tersebut.
Ø  Perempuan Janda
Adapun tentang perempuan janda, maka ulama dari keempat madzhab  sepakat tidak bolehnya wali mujbir untuk melakukan kawin paksa tanpa ijin dari yang bersangkutan. Hal itu karena jelas dan eksplisitnya hadits Nabi yang menyatakan:
الثيب أحق بنفسها من وليها والبكر تستأذن (Janda itu lebih berhak atas dirinya daripada walinya. Sedangkan perawan diminta ijin). As-Syairozi dalam Al-Muhadzab mengatakan:

اتفق العلماء على وجوب استئذان الثيب
والأصل فيه قوله تعالى { فلا تعضلوهن أن ينكحن أزواجهن إذا تراضوا } فدل على أن النكاح يتوقف على الرضا من الزوجين . وأمر النبي صلى الله عليه وسلم باستئذان الثيب ، وردّ نكاح من زوجت وهي كارهة
(Ulama sepakat atas wajibnya meminta ijin wanita janda. Dalil asalnya adalah firman Allah QS Al-Baqarah 2:232  [maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka] Ayat ini menunjukkan bahwa pernikahan memerlukan ijin dari kedua calon. Nabi juga memerintahkan untuk meminta ijin perempuan janda. Dan tertolaklah pernikahan janda yang dikawinan padahal ia tidak suka..)
Imam Nawawi dalam Syarah Muslim menafsiri hadits perempuan janda di atas menyatakan:
وأما الثيب فلا بد فيها من النطق بلا خلاف سواء كان الولي أبا أو غيره لأنه ؛ لأنه زال كمال حيائها بممارسة الرجال ، وسواء زالت بكارتها بنكاح صحيح أو فاسد ، أو بوطء شبهة أو بزنا ، ولو زالت بكارتها بوثبة أو بإصبع أو بطول المكث أو وطئت في دبرها فلها حكم الثيب على الأصح وقيل : حكم البكر والله أعلم
(Adapun janda maka ijinnya harus dalam bentuk ucapan yang jelas. Baik walinya ayahnya sendiri atau yang lain. Karena seorang janda tidak lagi malu-malu terhadap laki-laki. Baik sudah hilang keperawanannya karena nikah yang sahih atau fasid, atau karena wati’ syubhat atau zina. Apabila hilang keperawanannya karena sebab lain seperti jari dan lain-lain. .. maka ia dihukumi janda menurut pendapat yang lebih sahih. Menurut pendapat lain ia dianggap perawan.)

3.     PERNIKAHAN USIA DINI
A.    Perkwinan Rosulullah SAW dengan Aisyah RA

Aisyah adalah satu-satunya istri Muhammad yang masih gadis pada saat dinikahi. Aisyah dinikahkan pada tahun 620 M. Akad nikah diadakan di Mekkah sebelum Hijrah, tetapi setelah wafatnya Khadijah dan setelah Muhammad menikah dengan Saudah. Upacara dilakukan oleh ayahnya Abu Bakar dengan maskawin 400 dirham.
Hadits mengenai umur Aisyah tatkala dinikahkan adalah problematis. Hisyam bin ‘Urwah adalah satu-satunya yang mengabarkan tentang umur pernikahan Aisyah, yang didengarnya dari ayahnya. Bahkan Abu Hurairah ataupun Malik bin Anas tidak pernah mengabarkannya. Beberapa riwayat yang termaktub dalam buku-buku hadits berasal hanya dari Hisyam sendiri, dan hadits ini dianggap dhaif. Hisyam mengutarakan hadits tersebut tatkala telah bermukim di Irak, dan ia pindah ke negeri itu dalam umur 71 tahun.
Hisyam bin ‘Urwah menyatakan bahwa Aisyah dinikahkan ketika berumur 6 tahun. Muhammad tidak bersama dengannya sebagai suami-istri melainkan setelah berhijrah ke Madinah. Ketika itu, Aisyah berumur 9 tahun sementara nabi Muhammad berumur 53 tahun. Mengenai hal ini Ya’qub bin Syaibah berkata: “Yang dituturkan oleh Hisyam sangat terpecaya, kecuali yang disebutkannya tatkala ia sudah pindah ke Irak.” Ibnu Syaibah menambahkan bahwa Malik bin Anas menolak penuturan Hisyam yang dilaporkan oleh penduduk Irak. Dalam buku tentang sketsa kehidupan para perawi hadits, tersebut bahwa saat Hisyam berusia lanjut ingatannya sangat menurun.
Menurut Tabari, keempat anak Abu Bakar (termasuk Aisyah) dilahirkan oleh istrinya pada zaman Jahiliyah, artinya sebelum 610 M. Apabila Aisyah dinikahkan sebelum 620 M, maka ia dinikahkan pada umur di atas 10 tahun dan hidup sebagai suami-istri dengan Muhammad dalam umur di atas 13 tahun. Menurut Abd alRahman bin Abi Zannad: “Asmah 10 tahun lebih tua dari Aisyah.” Menurut Ibnu Hajar al-'Asqalani, Asmah hidup hingga usia 100 tahun dan meninggal tahun 73 atau 74 Hijriyah. Apabila Asmah meninggal dalam usia 100 tahun dan meninggal dalam tahun 73 atau 74 Hijriyah, maka Asma berumur 27 atau 28 tahun pada waktu Hijrah, sehingga Aisyah berumur (27 atau 28) - 10 = 17 atau 18 tahun pada waktu Hijrah. Itu berarti Aisyah mulai hidup berumah tangga dengan Muhammad pada waktu berumur 19 atau 20 tahun.
Quraish Shihab berpendapat, kebiasaan masyarakat Arab masa lalu itu untuk mengawinkan putri-putri mereka yang masih kecil disebabkan karena khawatir anak perempuannya terlantar atau diperkosa akibat perang antar-suku. Dengan mengawinkan mereka sejak kecil, maka akan bertambah perlindungan atas mereka dari suami dan suku suaminya.
Di sisi lain, perempuan yang tinggal di daerah tropis sering kali lebih cepat dewasa dibandingkan dengan mereka yang bermukim di daerah-daerah dingin. Tidak jarang dalam usia delapan tahun gadis-gadis di sana telah mengalami menstruasi. Dalam kasus Aisyah, “kesiapannya untuk dinikahi” ini dapat dibuktikan dengan telah dilamarnya ia –sebelum dilamar Nabi saw.– oleh Jubair bin Muth’im bin ‘Adi. Tetapi proses pernikahan mereka tertunda-tunda karena kedua orangtua Jubair khawatir jangan sampai anaknya memeluk agama Islam. Karena berlarutnya penangguhan itu, maka Abu Bakar ra., ayah kandung Aisyah ra., secara baik-baik mendatangi keluarga Jubair, lalu mereka sepakat membatalkan lamaran tersebut.
 Perkawinan Rasul dengan Sayidah Aisyah mempunyai hikmah penting dalam dakwah dan pengembangan ajaran Islam dan hukum-hukunya dalam berbagai aspek kehidupan khususnya yang berkaitan dengan masalah keperempuanan yang banyak para kaum perempuan bertanya kepada Nabi melalui Sayidah Aisyah. Dikarenakan kecakapan dan kecerdasan Sayidah Aisyah sehingga ia menjadi gudang dan sumber ilmu pengetahuan sepanjang zaman;
 masyarakat Islam (Hejaz) saat itu sudah terbiasa dengan masalah nikah muda dan sudah biasa menerima hal tersebut. Walaupun terdapat nikah muda, namun secara fisik maupun psikis telah siap sehingga tidak timbul adanya asumsi buruk dan negatif dalam masyarakat
Itulah standar nilai yang berlaku pada masa itu. Kita tentu tidak ingin dinilai oleh generasi masa lalu dengan standar nilai yang mereka anut. Oleh karenanya, kita pun semestinya tidak menilai mereka yang hidup pada masa lalu itu dengan standar nilai yang kita anut.

B.    Batasan usia perkawinan

Dalam islam batasan usia pernikahan tidaklah ditekankan secara tegas, baik untuk laki-laki maupun untuk perempuan. Akan tetapi islam lebih menekankan pada tingkat kematangan (kedewasaan) baik dari segi fisik maupun dari segi mental.
 Menurut Undang-undang yang berlaku di Indonesia, melalui undang-undang RI No. 1 tahun 1974 dalam bab II pasal 7 disebutkan batas usia pernikahan minimal adalah 19 tahun untuk lelaki dan 16 tahun untuk perempuan. Berikut ini kami cantumkan kutipan dari Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan:
Pasal 7
Ø  Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
Ø  Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjukoleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
Ø   Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).
Didalam penjelasan undang-undang tersebut disebutkan bahwa undang-undang pernikahan menganut prinsip bahwa calon suami istri itu harus matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan pernikahan. Hanya saja dalam ayat selanjutnya, terdapat penjelasan bahwasannya ketika terjadi penyimpangan terhadap pasal (1), maka bisa ditanggulangi dengan meminta dispensasi terhadap pengadilan atau pejabat lain yang telah ditentukan (ayat (2)).

C.    Pandangan para ulama dan landasannya
Jumhur fuqaha` membolehkan dan mengesahkan pernikahan dini bahkan lebih jauh lagi membolehkan pernikahan anak-anak. Dalam hal ini Ibnu al-Mundzir seperti dikutip oleh Ibnu Qudamah al-Maqdisi menyatakan :
قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ أَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُ عَنْهُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ ، أَنَّ نِكَاحَ الْأَبِ ابْنَتَهُ الْبِكْرَ الصَّغِيرَةَ جَائِزٌ ، إذَا زَوَّجَهَا مِنْ كُفْءٍ ، وَيَجُوزُ لَهُ تَزْوِيجُهَا مَعَ كَرَاهِيَتِهَا وَامْتِنَاعِهَا 
“ Ibnu al-Mundzir berkata, “ semua orang yang kami anggap ahli ilmu telah sepakat, bahwa seorang ayah menikahkan anak gadisnya yang masih kecil hukumnya jaiz ( boleh), jika ia menikahkannya dengan pria yang sekufu, dan boleh baginya menikahkannya walau ia tidak suka dan menolaknya ( dengan tanpa persetujuannya)”.

Landasan normatif-teologis yang menjadi dasar pembolehan dan pengesahan pernikahan anak-anak ini di antaranya merujuk pada :
  1. 1.            At-Thalaq ayat 4
4. dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. …

Cara mengambil istinbath hukum dari ayat di atas adalah, iddah atau masa tunggu wanita yang sudah menopause ketika dicerai adalah tiga bulan, demikian pula wanita yang belum pernah atau sudah tidak haid lagi. Wanita yang belum haid tidak  diragukan lagi adalah wanita yang belum balighah atau dengan perkataan lain wanita yang masih anak-anak. Dan perlu disadari bahwa ketentuan iddah bagi wanita tentunya berkaitan dengan wanita yang sudah menikah dan diceraikan. Ini secara tidak langsung ( mafhumnya ) , al-Qur`an mengakui keabsahan terjadinya pernikahan wanita yang masih anak-anak. Demikian wajah istidlal dari jumhur fuqaha`.
  1. 2.            An-Nur( 24) ayat 32
32. dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian di antara kamu…
Menurut pemahaman fuqaha` ini, kata al-Ayama adalah mencakup pengertian wanita yang belum atau tidak bersuami, dalam hal ini mencakup pengertian wanita dewasa/tua dan juga wanita yang masih anak-anak.
  1. 3.            Hadis Bukhari,Muslim, Abu Dawud, Nasa`I, Baihaqi
عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ  : تُوُفِّيَتْ خَدِيجَةُ قَبْلَ مَخْرَجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْمَدِينَةِ بِثَلَاثِ سِنِينَ فَلَبِثَ سَنَتَيْنِ أَوْ قَرِيبًا مِنْ ذَلِكَ وَنَكَحَ عَائِشَةَ وَهِيَ بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ ثُمَّ بَنَى بِهَا وَهِيَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ          
“ Khadijah wafat sebelum Nabi SAW hijrah ke Madinah 3 tahun sebelumnya, maka beliau tinggal di Madinah selama dua tahun atau sekitar itu. Dan nabi menikahi ‘Aisyah tatkala berumur 6 tahun kemudian membina rumah tangga tatkala ia telah berusia 9 tahun”.

Dari hadis tersebut di atas, secara sharih menjelaskan usia Aisyah saat akad dengan Nabi SAW masih anak-anak yakni usia 6 tahun, dan diajak membina rumah tangga tatkala telah mencapai usia 9 tahun. Hal ini dipahami sebagai sebuah kebolehan dan keabsahan pernikahan wanita yang masih kanak-kanak.
Namun demikian, khabar bahwa Nabi SAW menikahi Aisyah usia 6 tahun dan membina rumah tangga di usia 9 tahun, walau tercantum dalam sahih Bukhari, ada beberapa ulama yang mencoba mengkritisi dengan sumber-sumber lain.
  1. 4.            Perbuatan Sahabat
Dalam catatan Ibnu Qudamah, ada beberapa sahabat yang menikahkan atau menikahi anak perempuan yang masih anak-anak seperti yang diriwayatkan oleh al-Atsram :
Menurut penuturan Ibnu Qudamah di atas, bahwasanya Qudamah bin Mazh’un menikahi anak perempuan Zubair ketika masih kecil, terus dikatakan kepadanya, maka ia menjawab, “ anak perempuan Zubair jika aku mati ia mewarisiku, jika aku hidup maka ia adalah istriku”. Imam Ali Karramallahu wajhah menikahkan putrinya Ummi Kultsum ketika masih kecil dengan Umar bin al-Khattab ra.
Dengan empat argumen di atas, jumhur fuqaha` merasa yakin akan kebolehan menikahkan anak-anak walaupun belum baligh.
  1. C.          Hukum Pernikahan Dini di Kalangan Fuqaha`
Pernikahan dini, atau bahkan pernikahan anak-anak dalam pandangan jumhur ulama hukumnya boleh dan sah dilakukan oleh ayah atau wali walau tanpa seizin anaknya itu. Kebolehan nikah dini ini, secara implisit, juga dapat dibaca dalam syarat-syarat calon mempelai laki-laki dan perempuan. Nyaris tak satupun kitab-kitab fiqh yang mensyaratkan umur tertentu, kecuali hal ini baru ditemukan dalam berbagai perundangan di berbagai negeri  muslim.
Ibnu Syubrumah, Abu Bakar al-Ashamm dan Usman al-Butti menandaskan ketidakbolehan pernikahan yang dilakukan pasangan yang masih di bawah umur atau belum baligh. Sementara itu Ibnu Hazm menyatakan boleh menikahkan anak perempuan yang di bawah umur, sedang bagi anak laki-laki tidak boleh dinikahkan sampai ia baligh. 
Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Muhalla mengutip pendapat Ibnu Syubrumah sbb :
Ibnu Syubrumah berkata, “ Seorang ayah tidak boleh menikahkan putrinya yang masih kecil sampai ia balighah dan dimintai persetujuannya. Ibnu Syubrumah memandang masalah pernikahan Siti ‘Aisyah sebagai khususiyah bagi Nabi SAW, seperti kebolehan bagi Nabi menikahi wanita tanpa mahar, juga kebolehan bagi Nabi menikah lebih dari empat”.
Imam Nawawi ra dalam syarh sahih muslimnya menjelaskan, bahwa kaum muslimin telah berijma’ dibolehkannya menikahkan gadis yang masih kecil/anak-anak dan jika sudah besar/balighah tidak ada khiyar untuk fasakh baginya menurut Imam Malik dan Imam asy-Syafi’I dan seluruh fuqaha Hijaz. Sedang fuqaha`  Iraq menyatakan ia boleh melakukan khiyar jika telah balighah.
Sungguhpun para fuqaha` klasik dan tengah pada umumnya membolehkan pernikahan dini atau anak-anak, namun kecenderungan fuqaha` dan legislator di masa modern ini cenderung tidak membolehkannya, atau sekurangnya membatasinya, dengan memperhatikan berbagai faktor, apalagi kalau pernikahan anak-anak tadi dilakukan secara paksa tanpa ridha dari anak yang mau menjalani.
Adalah sebuah ‘kemajuan’ di kalangan ulama Saudi yang selama ini dikenal bersikap rigid dan ketat dalam berpegang pada nash, di mana mufti-mufti besarnya sudah tidak membolehkan lagi kawin paksa termasuk bagi anak-anak, seperti yang difatwakan oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Syaikh Muhammad ash-Shalih al-‘Utsaimin, dan Syaikh Muhammad bin Ibrahim Ali asy-Syaikh.
D.    Pandangan KHI dan UU Perkawinan
Beberapa ulama memakruhkan praktik pernikahan usia dini.Makruh artinya boleh dilakukan namun lebih baik ditinggalkan.Anak perempuan yang masih kecil belum siap secara fisik maupun psikologis untuk memikul tugas sebagai istri dan ibu rumah tangga,meskipun dia sudah aqil baligh atau sudah melalui masa haid.Karena itu menikahkan anak perempuan yang masih kecil dinilai tidak maslahat bahkan bias menimbilkan *mafsadah* (kerusakan).Pertimbangan maslahat-mafsadah ini juga diterima dalam madzab Syafii.
Dalam kontek Indonesia, kita punya undang-undang yang mengatur penetapan usia nikah. Undang-undang itu merupakan hasil ijtihad para ulama atau ahli fikih setempat atau kita sebut sebagai ijtihad jama'i,yakni ijtihad yang dilakukan bersama-sama oleh ulama pada suatu tempat dan pada suatu masa.Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa batasminimal usia perkawinan untuk perempuan adalah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun.Lalu juga ada pasal lain yang menyebutkan bahwa pernikahan di bawah usia 21 hanya bisa dilangsungkan dengan persyaratan tambahan.Aturan mengenai usia nikah itu juga ditegaskan kembali dalam PP No 9 tahun 75 dan Instruksi Presiden No 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Salah satu prinsip yang dianut dalam UU perkawinan di Indonesia adalah calon suami istri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berpikir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Maka dari itu, usia pernikahan perlu ditentukan batas minimalnya.
Di Indonesia, UU yang mengatur masalah perkawinan adalah UU Nomor 1 Tahun 1974 yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974. Ketentuan usia minimal kawin diatur dalam pasal 7 yang berbunyi :
Ayat 1 : Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
Ayat 2 : Dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 pasal itu dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar