Manusia
adalah hewan yang berpikir, begitulah menurut filsuf Aristoteles. Manusia
disini terlepas dari manusia perempuan ataupun manusia laki-laki, artinya
setiap manusia adalah hewan yang berpikir. Inilah yang membedakan manusia
dengan hewan, penggunaan instinct
saja tidak cukup, manusia diberikan akal untuk berpikir, tapi ternyata berpikir
saja juga belum cukup, perlu tindakan nyata dari hasil berpikir tersebut.
Tindakan ini yang akan menunjukkan kerja-kerja manusia.
Lingkup
kerja manusia sangat luas, dari mulai melakukan kerja bagi kehidupan diri sendiri,
kerja dalam lingkungan sosial, kerja dalam ruang ekonomi, politik, budaya,
pemerintahan dsb. Negara sebagai organisasi tertinggi menjadi ruang yang luas
bagi manusia di dalamnya (yaitu rakyatnya). Di Indonesia yang masih kental
dengan adat serta selimut budaya, masih tabu untuk manusia perempuan terlibat di
dalam pergulatan kehidupan sosial, politik, budaya, ekonomi dan lainnya yang
berkaitan dengan ruang publik. Ini
menjadi dilema bagi kaum perempuan yang berjiwa tangguh dan revolusioner,
terkadang selalu ada halangan dan rintangan yang menghalangi langkahnya.
Termasuk pada urusan pemerintahan yang sebenarnya sangat terbuka di Negara demokrasi
ini bagi setiap warga Negaranya (tanpa terkecuali). Seperti misalnya mengenai
keterlibatan perempuan dalam lingkungan sosial yang terdekat darinya, yaitu
desa atau tempat ia tinggal. Mengenai hal ini, perempuan pada era pasca
reformasi sudah banyak terlibat dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan orang
banyak, semisal menjadi pemimpin atau jadi unsur pengambil keputusan. Pengaruh
akses pendidikan yang didapatkan oleh sebagian perempuan di Indonesia membuat
karakter perempuan menjadi terlihat dan disegani. Kemampuan yang sama bahkan
melebihi laki-laki adalah suatu penyangkalan pada argumen bahwa perempuan tidak
layak dan tidak berhak mendapatkan tempat di ruang sosial.
Ruang
sosial yang paling inti dalam tatanan kenegaraan Indonesia setelah RT dan RW adalah
desa. Dalam UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa Bab I pasal 1 ayat (1) menjelaskan
bahwa “Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya
disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau
hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.” Ini artinya bahwa desa adalah wilayah dan
memiliki wewenang dalam urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat. Yang memiliki wewenang dalam mengatur urusan pemerintahan ini adalah
orang yang diberikan wewenang dan tugas sesuai peraturan yang berlaku dalam
penerimaan dan penetapan pegawai kantor desa. Tetapi Indonesia adalah Negara
demokrasi, dalam menjalankan pemerintahan tidak saja pegawai negeri sipil atau
pejabat berwenang yang bertanggung jawab dalam urusan pemerintahan, ada prinsip
good governance dan civil society, masyarakat pun terlibat
dalam pengawasan pelaksanaan pemerintahan yang baik. Semua warga Negara
Indonesia berhak dalam peran pengawasan ini. Bagi perempuan pun tidak ditutup
ruang ini. Di Desa/Kelurahan Cipadung Kulon Kota Bandung, keterlibatan
perempuan dalam pembangunan daerah desa tidak bisa dikatakan nampak atau tidak nampak.
Dalam ruang kantor desa, sebagian kursi diduduki oleh perempuan, dalam ruang struktural
perempuan banyak terlibat. Tetapi dalam ruang kultural posisi perempuan di desa
tak terasa. Padahal pendidikan yang didapatkan oleh kaum perempuan kota
tergolong tinggi dan berwawasan luas, tetapi ketidak terlibatan dalam ruang
kultural karena mindset dari kaum
perempuan mengatakan bahwa menyalurkan wawasan dan kemampuan dipandang tinggi
dan terhormat apabila dilakukan di dalam kantor, duduk di kursi dan melakukan
pekerjaan-pekerjaan administrasi yang berkaitan dengan keilmuannya adalah suatu
posisi yang terpandang dan dihargai masyarakat. Pada kenyataannya, pekerjaan-pekerjaan
sosial adalah terhormat, memiliki kemampuan dalam satu bidang dapat
dikembangkan untuk memajaukan lingkungan sosial tempat tinggal. Semisal
perempuan yang memiliki pengetahuan dan keilmuan mengenai pertanian, tidak
harus bersusah payah melamar pekerjaan di dinas pertanian untuk bekerja di
kantor dinas, atau berusaha mengubah haluan untuk melamar pekerjaan apa saja
(walaupun bukan keahliannya) yang penting duduk di dalam kantor. Dengan mendorong
masyarakat sekitar dan para petani untuk mengembangkan hasil tani dengan
penyuluhan pun dapat membuat satu kemajuan bagi warga sekitar dan meningkatkan
penghasilan petani sekitar. Atau contoh lainnya seorang sarjana bahasa,
penggunaan kemampuan sebagai seorang sarjana bahasa dalam ruang–ruang
pendidikan bagi anak-anak sekitar lebih dibutuhkan, membuat tempat berlatih
membaca dan menulis dapat membantu generasi muda dalam mengembangkan prestasi,
ketimbang anak-anak menggunakan sepenuh waktunya hanya untuk bermain karena
tidak ada kegiatan lain.
Banyak
hal yang dapat dilakukan perempuan dalam pembangunan desa. Gambaran ideal
selalu ada tetapi pada kenyataannya peran perempuan tidak terlihat pada
contoh-contoh di atas. Tahun 2014 telah disahkan mengenai UU Desa, peraturan
ini menyangkut mengenai pembangunan desa dan keuangan desa yang dikucurkan oleh
pemerintah pusat dari APBN kepada seluruh desa di Indonesia. Adanya sarjana
pendamping desa adalah untuk mengawasi pengalokasian dana untuk kepentingan
masyarakat. Prosedural sarjana pendamping desa pun telah diatur. Setiap desa
akan didampingi oleh seorang sarjana yang diberikan tunjangan dalam melakukan tanggung
jawab dan tugas pengawasannya. Banyak dari sarjana pendamping desa yang sebenarnya bukan warga
desa yang didampinginya. Ini menjadi kendala dalam membangun komunikasi dan
kebutuhan warga desa, karena mendampingi tidak hanya diam di ruang kantor dan sekedar
“tau jadi” mengenai kebijakan pengalokasian dana. Peran sarjana ini untuk
menjadi jembatan antara pejabat desa dengan masyarakat, jadi dirasa tidak
efektif apabila sarjana ini bukan berasal dari desa yang didampingi. Belum lagi selesai urusan sarjana pendamping
desa, permasalahan pengangguran di desa pun merajalela dan terus meningkat
setiap tahunnya. Perempuan juga banyak menjadi pengangguran masa kini. Sarjana
perempuan tidak dapat diserap oleh desa dan disalurkan kemampuannya. Pemerintahan
desa saja sudah tidak ada solusi untuk permasalahan ini, bagaimana mungkin
perempuan dapat terlibat dalam pembangunan desa jika selain kesadaran dan
keinginan sendiri untuk berkembang?
Baik
pemerintah desa ataupun kaum perempuan di desa tidak memiliki solusi untuk ini,
pembangunan desa menjadi tanggung jawab bersama, hanya saja ketidak terlibatan
perempuan dalam pembangunan desa semata-mata adalah kegagapan dalam menempatkan
posisi diri sendiri (bagi perempuan) dan kegagapan pemerintah desa dalam
memberikan ruang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar