Minggu, 17 Januari 2016

Potret Peranan Perempuan Dalam Pembangunan Desa Di Kota Bandung


Manusia adalah hewan yang berpikir, begitulah menurut filsuf Aristoteles. Manusia disini terlepas dari manusia perempuan ataupun manusia laki-laki, artinya setiap manusia adalah hewan yang berpikir. Inilah yang membedakan manusia dengan hewan, penggunaan instinct saja tidak cukup, manusia diberikan akal untuk berpikir, tapi ternyata berpikir saja juga belum cukup, perlu tindakan nyata dari hasil berpikir tersebut. Tindakan ini yang akan menunjukkan kerja-kerja manusia.
Lingkup kerja manusia sangat luas, dari mulai melakukan kerja bagi kehidupan diri sendiri, kerja dalam lingkungan sosial, kerja dalam ruang ekonomi, politik, budaya, pemerintahan dsb. Negara sebagai organisasi tertinggi menjadi ruang yang luas bagi manusia di dalamnya (yaitu rakyatnya). Di Indonesia yang masih kental dengan adat serta selimut budaya, masih tabu untuk manusia perempuan terlibat di dalam pergulatan kehidupan sosial, politik, budaya, ekonomi dan lainnya yang berkaitan dengan ruang publik.  Ini menjadi dilema bagi kaum perempuan yang berjiwa tangguh dan revolusioner, terkadang selalu ada halangan dan rintangan yang menghalangi langkahnya. Termasuk pada urusan pemerintahan yang sebenarnya sangat terbuka di Negara demokrasi ini bagi setiap warga Negaranya (tanpa terkecuali). Seperti misalnya mengenai keterlibatan perempuan dalam lingkungan sosial yang terdekat darinya, yaitu desa atau tempat ia tinggal. Mengenai hal ini, perempuan pada era pasca reformasi sudah banyak terlibat dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan orang banyak, semisal menjadi pemimpin atau jadi unsur pengambil keputusan. Pengaruh akses pendidikan yang didapatkan oleh sebagian perempuan di Indonesia membuat karakter perempuan menjadi terlihat dan disegani. Kemampuan yang sama bahkan melebihi laki-laki adalah suatu penyangkalan pada argumen bahwa perempuan tidak layak dan tidak berhak mendapatkan tempat di ruang sosial.
Ruang sosial yang paling inti dalam tatanan kenegaraan Indonesia setelah RT dan RW adalah desa. Dalam UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa Bab I pasal 1 ayat (1) menjelaskan bahwa “Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Ini artinya bahwa desa adalah wilayah dan memiliki wewenang dalam urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat. Yang memiliki wewenang dalam mengatur urusan pemerintahan ini adalah orang yang diberikan wewenang dan tugas sesuai peraturan yang berlaku dalam penerimaan dan penetapan pegawai kantor desa. Tetapi Indonesia adalah Negara demokrasi, dalam menjalankan pemerintahan tidak saja pegawai negeri sipil atau pejabat berwenang yang bertanggung jawab dalam urusan pemerintahan, ada prinsip good governance dan civil society, masyarakat pun terlibat dalam pengawasan pelaksanaan pemerintahan yang baik. Semua warga Negara Indonesia berhak dalam peran pengawasan ini. Bagi perempuan pun tidak ditutup ruang ini. Di Desa/Kelurahan Cipadung Kulon Kota Bandung, keterlibatan perempuan dalam pembangunan daerah desa tidak bisa dikatakan nampak atau tidak nampak. Dalam ruang kantor desa, sebagian kursi diduduki oleh perempuan, dalam ruang struktural perempuan banyak terlibat. Tetapi dalam ruang kultural posisi perempuan di desa tak terasa. Padahal pendidikan yang didapatkan oleh kaum perempuan kota tergolong tinggi dan berwawasan luas, tetapi ketidak terlibatan dalam ruang kultural karena mindset dari kaum perempuan mengatakan bahwa menyalurkan wawasan dan kemampuan dipandang tinggi dan terhormat apabila dilakukan di dalam kantor, duduk di kursi dan melakukan pekerjaan-pekerjaan administrasi yang berkaitan dengan keilmuannya adalah suatu posisi yang terpandang dan dihargai masyarakat. Pada kenyataannya, pekerjaan-pekerjaan sosial adalah terhormat, memiliki kemampuan dalam satu bidang dapat dikembangkan untuk memajaukan lingkungan sosial tempat tinggal. Semisal perempuan yang memiliki pengetahuan dan keilmuan mengenai pertanian, tidak harus bersusah payah melamar pekerjaan di dinas pertanian untuk bekerja di kantor dinas, atau berusaha mengubah haluan untuk melamar pekerjaan apa saja (walaupun bukan keahliannya) yang penting duduk di dalam kantor. Dengan mendorong masyarakat sekitar dan para petani untuk mengembangkan hasil tani dengan penyuluhan pun dapat membuat satu kemajuan bagi warga sekitar dan meningkatkan penghasilan petani sekitar. Atau contoh lainnya seorang sarjana bahasa, penggunaan kemampuan sebagai seorang sarjana bahasa dalam ruang–ruang pendidikan bagi anak-anak sekitar lebih dibutuhkan, membuat tempat berlatih membaca dan menulis dapat membantu generasi muda dalam mengembangkan prestasi, ketimbang anak-anak menggunakan sepenuh waktunya hanya untuk bermain karena tidak ada kegiatan lain.
Banyak hal yang dapat dilakukan perempuan dalam pembangunan desa. Gambaran ideal selalu ada tetapi pada kenyataannya peran perempuan tidak terlihat pada contoh-contoh di atas. Tahun 2014 telah disahkan mengenai UU Desa, peraturan ini menyangkut mengenai pembangunan desa dan keuangan desa yang dikucurkan oleh pemerintah pusat dari APBN kepada seluruh desa di Indonesia. Adanya sarjana pendamping desa adalah untuk mengawasi pengalokasian dana untuk kepentingan masyarakat. Prosedural sarjana pendamping desa pun telah diatur. Setiap desa akan didampingi oleh seorang sarjana yang diberikan tunjangan dalam melakukan tanggung jawab dan tugas pengawasannya. Banyak dari sarjana  pendamping desa yang sebenarnya bukan warga desa yang didampinginya. Ini menjadi kendala dalam membangun komunikasi dan kebutuhan warga desa, karena mendampingi tidak hanya diam di ruang kantor dan sekedar “tau jadi” mengenai kebijakan pengalokasian dana. Peran sarjana ini untuk menjadi jembatan antara pejabat desa dengan masyarakat, jadi dirasa tidak efektif apabila sarjana ini bukan berasal dari desa yang didampingi.  Belum lagi selesai urusan sarjana pendamping desa, permasalahan pengangguran di desa pun merajalela dan terus meningkat setiap tahunnya. Perempuan juga banyak menjadi pengangguran masa kini. Sarjana perempuan tidak dapat diserap oleh desa dan disalurkan kemampuannya. Pemerintahan desa saja sudah tidak ada solusi untuk permasalahan ini, bagaimana mungkin perempuan dapat terlibat dalam pembangunan desa jika selain kesadaran dan keinginan sendiri untuk berkembang?

Baik pemerintah desa ataupun kaum perempuan di desa tidak memiliki solusi untuk ini, pembangunan desa menjadi tanggung jawab bersama, hanya saja ketidak terlibatan perempuan dalam pembangunan desa semata-mata adalah kegagapan dalam menempatkan posisi diri sendiri (bagi perempuan) dan kegagapan pemerintah desa dalam memberikan ruang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar