Sejak
awal kehidupan manusia, telah dikenal kekuatan supranatural yang berada di luar
diri manusia. Kekuatan ini dianggap sebagai sesuatu yang gaib, bahkan terkadang
hal gaib diimajinasikan serupa dengan hewan. Kepercayaan pada sesuatu yang luar
biasa di luar diri manusia membuat manusia meyakini bahwa ada pengaturan
khusus, baik itu dari segi moralitas atau aturan-aturan lainnya mengenai
makhluk dan alam raya yang telah dirancang oleh “kekuatan” tersebut.
Setiap
bangsa pada umumnya mempunyai ajaran tentang Dzat supranatural (Tuhan), yang
menciptakan dan mengatur alam raya ini. Orang-orang Yunani dan Romawi Kuno
menganut paham politeisme (keyakinan banyak Tuhan). Orang-orang Mesir Kuno
memercayai dewa-dewa Ra, Isis, Osiris, dan lainnya. Bahkan, dalam masa
Pertengahan Mesir memunculkan satu kata, yaitu To Hen (artinya, “Yang Satu”).
Orang-orang Hindu meyakini adanya Dewa Wisnu, Dewa Syiwa, dan Dewa Brahma.
Orang-orang Jepang memercayai adanya dewa-dewa yang bersemayam di Gunung
Fujiyama dan meyakini Dewa Matahari (omitrasu
omikami) sebagai dewa tertinggi.
Dari
sekian banyak terminologi yang dipergunakan oleh bangsa-bangsa tersebut, banyak
di antaranya yang mengacu pada Tuhan yang satu. Sebagian bangsa Yunani adalah penyembah Dewa Eli (dalam bahasa Ibrani
dikenal sebagai Eliot atau ‘Ali sebagai Tuhan tertinggi), dalam bahasa Persia
dikenal nama Ahriman (Tuhan Terang; yang serumpun dengan kata al-rahman),
dalam bahasa Mesir abad pertengahan dikenal kata To Hen (artinya “Yang Satu”;
asal kata “Tuhan”), dalam bahasa Ibrani dikenal Yahwe (serumpun dengan Ya
Huwa), dalam bahasa Kristen dikenal Haleluya (mirip dengan Ya Khalilu).[1]
Pada masa pra-Islam, setiap suku biasanya memiliki
Tuhan atau dewa lokal yang dikenal dengan nama diri. Jadi, pada awalnya, setiap
suku memiliki makna lokal sendiri ketika mereka menggunakan kata yang maknanya
sebanding dengan “Tuhan”.
Begitu
pula yang terjadi pada Nabi Ibrahim. Ia mencari dzat yang menciptakan segala
sesuatu yang ada di langit dan di bumi. Salah satu ayat yang menjelaskan
pencarian Ibrahim atas Tuhan terdapat dalam Q.S. Al-An’am ayat 76-79 berikut:
$£Jn=sù £`y_ Ïmøn=tã ã@ø©9$# #uäu $Y6x.öqx. ( tA$s% #x»yd În1u ( !$£Jn=sù @sùr& tA$s% Iw =Ïmé& úüÎ=ÏùFy$# ÇÐÏÈ $£Jn=sù #uäu tyJs)ø9$# $ZîÎ$t/ tA$s% #x»yd În1u ( !$£Jn=sù @sùr& tA$s% ûÈõs9 öN©9 ÎTÏöku În1u úsðqà2V{ z`ÏB ÏQöqs)ø9$# tû,Îk!!$Ò9$# ÇÐÐÈ $£Jn=sù #uäu }§ôJ¤±9$# ZpxîÎ$t/ tA$s% #x»yd În1u !#x»yd çt9ò2r& ( !$£Jn=sù ôMn=sùr& tA$s% ÉQöqs)»t ÎoTÎ) ÖäüÌt/ $£JÏiB tbqä.Îô³è@ ÇÐÑÈ ÎoTÎ) àMôg§_ur }Îgô_ur Ï%©#Ï9 tsÜsù ÅVºuq»yJ¡¡9$# ßöF{$#ur $ZÿÏZym ( !$tBur O$tRr& ÆÏB úüÏ.Îô³ßJø9$# ÇÐÒÈ
Artinya:
76. Ketika malam telah gelap, Dia melihat
sebuah bintang (lalu) Dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala
bintang itu tenggelam Dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang
tenggelam."
77. Kemudian tatkala Dia melihat bulan terbit
Dia berkata: "Inilah Tuhanku". tetapi setelah bulan itu terbenam, Dia
berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaKu,
pastilah aku Termasuk orang yang sesat."
78. Kemudian tatkala ia melihat matahari
terbit, Dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar". Maka
tatkala matahari itu terbenam, Dia berkata: "Hai kaumku, Sesungguhnya aku
berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.
79. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku
kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama
yang benar, dan aku bukanlah Termasuk orang-orang yang mempersekutukan tuhan.
Dialog
ini berlangsung setelah ia menjelaskan kesalahan bapaknya dalam menyembah
berhala. Menurut Ibn Katsir, dialog ini diarahkan oleh Ibrahim kepada kaumnya
yang masih menyembah benda-benda langit. Dialog pada ayat-ayat di atas
mengisahkan perjalanan Ibrahim dalam mencari Tuhan yang sejati, yang berhak
untuk disembah. Pencarian Ibrahim ini dilandasi pemikiran yang mendalam dan
penalaran yang argumentative.
Selanjutnya
dalam rangkaian ayat-ayat di atas digunakan kata al-afilin dalam format jam’
al-mudzakkar (plural maskulin). Biasanya, bentuk kata ini digunakan untuk
makhluk berakal. Hal ini menunjukan bahwa Ibrahim dalam dakwahnya berdasarkan
jalan pikiran kaumnya bahwa bintang-bintang itu berakal dan mengatur alam
semesta. Kata al-afilin mengandung
arti menghilang dan menjauh dari pandangan manusia. Tatkala bintang itu
menghilang, ia tidak dapat mengawasi manusia. Penggunaan argumentasi falamma afala (tatkala bulan itu
menghilang) lebih kuat daripada menggunakan kata-kata sebaliknya “tatkala bulan
terbit” dengan argumentasi tersebut, kaumnya bisa menyaksikan langsung dari
mulai bulan itu tampak lalu pelan-pelan menghilang.
Dalam
dialog ini, diperlihatkannya kesalahan menyembah sesuatu yang mengalami
perubahan dan pergantian karena yang patut disembah itu tidak boleh mengalami
perubahan dan pergantian. Selain itu, gaya dialog yang digunakan juga
berjenjang. Dialog dimulai dari argumentasi yang paling rendah sampai dengan
argumentasi tinggi, dari penampakannya yang paling kecil sampai yang paling
besar.[2]
Pencarian
Ibrahim dari mulai meyakini hal-hal yang nampak di alam yang dianggapnya
sebagai Tuhan karena argument rasional dan ilmiahnya, hingga bergeserlah
keyakinan itu kepada Sesuatu yang tidak nampak, yaitu yang menciptakan segala
sesuatu yang nampak. Tingkatan yang telah dilalui oleh Ibrahim dari pengetahuan
yang rasional sampai ke suprarasional merupakan hasil pemikiran yang membuat
Ibrahim lebih meyakini dan tidak ada keraguan sedikitpun kepada keberadaan
Tuhan.
Di
dalam Al-Qur’an kita juga menemukan kisah Ibrahim yang ingin mengetahui
perbuatan (af’al) Tuhan. Surat
Al-Baqarah: 260 berikut:
øÎ)ur tA$s% ÞO¿Ïdºtö/Î) Éb>u ÏRÍr& y#ø2 Çósè? 4tAöqyJø9$# ( tA$s% öNs9urr& `ÏB÷sè? ( tA$s% 4n?t/ `Å3»s9ur £`ͳyJôÜuÏj9 ÓÉ<ù=s% ( tA$s% õãsù Zpyèt/ör& z`ÏiB Îö©Ü9$# £`èd÷ÝÇsù y7øs9Î) ¢OèO ö@yèô_$# 4n?tã Èe@ä. 9@t6y_ £`åk÷]ÏiB #[ä÷ã_ ¢OèO £`ßgãã÷$# y7oYÏ?ù't $\÷èy 4 öNn=÷æ$#ur ¨br& ©!$# îÍtã ×LìÅ3ym ÇËÏÉÈ
Artinya:
260. Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata:
"Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan
orang-orang mati." Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu ?"
Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap
mantap (dengan imanku) Allah berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat
ekor burung, lalu cincanglah[165] semuanya olehmu. (Allah berfirman):
"Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian
itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan
segera." dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Permintaan
“nakal” Ibrahim pun bermula dari perkataan kaumnya. Hal ini terbaca pada ayat
sebelumnya yaitu Q.S. Al-Baqarah: 258
öNs9r& ts? n<Î) Ï%©!$# ¢l!%tn zN¿Ïdºtö/Î) Îû ÿ¾ÏmÎn/u ÷br& çm9s?#uä ª!$# ù=ßJø9$# øÎ) tA$s% ãN¿Ïdºtö/Î) }În/u Ï%©!$# ¾Çósã àMÏJãur tA$s% O$tRr& ¾ÄÓóré& àMÏBé&ur ( tA$s% ãN¿Ïdºtö/Î) cÎ*sù ©!$# ÎAù't ħôJ¤±9$$Î/ z`ÏB É-Îô³yJø9$# ÏNù'sù $pkÍ5 z`ÏB É>ÌøóyJø9$# |MÎgç6sù Ï%©!$# txÿx. 3 ª!$#ur w Ïöku tPöqs)ø9$# tûüÏJÎ=»©à9$# ÇËÎÑÈ
Artinya:
258. Apakah kamu tidak memperhatikan orang
yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan
kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). ketika Ibrahim mengatakan:
"Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan," orang itu berkata:
"Saya dapat menghidupkan dan mematikan".Ibrahim berkata:
"Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, Maka terbitkanlah Dia
dari barat," lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
Maksud
perkataan sang raja, aku juga dapat
menghidupkan dan mematikan, tentu saja adalah membatalkan hukuman mati atas
seseorang sehingga hidupnya dapat berlanjut, atau meneruskan hukuman mati
dengan membunuhnya seketika. Ada miskonsepsi dari sang raja terhadap perkataan
Ibrahim sebelumnya. Oleh karena itu, Ibrahim segera berujar dengan sesuatu yang
tak bisa “dipermainkan”, Tuhankulah yang
menerbitkan matahari dari timur. Silakan engkau terbitkan ia dari barat.
Sekalipun
perkataan sang raja yang miskonsepsi itu segera Ibrahim tumpas dengan
argumennya, tetap saja pernyataan itu menggelitik benaknya. Ibrahim pun meminta
kepada Tuhan “bagaimana cara Tuhan menghidupkan dan mematikan”. Tujuan Ibrahim
meminta hal demikian adalah… agar hatiku
tenang.[3]
Tuhan dalam Buku The Evolution of God Karya Robert Wright
Dimulai
dengan dewa dari suku-suku pemburu dan pengumpul yang mengikuti sistem kesukuan
dan bangsa, kemudian kepada politeisme orang Israel awal dan monoteisme yang
diikuti, dan kemudian ke Perjanjian Baru dan Al-Quran, sebelum berakhir dengan
era multinasional modern yang mengerucut pada Tuhan Yudaisme, Kristen dan
Islam. Dalam “The Evolution of God”,
Wright mengemukakan kisah yang sama dari sudut pandang agama, mengusulkan bahwa
peningkatan kebaikan tentang Tuhan mencerminkan peningkatan kebaikan spesies kita.
“Sebagai lingkup organisasi sosial yang tumbuh, Tuhan cenderung digambarkan
mengejar ketertinggalan, sebagaimana hamparan besar kemanusiaan di bawah
perlindungannya, atau setidaknya hamparan besar kemanusiaan di bawah
toleransi-Nya.” Wright berpendapat bahwa masing-masing agama-agama Ibrahim yang
utama telah dipaksa ke arah pertumbuhan moral demikian dalam berinteraksi
dengan agama lain pada tingkat multinasional, dan bahwa perluasan imajinasi
moral ternyata mencerminkan “tujuan yang lebih tinggi, suatu tatanan moral
transenden.”
Bahwa
ia melacak konsepsi masyarakat yang ilahi, tapi bukan ke-ilahian itu sendiri.
Terjadi
penyangkalan terhadap keistimewaan iman apapun. Dalam pandangannya, ada
perubahan positif yang terus menerus dari waktu ke waktu, sejarah agama memiliki
arah tertentu mengenai moral, tetapi tidak ada gerakan moral yang terkait
dengan wahyu seiring dengan munculnya Musa, Yesus atau Muhammad. Demikian pula,
ia berpendapat bahwa semua itu hanya buang-buang waktu untuk mencari esensi dari
salah satu agama monoteistik itu konyol, misalnya, untuk menanyakan apakah
Islam adalah “agama damai” seperti seorang hakim yang percaya dirinya tinggal
dalam konstitusi yang hidup. Memercayai itu semua hanyalah pilihan yang dibuat
manusia, bagaimana teks agama diinterpretasikan.
Bukanlah
Tuhan yang berevolusi. Namun, manusialah yang berevolusi. Tuhan hanya datang
sepanjang perjalanan pencarian manusia mencari Tuhan.
Daftar
Pustaka
November
2015 pukul 21.20 WIB
Rusmana Dadan dan
Rahtikawati Yayan. 2014. Tafsir Ayat-Ayat
Sosial
Budaya. Bandung: Pustaka
Setia.
Qalyubi, Syihabuddin.
2009. Stilistika Al-Qur’an.
Yogyakarta: LKiS.
Noor, Fauz. 2009. Berpikir Seperti Nabi: Perjalanan Menuju
Kepasrahan.
Yogyakarta:
LKiS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar