Minggu, 17 Januari 2016

Sejarah KeTuhanan sejak Nabi Ibrahim

Sejak awal kehidupan manusia, telah dikenal kekuatan supranatural yang berada di luar diri manusia. Kekuatan ini dianggap sebagai sesuatu yang gaib, bahkan terkadang hal gaib diimajinasikan serupa dengan hewan. Kepercayaan pada sesuatu yang luar biasa di luar diri manusia membuat manusia meyakini bahwa ada pengaturan khusus, baik itu dari segi moralitas atau aturan-aturan lainnya mengenai makhluk dan alam raya yang telah dirancang oleh “kekuatan” tersebut.
Setiap bangsa pada umumnya mempunyai ajaran tentang Dzat supranatural (Tuhan), yang menciptakan dan mengatur alam raya ini. Orang-orang Yunani dan Romawi Kuno menganut paham politeisme (keyakinan banyak Tuhan). Orang-orang Mesir Kuno memercayai dewa-dewa Ra, Isis, Osiris, dan lainnya. Bahkan, dalam masa Pertengahan Mesir memunculkan satu kata, yaitu To Hen (artinya, “Yang Satu”). Orang-orang Hindu meyakini adanya Dewa Wisnu, Dewa Syiwa, dan Dewa Brahma. Orang-orang Jepang memercayai adanya dewa-dewa yang bersemayam di Gunung Fujiyama dan meyakini Dewa Matahari (omitrasu omikami) sebagai dewa tertinggi.
Dari sekian banyak terminologi yang dipergunakan oleh bangsa-bangsa tersebut, banyak di antaranya yang mengacu pada Tuhan yang satu. Sebagian bangsa Yunani adalah  penyembah Dewa Eli (dalam bahasa Ibrani dikenal sebagai Eliot atau ‘Ali sebagai Tuhan tertinggi), dalam bahasa Persia dikenal nama Ahriman (Tuhan Terang; yang serumpun dengan kata  al-rahman), dalam bahasa Mesir abad pertengahan dikenal kata To Hen (artinya “Yang Satu”; asal kata “Tuhan”), dalam bahasa Ibrani dikenal Yahwe (serumpun dengan Ya Huwa), dalam bahasa Kristen dikenal Haleluya (mirip dengan Ya Khalilu).[1]
Pada  masa pra-Islam, setiap suku biasanya memiliki Tuhan atau dewa lokal yang dikenal dengan nama diri. Jadi, pada awalnya, setiap suku memiliki makna lokal sendiri ketika mereka menggunakan kata yang maknanya sebanding dengan “Tuhan”.
Begitu pula yang terjadi pada Nabi Ibrahim. Ia mencari dzat yang menciptakan segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi. Salah satu ayat yang menjelaskan pencarian Ibrahim atas Tuhan terdapat dalam Q.S. Al-An’am ayat 76-79 berikut:
$£Jn=sù £`y_ Ïmøn=tã ã@ø©9$# #uäu $Y6x.öqx. ( tA$s% #x»yd În1u ( !$£Jn=sù Ÿ@sùr& tA$s% Iw =Ïmé& šúüÎ=ÏùFy$# ÇÐÏÈ   $£Jn=sù #uäu tyJs)ø9$# $ZîÎ$t/ tA$s% #x»yd În1u ( !$£Jn=sù Ÿ@sùr& tA$s% ûÈõs9 öN©9 ÎTÏöku În1u žúsðqà2V{ z`ÏB ÏQöqs)ø9$# tû,Îk!!$žÒ9$# ÇÐÐÈ   $£Jn=sù #uäu }§ôJ¤±9$# ZpxîÎ$t/ tA$s% #x»yd În1u !#x»yd çŽt9ò2r& ( !$£Jn=sù ôMn=sùr& tA$s% ÉQöqs)»tƒ ÎoTÎ) Öäü̍t/ $£JÏiB tbqä.ÎŽô³è@ ÇÐÑÈ   ÎoTÎ) àMôg§_ur }Îgô_ur Ï%©#Ï9 tsÜsù ÅVºuq»yJ¡¡9$# šßöF{$#ur $ZÿÏZym ( !$tBur O$tRr& šÆÏB šúüÏ.ÎŽô³ßJø9$# ÇÐÒÈ  

Artinya:
76. Ketika malam telah gelap, Dia melihat sebuah bintang (lalu) Dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam Dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam."
77. Kemudian tatkala Dia melihat bulan terbit Dia berkata: "Inilah Tuhanku". tetapi setelah bulan itu terbenam, Dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaKu, pastilah aku Termasuk orang yang sesat."
78. Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, Dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar". Maka tatkala matahari itu terbenam, Dia berkata: "Hai kaumku, Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.
79. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah Termasuk orang-orang yang mempersekutukan tuhan.
Dialog ini berlangsung setelah ia menjelaskan kesalahan bapaknya dalam menyembah berhala. Menurut Ibn Katsir, dialog ini diarahkan oleh Ibrahim kepada kaumnya yang masih menyembah benda-benda langit. Dialog pada ayat-ayat di atas mengisahkan perjalanan Ibrahim dalam mencari Tuhan yang sejati, yang berhak untuk disembah. Pencarian Ibrahim ini dilandasi pemikiran yang mendalam dan penalaran yang argumentative.
Selanjutnya dalam rangkaian ayat-ayat di atas digunakan kata al-afilin dalam format jam’ al-mudzakkar (plural maskulin). Biasanya, bentuk kata ini digunakan untuk makhluk berakal. Hal ini menunjukan bahwa Ibrahim dalam dakwahnya berdasarkan jalan pikiran kaumnya bahwa bintang-bintang itu berakal dan mengatur alam semesta. Kata al-afilin mengandung arti menghilang dan menjauh dari pandangan manusia. Tatkala bintang itu menghilang, ia tidak dapat mengawasi manusia. Penggunaan argumentasi falamma afala (tatkala bulan itu menghilang) lebih kuat daripada menggunakan kata-kata sebaliknya “tatkala bulan terbit” dengan argumentasi tersebut, kaumnya bisa menyaksikan langsung dari mulai bulan itu tampak lalu pelan-pelan menghilang.
Dalam dialog ini, diperlihatkannya kesalahan menyembah sesuatu yang mengalami perubahan dan pergantian karena yang patut disembah itu tidak boleh mengalami perubahan dan pergantian. Selain itu, gaya dialog yang digunakan juga berjenjang. Dialog dimulai dari argumentasi yang paling rendah sampai dengan argumentasi tinggi, dari penampakannya yang paling kecil sampai yang paling besar.[2]
Pencarian Ibrahim dari mulai meyakini hal-hal yang nampak di alam yang dianggapnya sebagai Tuhan karena argument rasional dan ilmiahnya, hingga bergeserlah keyakinan itu kepada Sesuatu yang tidak nampak, yaitu yang menciptakan segala sesuatu yang nampak. Tingkatan yang telah dilalui oleh Ibrahim dari pengetahuan yang rasional sampai ke suprarasional merupakan hasil pemikiran yang membuat Ibrahim lebih meyakini dan tidak ada keraguan sedikitpun kepada keberadaan Tuhan.
Di dalam Al-Qur’an kita juga menemukan kisah Ibrahim yang ingin mengetahui perbuatan (af’al) Tuhan. Surat Al-Baqarah: 260 berikut:
øŒÎ)ur tA$s% ÞO¿Ïdºtö/Î) Éb>u ÏRÍr& y#øŸ2 Çósè? 4tAöqyJø9$# ( tA$s% öNs9urr& `ÏB÷sè? ( tA$s% 4n?t/ `Å3»s9ur £`ͳyJôÜuŠÏj9 ÓÉ<ù=s% ( tA$s% õãsù Zpyèt/ör& z`ÏiB ÎŽö©Ü9$# £`èd÷ŽÝÇsù y7øs9Î) ¢OèO ö@yèô_$# 4n?tã Èe@ä. 9@t6y_ £`åk÷]ÏiB #[ä÷ã_ ¢OèO £`ßgãã÷Š$# y7oYÏ?ù'tƒ $\Š÷èy 4 öNn=÷æ$#ur ¨br& ©!$# îƒÍtã ×LìÅ3ym ÇËÏÉÈ   
Artinya:
260. Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu ?" Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah[165] semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera." dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Permintaan “nakal” Ibrahim pun bermula dari perkataan kaumnya. Hal ini terbaca pada ayat sebelumnya yaitu Q.S. Al-Baqarah: 258
öNs9r& ts? n<Î) Ï%©!$# ¢l!%tn zN¿Ïdºtö/Î) Îû ÿ¾ÏmÎn/u ÷br& çm9s?#uä ª!$# šù=ßJø9$# øŒÎ) tA$s% ãN¿Ïdºtö/Î) }În/u Ï%©!$# ¾ÇósムàMÏJãƒur tA$s% O$tRr& ¾ÄÓóré& àMÏBé&ur ( tA$s% ãN¿Ïdºtö/Î)  cÎ*sù ©!$# ÎAù'tƒ ħôJ¤±9$$Î/ z`ÏB É-ÎŽô³yJø9$# ÏNù'sù $pkÍ5 z`ÏB É>̍øóyJø9$# |MÎgç6sù Ï%©!$# txÿx. 3 ª!$#ur Ÿw Ïöku tPöqs)ø9$# tûüÏJÎ=»©à9$# ÇËÎÑÈ  
