Minggu, 17 Januari 2016

MAKALAH Tafsir Ahkam: Konsep Tauhid

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Islam sebagai agama, pada hakikatnya terlihat pada aspek nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung didalamnya. Salah satu bentuk elaborasi dari nilai-nilai kemanusiaan itu adalah pengakuan yang tulus terhadap kesamaan dan kesatuan manusia. Semua manusia adalah sama dan berasal dari sumber yang satu, yaitu Tuhan. Yang membedakan hanyalah prestasi dan kualitas takwanya. Dan bicara soal takwa, hanya Tuhan semesta yang berhak melakukan penilaian.
Setiap muslim hampir dapat dikatakan akan mengatakan bahwa Tuhannya adalah Allah al-ahad (Yang Maha Esa) karena ajaran agama Islam dimulai dengan kalimat Laillah-a illa ‘i-Lah (yang dapat dimaknai dengan “Tidak ada Tuhan melainkan Allah.” Dengan kata lain, seorang muslim akan mengatakan bahwa pokok pangkal Islam adalah ajaran tentang ketauhidan Allah, suatu monoteisme yang tegas dan tidak mengenal kompromi. Oleh karena itu, sepanjang ajaran Al-Qur’an, tawhid-u i-Lah merupakan inti ajaran dan agama yang dianut para rasul dan nabi sepanjang zaman.
Tauhid I-Lah termasuk pada sistem keimanan utama dalam Islam. Ia muncul sebagai aspek utama dalam rukun iman. Keimanan kepada Allah ini membawa konsekuensi pada kewajiban untuk menyembah dan mengikuti segala perintah dari-Nya.
B.    Rumusan Masalah
1.     Bagaimana Konsep Allah dalam Al-Qur’an ?
2.     Bagaimana Transformasi pemaknaan Allah dari Pra-Islam ke dalam konsep Islam
3.     Apa yang disebut makna dari Rububiyyah ke Uluhiyyah Allah
4.     Apa itu Asmaul Husna?

C.    Tujuan Masalah
1.     Mengetahui dan memahami konsep Allah yang diterangkan dalam Al-Qur’an.
2.     Mengetahui sejarah pemaknaan Allah sejak masa pra-Islam hingga pemaknaan Allah dalam Islam.
3.     Mengetahui dan memahami makna Rububiyyah ke Uluhiyyah Allah.
4.     Mengetahui Asmaul Husna.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Konsep Allah dalam Al-Qur’an
Dalam sistem Al-Qur’an, konsep Allah “kata-fokus” tertinggi dan nilai penting yang tidak yang melebihi kedudukannya. Karena hakikat pandangan-dunia Al-Qur’an bersifat teosentrik, tentu saja konsep Allah menguasai dan mendesak seluruh konsep-konsep yang berada dalam struktur universal semantik Al-Qur’an. Oleh karena itu, ajaran tentang Allah merupakan tema sentral Al-Qur’an. Meskipun demikian, Al-Qur’an bukanlah sebuah risalah mengenai Tuhan dan sifat-sifat-Nya. Al-Qur’an menekankan eksistensi Allah dan tidak memperdebatkannya, serta memberikan penjelasan konsekuensi dari keimanan terhadap eksistensi Allah tersebut bagi manusia dan alam.
Kata Allah dalam Al-Qur’an disebut sebanyak 2.799 kali. Nama lainnya yang banyak disebut sampai 976 kali adalah kata rabb, ar-rahim dan ar-rhman berjumlah 560 kali, dan kata al-ghafur disebut 223 kali. Setiap kata tersebut selain menunjukkan kualitas, juga telah mempunyai substansi.[1]
Allah adalah yang pertama dan Esa. Keesaan Tuhan itulah yang berada pada inti Al-Qur’an mengenai Tuhan dan spiritualitas Islam. Kesaksian Islam yang pertama (syahadat)—yang mencakup keseluruhan metafisika dan juga memiliki kekuatan untuk menubah jiwa manusia ke arah kesempurnaan azali—adalah la ilaha illallah (tidak ada Tuhan kecuali Allah). Sintesis tertinggi ajaran Islam ini adalah pernyataan mengenai hakikat ilahi, pertama, sebagai Yang Esa, Yang Mahasuci dari dualitas dan sekutu. Kedua, sebagai sumber segala realitas, keindahan, kebaikan dan segala yang positif di alam semesta. Kesaksian itu juga berarti bahwa “tidak ada realitas kecuali realitas Allah”, “tidak ada keindahan kecuali keindahan Allah”, dst. Menjadi seorang Muslim berarti menerima keesaan Ilahi ini bukan hanya sebagai sebuah pandangan teologis, melainkan juga sebagai kebenaran metafisis dan realitas spiritual actual yang dapat mengubah jiwa manusia menuju kesempurnaan.[2]
Ketika Hasan Hanafi membahas mengenai ilmu tauhid di dalam bukunya Min al-Aqidah ila al-Tsawrah vol. II (Tawhid), sebenarnya ia sedang mengajak kita untuk merekonstruksi ilmu kalam yang selama ini kita terima dari ulama-ulama kalam tradisional. Tujuan utamanya adalah mereformulasi konsepsi teologi sehingga dapat kondusif menjawab tantangan riil kemanusiaan universal dan kehidupan kontemporer. Sebagaimana dikatakan Hanafi, buku itu merupakan usahanya untuk membangun kembali ilmu tauhid, serta dimaksudkan untuk membangun kerangka teoritis yang terpadu, yang mempersatukan antara konsep kelompok salaf dan kelompok sekuler. Kelompok salaf mengetahui berkata, bagaimana berbicara dengan manusia, dan mencaci perasaan keagamaan mereka. Akan tetapi mereka tidak mengetahui apa yang mereka katakan. Artinya mereka membutuhkan isi. Sementara kelompok sekuler mengetahui apa yang mereka katakan, artinya mereka memiliki isi, akan tetapi mereka tidak mengetahui bagaimana berkata. Hasan Hanafi mengusahakan suatu formulasi yang mampu meramu kelebihan yang dimiliki kelompok salaf dan kelompok sekuler bahwa sehingga mengetahui bagaimana berbicara dan mengetahui apa yang dibicarakan. Artinya ia mengupayakan suatu kerangka teoritis yang dengannya kita tahu substansi pembicaraan yang dibicarakan, serta tahu bagaimana mengemas substansi tersebut.[3]
Ilmu kalam yang acap disebut teologi, sebagaimana halnya ilmu-ilmu lain, dapat saja berubah-ubah rumusannya. Perumusan kembali teologi tentu saja tidak bermaksud mengubah doktrin sentral tentang ketuhanan, tentang keesaan tuhan, melainkan merupakan suatu upaya reorientasi pemahaman keagamaan baik secara individual ataupun kolektifutnuk menyikapi kenyataan-kenyataan empiris berdasarkan perspektif ketuhanan. Dengan demikian perlu mengelaborasi ajaran-ajaran agama ke dalam bentuk “teori social”. Sementara itu, teori social hanya  mungkin jika mempedulikan realitasnya. Hassan Hanafi terlebih dahulu merekonstruksi makna “kata kunci” tauhid itu sendiri yakni kalimat “aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah”. Kalimat itu merupakan titik awal dimana seseorang dinamakan sebagai penganut ajaran tauhid (muwahhid).
Kalimat tersebut terdiri dari tiga penggalan pendek, satu, “aku bersaksi bahwa” (Asyhadu ann), dua, “tiada Tuhan selain Allah” (La Ilaha Illa Allah) dan tiga, “dan bahwa Muhammad adalah rasul Allah” (Wa Anna Muhammadan Rasul Allah).
Penggalan satu dinamai syahadah (syahadat/persaksian). Apa arti syahadat? Banyak orang, kata Hanafi, menyalah artikan syahadat sebatas ucapan lisan. Mereka mengira bahwa jika seorang telah melafalkan kalimat syahadat maka dengan sendirinya telah menjadi seorang Muslim. Pendapat seperti itu dalam aliran kalam dikatakan oleh kelompok Murji’ah. Imam Abu Hanifah dari kalangan ahli fikih juga berpendapat demikian. Mereka menjadikan pengucapan syahadat secara lisan (I’lan) hanya sebagai tanda bahwa seseorang menjadi Muslim. Suatu pengakuan “gratis”, yang tidak dipungut biaya sekaligus tidak beresiko apapun setelah itu. Syahadat sebagai suatu ungkapan hampa tanpa makna. Betapa mudahnya orang mengucapkan syahadat dengan lisannya, sementara akal fikirnya tidak menyertai ucapannya, rasa dan emosi tidak ikut bersaksi, dan karya amali tidak pernah membenarkannya. Jika benar kita tahu bahwa Allah itu Maha Esa, kita tidak akan mempersekutukannya dalam itikad dan segala tingkah pola keseharian kita. Syirik bukan hanya berarti menegaskan bahwa Allah berbilang, dua atau lebih. Tetapi syirik juga dapat terjadi dalam motivasi dan tujuan hidup. Tidak sedikit diantara kita yang berhijrah (mengadakan perjalanan) karena terdorong oleh niat yang tidak benar, seperti mencari kedudukan, kekuasaan, dan pemuasan jasadi lainnya. Tahu bahwa Allah itu esa, menjadi pengetahuan orang-orang lemah jika mereka tidak sanggup melakukan berbagai tuntutan pengetahuan itu.[4]
Kata Hanafi, syahadat tidak hanya berarti berucap atau bersaksi dengan lisan hampa saja, akan tetapi manusia yang mengucapkannya harus dihadir di tengah jamaahnya, menyaksikan zamannya. Ia mesti lantang dan jujur menyatakan bahwa ada penyakit yang harus disembuhkan, bahwa ada penyelewengan yang harus diluruskan, bahwa ada kemiskinan di tengah masyarakat yang kaya, bahwa ada perampasan terhadap tanah-tanah kaum Muslim, bahwa ada keterbelakangan di tengah umat terbaik yang dikeluarkan untuk umat manusia. Syahadah (kesaksian) berasal dari kata syahida (menyaksikan). Kata itu mengandung makna-makna: informasi, peringatan, penyangkalan, pembekuan, konfirmasi, negasi, bersikap dan membela kebenaran. Syahadah berarti melihat kondisi dan perkembangan zaman dan menghukuminya dengan hukum Allah. Orang yang bersyahadat adalah orang yang mempersaksikan zamannya dengan ucapan dan perbuatannya, memusnahkan kesenjangan antara ide-pikir dan realitas, menunjukkan antara kalam Allah dan kondisi-kondisi objektif masyarakat. Jika kemudian ia mati dalam memperjuangkan tujuan-tujuan itu, maka ia mati syahid.
Dengan  begitu syahadat adalah tidak lain dari amar ma’ruf nahi munkar (al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy al-Munkar), di mana pun yang bersyahadat tinggal, dalam jamaah apapun ia berada, ia akan mengubah manusia yang munkar dengan tangan (perbuatan), ucapan dan hatinya. Sehingga jiwa dan rasanya tetap suci bersih, hati nuraninya tetap terjaga kemurniannya, tidak takut akan ancaman dan intimidasi, serta tidak akan tergoda oleh iming-iming suap dan rayu.[5]
Al-Qur’an laksana sebuah lagu panjang yang bait perulangannya adalah keesaan Allah sebab Allah Esa pada Zat-Nya (Al-Ahad) dan juga Esa dalam hubungan dengan ciptaany-Nya (al-wahid).[6] Keesaan Allah tidak hanya meniscayakan transendensi, tetapi juga imanensi. Syahadat pertama itu sendiri adalah cara yang paling kuat untuk menunjukkan transendensi Allah. Moto islam yang terkenal, Allahu Akbar, yang lazimnya diterjemahkan “Allah Mahabesar”, pada hakikatnya berarti bahwa Allah itu lebih besar daripada apapun yang dinyatakan dan diungkapkan mengenai Dia. Allah juga imanen dalam cahaya transendensi-Nya karena Dia tidak hanya berada di atas segala sesuatu dan segala tingkatan manusia serta eksistensi kosmis, tetapi, seperti yang ditegaskan-Nya sendiri dalam Al-Qur’an. Spiritualitas tidak hanya menyiratkan kesadaran transendensi, tetapi juga pengalaman imanensi menurut transendensi itu sendiri. Mengalami imanensi bukan hanya mengalami Allah sebagai berada di atas segalanya, melainkan juga menyaksikan “tanda-tanda” kekuasaan-Nya di dalam segala sesuatu, melihat Allah dimana-mana. Itulah sebabnya Nabi SAW mengajarkan bahwa bentuk tertinggi tauhid adalah menyaksikan Allah di hadapan, di dalam dan di balik segala sesuatu. Mengingat naskah sacral yang sama menegaskan, “Maka kemana pun kamu menghadap, di situlah wajah Allah” (QS Al-Baqarah:115)[7]
Tauhid adalah inti ajaran Islam yang mengajrkan bagaimana berketuhanan, dan juga menuntun manusia bagaimana berkemanusiaan dengan benar. Dalam kehidupan sehari-hari, tauhid menjadi pegangan pokok yang membimbing dan mengarahkan manusia untuk  bertindak benar, baik dalam hubungannya dengan Allah, sesame manusia, maupun dengan alam semesta. Bertauhid yang benar akan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang baik di dunia dan kebahagiaan hakiki di akhirat.[8]
B.    Transformasi Pemaknaan Allah dari Pra-Islam ke dalam Konsep Islam
Setiap bangsa pada umumnya mempunyai ajaran tentang Dzat supranatural (Tuhan), yang menciptakan danm engatur alam raya ini. Orang-orang Yunani dan Romawi Kuno menganut paham politeisme (keyakinan banyak Tuhan). Orang-orang Mesir Kuno memercayai dewa-dewa Ra, Isis, Osiris, dan lainnya. Bahkan, dalam masa Pertengahan Mesir memunculkan satu kata, yaitu To Hen (artinya, “Yang Satu”). Orang-orang Hindu meyakini adanya Dewa Wisnu, Dewa Syiwa, dan Dewa Brahma. Orang-orang Jepang memercayai adanya dewa-dewa yang bersemayam di Gunung Fujiyama dan meyakini Dewa Matahari (omitrasu omikami) sebagai dewa tertinggi.
Dari sekian banyak terminologi yang dipergunakan oleh bangsa-bangsa tersebut, banyak di antaranya yang mengacu pada Tuhan yang satu. Sebagian bangsa yunani adalah  penyembah Dewa Eli (dalam bahasa Ibrani dikenal sebagai Eliot atau ‘Ali sebagai Tuhan tertinggi), dalam bahasa Persia dikenal nama Ahriman (Tuhan Terang; yang serumpun dengan kata  al-rahman), dalam bahasa Mesir abad pertengahan dikenal kata To Hen (artinya “Yang Satu”; asal kata “Tuhan”), dalam bahasa Ibrani dikenal Yahwe (serumpun dengan Ya Huwa), dalam bahasa Kristen dikenal Haleluya (mirip dengan Ya Khalilu).
Nama Allah bukan hal baru bagi orang-orang Arab pra-Islam dan pada gabungan nama orang, tetapi dalam tulisan-tulisan kuno. Dengan demikian, Al-Qur’an tidak memperkenalkan nama baru (asing) dalam memperkenalkan nama Tuhan. Pertanyaannya; apakah apakah penggunaan nama ”Allah” merupakan kelanjutan dari konsep “Allah” yang diperkenalkan Nabi Muhammad SAW. Memicu perdebatan, bahkan penolakan radikal, dari kalangan masyarakat Arab Jahiliyah?.
Dalam aspek formal, makna dasar Allah telah dibandingkan oleh banyak sarjana Barat dengan kata hot heos, yang berarti Tuhan. Pada tingkat abstrak semacam itu, kata tersebut dikenal oleh semua suku Arab. Pada  masa pra-Islam, setiap suku biasanya memiliki Tuhan atau dewa lokal yang dikenal dengan nama diri. Jadi, pada awalnya, setiap suku memiliki makna lokal sendiri ketika mereka menggunakan kata yang maknanya sebanding dengan “Tuhan” tersebut. Akan tetapi, fakta bahwa masyarakat Arab mulai menunjukan dewa lokal mereka sendiri dengan abstrak “ Tuhan” telah ikut meratakan jalan bagi munculnya gagasan abstrak tentang Tuhan tanpa kualifikasi lokal dan kemudian bagi kepercayaan terhadap Tuhan tertinggi yang umum bagi semua suku.
Untuk memahami persoalan tersebut, diperlukan pelacakan kembali konsep mengenai Allah yang terbesar di kalangan masyarakat Arab pra-Islam. Toshihiko Izutsu membagi empat kelompok masyarakat pra-Islam pemakai konsep Allah sebagai berikut.
a.      Konsep Allah pada Masyarakat-pagan Arab Badwi Murni
Menurut kesaksian Al-Qur’an, masyarakat Arab pra-Islam telah memiliki pandangan dunia (world view; weltanschaungg) tertentu mengenal Allah. Konsep Allah telah memiliki struktur batinnya sendiri dalam benak masyarakat Arab pra-Islam tersebut. Dapat dipastikan bahwa konsep Allah tidak hanya ada dalam pandangan keagamaan orang-orang Arab pra-Islam, tetapi juga bahwa struktur-batin konsep Allah telah berkembang dengan baik.
Setidaknya ada beberapa konsep Allah yang diyakini oleh masyarakat Arab, baik dipegangi salah satu, sebagian, maupun seluruhnya.
1.     Allah dalam konsepsi sebagai Dzat Pencipta, Pengatur, dan Pemilik alam semesta (Dunia)
2.     Allah adalah Dzat yang menurunkan hujan, atau lebih umum, Dzat Pemberi Hidup terhadap segala sesuatu yang ada di bumi.
3.     Allah adalah Dzat Penguasa dan Pelindung.
4.     Dzat “Maha Menyaksikan Sumpah”, karena kata Allah digunakan dalam sumpah-sumpah yang paling sacral.
5.     Allah adalah objek-meminjam istilah Toshihiko Izutsu-“monoteisme temporer”, yakni objek pengesaan “semurni-murninya” dalam waktu sementara atau tertentu.
6.     Allah sebagai Dzat yang dapat disembah melalui perantara dewa-dewa lain.
7.     Akhirnya, Allah adalah Penguasa Kabah
Beberapa hal inilah yang dapat disimpulkan mengenai pandangan dunia orang Arab berkaitan dengan Allah, khususnya di kalangan segmen masyarakat Arab yang religious. Konsep pertama dapat dibaca dalam Q.S. Al-Ankabut (29) ayat 61:
ûÈõs9ur NßgtFø9r'y ô`¨B t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur t¤yur }§ôJ¤±9$# tyJs)ø9$#ur £`ä9qà)us9 ª!$# ( 4¯Tr'sù tbqä3sù÷sムÇÏÊÈ  
Artinya: “Dan jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?" tentu mereka akan menjawab: "Allah", Maka mengapa mereka bias dipalingkan (dari kebenaran)”. ( QS Al-Ankabut : 61).
Hal yang lebih penting adalah konsep allah dalam kaitannya dengan “monoteistik temporer”. Dalam banyak kasus yang menakutkan atau darurat, seperti ketika mereka diancam bahaya, orang orang arab pagan jahiliyah menyeru dan memohon pertolongan kepada allah dan “menjalankan agama mereka murni untuk Allah”.
Frase “menjalankan agama murni untuk allah” tersebut menunjukan bahwa dalam waktu-waktu tertentu, orang-orang memurnkan keyakinan akan “keesaan allah” sebagai satu-satunya dzat penolong. Mereka menyeru nama allah dalam situasi luar biasa dan serius disebabkan, menurut al qur’an, nama allah merupakan kata paling sakral dan khidmat yang dipergunakan orang-orang jahiliyah untuk bersumpah. Akan tetapi, ketika ketakutan atau marabahaya itu sudah sirna, mereka kembali melupakan allah dan/atau menyekutukanya kembali. Sikap memurnikan “keesaan allah” itu bersifat sesaat atau temporer, bukan lahir dari “ketulusan” atau “kesungguhan” seseorang dalam mengesakan allah.
b.     Konsep Allah Pada Masyarakat Yahudi dan Kristen Arab
Pada masa pra-islam, masyarakat arab tinggal di lingkungan yang dikellingi oleh kekuatan Kristen yang besar. Penduduk kerajaan habsyi adalah pemeluk agama Kristen-monopisist;penduduk kerajaan Byzantium juga beragama Kristen. Penduduk dinasti ghassaniyah, yang berfungsi sebagai pos luar kerajaan romawi timur di arab juga beragama Kristen-monopisist, mulai dari raja kedua ‘amr I hingga raja terakhirnya Jabalah II .
Oleh karena itu, banyak pula intelektual arab pada abad itu yang sudah memiliki pengetahuan kekristenan yang patut dipertimbangkan, seperti an-nabighah dan al-a’sha al-akbar. Dapat dikatakan bahwa konsep Kristen tentang allah mempengaruhi konsepsi orang-orang arab pra-islam.
c.      Konsep Allah Pada Masyarakat Pagan Arab Yang Terpengaruhi Yahudi Dan Kristen
Beberapa intelektual arab, seperti nabighah dan al-a’sha al-akbar atau seorang yang begitu religious, seperti labid telah menempatkan diri mereka pada “posisi” Kristen atau berempati pada Kristen. Sikap mereka ini memengaruhi persepsi mereka tentang allah ke arah pemahaman konsep allah bernuansa monoteistik-kristen.
d.     Konsep Allah Pada Masyarakat Hanif Atau Hanafiyyah
Menurut Toshihiko Izutsu, hanafiyyah bukanlah kelompok gerakan social yang terorganisasi dengan kokoh. Orang-orang ini mandiri dan terisolasi dalam masyarakat pagan. Tujuan mereka terbatas pada keselamatan personal, bukan keselamatan orang lain apalagi keselamatan umat manusia secara keseluruhan.
C.    Dari Rububiyyah Ke Uluhiyyah Allah
Tauhid tidaklah cukup hanya menyatakan atau meyakini bahwa hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah, Pencipta alam semesta. Pengakuan dan keyakinan ini memang dapat dinamakan tauhi, tapi hanya tauhid rububiyyah. Nabi Muhammad SAW membawa ajaran yang lebih dari sekedar tauhid rububiyyah, yaitu tauhid uluhiyyah. Dalam tauhid uluhiyyah ini, semnagat tauhid tidak hanya berupa pengakuan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta langit dan bumi, tetapi juga meliputi keyakinan bahwa hanya Allah yang patut disembah, sebab hanya Dia yang memiliki sifat-sifat keilahiahan di alam ini, sebagian atau seluruhnya.[9]
Dari semua agama yang telah diturunkan, itu adalah sebagai bagian dari proses pengasuhan Tuhan (rububiyyah) terhadap umat manusia yang secara evolutif akan bermuara pada satunya Tuhan dalam pandangan seluruh umat manusia, sehingga ketika Al-Qur’an mengajarkan hal yang sama, maka sebenarnya Kitab tersebut sedang menyentuh dan mengingatkan kembali hati manusia akan nilai terdalam yang ada pada dirinya, yaitu ketundukan pada Tuhan yang Satu yang ada pada semua agama yang mereka anut, sekalipun dengan bentuk manifestasi yang berbeda-berbeda.[10]
D.    Asmaul Husna
Selain mempunyai suatu nama-diri atau nama denotatif, Allah mempunyai nama-nama yang bersifat deskriptif. Nama-nama “diri” atau “sifat-sifat” Tuhan cenderung memainkan peran yang lebih besar dalam pemikiran Islam yang belakangan. Nama-nama diri itu dikonsepsi oleh umat Islam sebagai Asma’ al-Husna. Pijakan dasar dari asma’ al-Husna ini adalah (Q.S. 7: 180; 17: 110; 20: 8; 59: 24). Belakangan, urutan asma’ al-Husna ini digunakan sebagai pijakan meditasi, khususnya dalam kaitannya dengan subha atau “rosari” (tasbih).
Asma’ al-Husna adalah nama-nama Allah yang indah yang sesuai dengan sifat-sifat kesempurnaan Allah SWT. Dalam hubungannya dengan diri-Nya dan ciptaan-Nya. Setiap nama itu menunjukan kualitas dan yang terkandung di dalamnya, sekaligus menunjukan substansi-substansi. Setiap nama Tuhan tersebut bersifat relasional-fungsional dengan dunia ciptaan-Nya. Misalnya Allah disebut ar-Rahman (Yang Maha Pengasih), mengandung arti bahwa Allah memiliki kasih sayang yang merata kepada semua makhluk-Nya dan Allah sangat mengasihi hamba-Nya. Allah disebut al-Qodir (Yang Mahakuasa), mengandung arti bahwa Allah saja yang memiliki kekuasaan dan yang menguasai segala sesuatu. Allah disebut al-Ghafur (Yang Maha Pengampun), mengandung arti bahwa Allah saja yang memiliki ampunan dan Allah sangat mengampuni Hamba-Nya.
Dengan nama-nama-Nya yang indah tersebut, Allah menyuruh hamba-Nya untuk mengenali-Nya. Firman Allah,
È@è% (#qãã÷Š$# ©!$# Írr& (#qãã÷Š$# z`»uH÷q§9$# ( $wƒr& $¨B (#qããôs? ã&s#sù âä!$yJóF{$# 4Óo_ó¡çtø:$# 4 ÇÊÊÉÈ  
Artinya: .“Katakanlah (Muhammad): "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu dapat menyeru , Karena Dia mempunyai nama-nama yang terbaik (Asma ul Husna)…”
¬!ur âä!$oÿôœF{$# 4Óo_ó¡çtø:$# çnqãã÷Š$$sù $pkÍ5 ...ÇÊÑÉÈ  
Artinya: Dan Allah memiliki Asma’-ul Husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa’ul Husna itu…”
      Nama-nama Allah itu tidak terbatas jumlahnya, sebagian besar tercantum dalam Al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW., meskipun diantaranya tidak persis bentuk kata yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW. Tersebut. Sebagian lagi hanya berupa penarikan kesimpulan dari beberapa perbuatan atau sifat-sifat Allah yang diuraikan dalam kitab suci dan hasi Nabi SAW.








BAB III
KESIMPULAN
1.     Al-Qur’an bukanlah sebuah risalah mengenai Tuhan dan sifat-sifatNya. Al-Qur’an menekankan eksistensi Allah dan tidak memperdebatkannya, serta memberikan penjelasan konsekuensi dari keimanan terhadap eksistensi Allah tersebut bagin manusia dan alam.
2.     Konsep Allah tidak hanya ada dalam pandangan keagamaan orang-orang arab pra-islam, tetapi juga bahwa struktur bathin konsep Allah telah berkembang dengan baik.
3.     Dalam tauhid Uluhiyyah ini, semangat tauhid tidak hanya berupa pengakuan bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta langit dan bumi, tetapi juga meliputi keyakinan bahwa hanya Allah yang patut disembah, sebab hanya Dia yang memiliki keilahian di alam ini, sebagian atau seluruhnya.
4.     Asmaul husna adalah nama-nama Allah yang indah yang sesuai dengan sifat-sifat kesempurnaan Allah SWT.



Daftar Pustaka
Rusmana Dadan, Rahtikawati Yayan. 2014. Tafsir Ayat-Ayat Sosial Budaya. Bandung: Pustaka Setia.
Hossein Nasr, Seyyed. 2002. Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam. Bandung: Mizan.
Hanafi, Hassan. 2005. Kiri Islam: Menggugat Kemapanan Agama dan Politik. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Mustaqim Abdul, Syamsudin Sahiron. 2002. Studi Al-Qur’an Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Musdah Mulia, Siti. 2005. Muslimah Reformis. Bandung: Mizan.



[1] Dadan Rusmana&Yayan Rahtikawati, Tafsir Ayat-Ayat Sosial Budaya. Bandung: Pustaka Setia. 2014. Hlm. 85-86
[2] Sayyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam. Bandung: Mizan. 2002. Hlm. 419
[3] Hassan Hanafi, Kiri Islam. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya. 2005. hlm.107-108
[4] Ibid, hlm. 109-111
[5]Ibid, hlm. 111-112
[6] Tafsir Ayat-Ayat Sosial Budaya, hlm. 420
[7] Ibid, hlm. 421-422
[8] Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis. Bandung: Mizan. 2005. Hlm. 4
[9] Op cit, hlm 103-104
[10] Abdul Mustaqim & Sahiron Syamsudin, Studi Al-Qur’an Kontemporer. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya. 2002 hlm. 37

Tidak ada komentar:

Posting Komentar