Artinya:
258. Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). ketika Ibrahim mengatakan: "Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan," orang itu berkata: "Saya dapat menghidupkan dan mematikan".Ibrahim berkata: "Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, Maka terbitkanlah Dia dari barat," lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
Maksud perkataan sang raja, aku juga dapat menghidupkan dan mematikan, tentu saja adalah membatalkan hukuman mati atas seseorang sehingga hidupnya dapat berlanjut, atau meneruskan hukuman mati dengan membunuhnya seketika. Ada miskonsepsi dari sang raja terhadap perkataan Ibrahim sebelumnya. Oleh karena itu, Ibrahim segera berujar dengan sesuatu yang tak bisa “dipermainkan”, Tuhankulah yang menerbitkan matahari dari timur. Silakan engkau terbitkan ia dari barat.
Sekalipun perkataan sang raja yang miskonsepsi itu segera Ibrahim tumpas dengan argumennya, tetap saja pernyataan itu menggelitik benaknya. Ibrahim pun meminta kepada Tuhan “bagaimana cara Tuhan menghidupkan dan mematikan”. Tujuan Ibrahim meminta hal demikian adalah… agar hatiku tenang.[3]
Tuhan dalam Buku The Evolution of God Karya Robert Wright
Dimulai dengan dewa dari suku-suku pemburu dan pengumpul yang mengikuti sistem kesukuan dan bangsa, kemudian kepada politeisme orang Israel awal dan monoteisme yang diikuti, dan kemudian ke Perjanjian Baru dan Al-Quran, sebelum berakhir dengan era multinasional modern yang mengerucut pada Tuhan Yudaisme, Kristen dan Islam. Dalam “The Evolution of God”, Wright mengemukakan kisah yang sama dari sudut pandang agama, mengusulkan bahwa peningkatan kebaikan tentang Tuhan mencerminkan peningkatan kebaikan spesies kita. “Sebagai lingkup organisasi sosial yang tumbuh, Tuhan cenderung digambarkan mengejar ketertinggalan, sebagaimana hamparan besar kemanusiaan di bawah perlindungannya, atau setidaknya hamparan besar kemanusiaan di bawah toleransi-Nya.” Wright berpendapat bahwa masing-masing agama-agama Ibrahim yang utama telah dipaksa ke arah pertumbuhan moral demikian dalam berinteraksi dengan agama lain pada tingkat multinasional, dan bahwa perluasan imajinasi moral ternyata mencerminkan “tujuan yang lebih tinggi, suatu tatanan moral transenden.”
Bahwa ia melacak konsepsi masyarakat yang ilahi, tapi bukan ke-ilahian itu sendiri.
Terjadi penyangkalan terhadap keistimewaan iman apapun. Dalam pandangannya, ada perubahan positif yang terus menerus dari waktu ke waktu, sejarah agama memiliki arah tertentu mengenai moral, tetapi tidak ada gerakan moral yang terkait dengan wahyu seiring dengan munculnya Musa, Yesus atau Muhammad. Demikian pula, ia berpendapat bahwa semua itu hanya buang-buang waktu untuk mencari esensi dari salah satu agama monoteistik itu konyol, misalnya, untuk menanyakan apakah Islam adalah “agama damai” seperti seorang hakim yang percaya dirinya tinggal dalam konstitusi yang hidup. Memercayai itu semua hanyalah pilihan yang dibuat manusia, bagaimana teks agama diinterpretasikan.
Bukanlah Tuhan yang berevolusi. Namun, manusialah yang berevolusi. Tuhan hanya datang sepanjang perjalanan pencarian manusia mencari Tuhan.



Daftar Pustaka

Website http://evolutionofgod.net/ diakses pada hari Kamis, tanggal 04
November 2015 pukul 21.20 WIB

Rusmana Dadan dan Rahtikawati Yayan. 2014. Tafsir Ayat-Ayat Sosial
Budaya. Bandung: Pustaka Setia.

Qalyubi, Syihabuddin. 2009. Stilistika Al-Qur’an. Yogyakarta: LKiS.

Noor, Fauz. 2009. Berpikir Seperti Nabi: Perjalanan Menuju Kepasrahan.
Yogyakarta: LKiS.



[1] Dadan Rusmana, Yayan Rahtikawati, Tafsir Ayat-Ayat Sosial Budaya, (Bandung: Pustaka Setia, 2014) hlm. 86-87
[2] Syihabuddin Qalyubi, Stalistika Al-Qur’an, (Yogyakarta: LKiS, 2009) hlm. 186-188
[3] Fauz noor, Berpikir Seperti Nabi, (Yogyakarta: LKiS, 2009) hlm. 314-316

Tidak ada komentar:

Posting Komentar