BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Islam sebagai agama, pada hakikatnya
terlihat pada aspek nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung didalamnya. Salah
satu bentuk elaborasi dari nilai-nilai kemanusiaan itu adalah pengakuan yang
tulus terhadap kesamaan dan kesatuan manusia. Semua manusia adalah sama dan
berasal dari sumber yang satu, yaitu Tuhan. Yang membedakan hanyalah prestasi
dan kualitas takwanya. Dan bicara soal takwa, hanya Tuhan semesta yang berhak
melakukan penilaian.
Setiap muslim hampir dapat dikatakan
akan mengatakan bahwa Tuhannya adalah Allah
al-ahad (Yang Maha Esa) karena ajaran agama Islam dimulai dengan kalimat Laillah-a illa ‘i-Lah (yang dapat
dimaknai dengan “Tidak ada Tuhan melainkan Allah.” Dengan kata lain, seorang
muslim akan mengatakan bahwa pokok pangkal Islam adalah ajaran tentang
ketauhidan Allah, suatu monoteisme yang tegas dan tidak mengenal kompromi. Oleh
karena itu, sepanjang ajaran Al-Qur’an, tawhid-u
i-Lah merupakan inti ajaran dan agama yang dianut para rasul dan nabi
sepanjang zaman.
Tauhid
I-Lah termasuk pada sistem keimanan utama dalam Islam. Ia
muncul sebagai aspek utama dalam rukun iman. Keimanan kepada Allah ini membawa
konsekuensi pada kewajiban untuk menyembah dan mengikuti segala perintah
dari-Nya.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
Konsep Allah dalam Al-Qur’an ?
2. Bagaimana
Transformasi pemaknaan Allah dari Pra-Islam ke dalam konsep Islam
3. Apa
yang disebut makna dari Rububiyyah ke Uluhiyyah Allah
4. Apa
itu Asmaul Husna?
C. Tujuan
Masalah
1. Mengetahui
dan memahami konsep Allah yang diterangkan dalam Al-Qur’an.
2. Mengetahui
sejarah pemaknaan Allah sejak masa pra-Islam hingga pemaknaan Allah dalam
Islam.
3. Mengetahui
dan memahami makna Rububiyyah ke Uluhiyyah Allah.
4. Mengetahui
Asmaul Husna.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Konsep
Allah dalam Al-Qur’an
Dalam
sistem Al-Qur’an, konsep Allah “kata-fokus” tertinggi dan nilai penting yang
tidak yang melebihi kedudukannya. Karena hakikat pandangan-dunia Al-Qur’an
bersifat teosentrik, tentu saja konsep Allah menguasai dan mendesak seluruh
konsep-konsep yang berada dalam struktur universal semantik Al-Qur’an. Oleh
karena itu, ajaran tentang Allah merupakan tema sentral Al-Qur’an. Meskipun
demikian, Al-Qur’an bukanlah sebuah risalah mengenai Tuhan dan sifat-sifat-Nya.
Al-Qur’an menekankan eksistensi Allah dan tidak memperdebatkannya, serta
memberikan penjelasan konsekuensi dari keimanan terhadap eksistensi Allah
tersebut bagi manusia dan alam.
Kata
Allah dalam Al-Qur’an disebut sebanyak 2.799 kali. Nama lainnya yang banyak
disebut sampai 976 kali adalah kata rabb, ar-rahim dan ar-rhman berjumlah 560
kali, dan kata al-ghafur disebut 223 kali. Setiap kata tersebut selain
menunjukkan kualitas, juga telah mempunyai substansi.[1]
Allah
adalah yang pertama dan Esa. Keesaan Tuhan itulah yang berada pada inti
Al-Qur’an mengenai Tuhan dan spiritualitas Islam. Kesaksian Islam yang pertama
(syahadat)—yang mencakup keseluruhan metafisika dan juga memiliki kekuatan
untuk menubah jiwa manusia ke arah kesempurnaan azali—adalah la ilaha illallah
(tidak ada Tuhan kecuali Allah). Sintesis tertinggi ajaran Islam ini adalah
pernyataan mengenai hakikat ilahi, pertama, sebagai Yang Esa, Yang Mahasuci
dari dualitas dan sekutu. Kedua, sebagai sumber segala realitas, keindahan,
kebaikan dan segala yang positif di alam semesta. Kesaksian itu juga berarti
bahwa “tidak ada realitas kecuali realitas Allah”, “tidak ada keindahan kecuali
keindahan Allah”, dst. Menjadi seorang Muslim berarti menerima keesaan Ilahi
ini bukan hanya sebagai sebuah pandangan teologis, melainkan juga sebagai
kebenaran metafisis dan realitas spiritual actual yang dapat mengubah jiwa
manusia menuju kesempurnaan.[2]
Ketika
Hasan Hanafi membahas mengenai ilmu tauhid di dalam bukunya Min al-Aqidah ila
al-Tsawrah vol. II (Tawhid), sebenarnya ia sedang mengajak kita untuk merekonstruksi
ilmu kalam yang selama ini kita terima dari ulama-ulama kalam tradisional.
Tujuan utamanya adalah mereformulasi konsepsi teologi sehingga dapat kondusif
menjawab tantangan riil kemanusiaan universal dan kehidupan kontemporer.
Sebagaimana dikatakan Hanafi, buku itu merupakan usahanya untuk membangun
kembali ilmu tauhid, serta dimaksudkan untuk membangun kerangka teoritis yang
terpadu, yang mempersatukan antara konsep kelompok salaf dan kelompok sekuler.
Kelompok salaf mengetahui berkata, bagaimana berbicara dengan manusia, dan
mencaci perasaan keagamaan mereka. Akan tetapi mereka tidak mengetahui apa yang
mereka katakan. Artinya mereka membutuhkan isi. Sementara kelompok sekuler
mengetahui apa yang mereka katakan, artinya mereka memiliki isi, akan tetapi
mereka tidak mengetahui bagaimana berkata. Hasan Hanafi mengusahakan suatu
formulasi yang mampu meramu kelebihan yang dimiliki kelompok salaf dan kelompok
sekuler bahwa sehingga mengetahui bagaimana berbicara dan mengetahui apa yang
dibicarakan. Artinya ia mengupayakan suatu kerangka teoritis yang dengannya
kita tahu substansi pembicaraan yang dibicarakan, serta tahu bagaimana mengemas
substansi tersebut.[3]
Ilmu
kalam yang acap disebut teologi, sebagaimana halnya ilmu-ilmu lain, dapat saja
berubah-ubah rumusannya. Perumusan kembali teologi tentu saja tidak bermaksud
mengubah doktrin sentral tentang ketuhanan, tentang keesaan tuhan, melainkan
merupakan suatu upaya reorientasi pemahaman keagamaan baik secara individual
ataupun kolektifutnuk menyikapi kenyataan-kenyataan empiris berdasarkan
perspektif ketuhanan. Dengan demikian perlu mengelaborasi ajaran-ajaran agama
ke dalam bentuk “teori social”. Sementara itu, teori social hanya mungkin jika mempedulikan realitasnya. Hassan
Hanafi terlebih dahulu merekonstruksi makna “kata kunci” tauhid itu sendiri
yakni kalimat “aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain allah, dan aku bersaksi
bahwa Muhammad adalah Rasul Allah”. Kalimat itu merupakan titik awal dimana
seseorang dinamakan sebagai penganut ajaran tauhid (muwahhid).
Kalimat
tersebut terdiri dari tiga penggalan pendek, satu, “aku bersaksi bahwa”
(Asyhadu ann), dua, “tiada Tuhan selain Allah” (La Ilaha Illa Allah) dan tiga,
“dan bahwa Muhammad adalah rasul Allah” (Wa Anna Muhammadan Rasul Allah).
Penggalan
satu dinamai syahadah (syahadat/persaksian). Apa arti syahadat? Banyak orang,
kata Hanafi, menyalah artikan syahadat sebatas ucapan lisan. Mereka mengira
bahwa jika seorang telah melafalkan kalimat syahadat maka dengan sendirinya
telah menjadi seorang Muslim. Pendapat seperti itu dalam aliran kalam dikatakan
oleh kelompok Murji’ah. Imam Abu Hanifah dari kalangan ahli fikih juga
berpendapat demikian. Mereka menjadikan pengucapan syahadat secara lisan
(I’lan) hanya sebagai tanda bahwa seseorang menjadi Muslim. Suatu pengakuan
“gratis”, yang tidak dipungut biaya sekaligus tidak beresiko apapun setelah
itu. Syahadat sebagai suatu ungkapan hampa tanpa makna. Betapa mudahnya orang
mengucapkan syahadat dengan lisannya, sementara akal fikirnya tidak menyertai
ucapannya, rasa dan emosi tidak ikut bersaksi, dan karya amali tidak pernah
membenarkannya. Jika benar kita tahu bahwa Allah itu Maha Esa, kita tidak akan
mempersekutukannya dalam itikad dan segala tingkah pola keseharian kita. Syirik
bukan hanya berarti menegaskan bahwa Allah berbilang, dua atau lebih. Tetapi
syirik juga dapat terjadi dalam motivasi dan tujuan hidup. Tidak sedikit
diantara kita yang berhijrah (mengadakan perjalanan) karena terdorong oleh niat
yang tidak benar, seperti mencari kedudukan, kekuasaan, dan pemuasan jasadi
lainnya. Tahu bahwa Allah itu esa, menjadi pengetahuan orang-orang lemah jika
mereka tidak sanggup melakukan berbagai tuntutan pengetahuan itu.[4]
Kata
Hanafi, syahadat tidak hanya berarti berucap atau bersaksi dengan lisan hampa
saja, akan tetapi manusia yang mengucapkannya harus dihadir di tengah
jamaahnya, menyaksikan zamannya. Ia mesti lantang dan jujur menyatakan bahwa
ada penyakit yang harus disembuhkan, bahwa ada penyelewengan yang harus
diluruskan, bahwa ada kemiskinan di tengah masyarakat yang kaya, bahwa ada
perampasan terhadap tanah-tanah kaum Muslim, bahwa ada keterbelakangan di
tengah umat terbaik yang dikeluarkan untuk umat manusia. Syahadah (kesaksian)
berasal dari kata syahida (menyaksikan). Kata itu mengandung makna-makna: informasi,
peringatan, penyangkalan, pembekuan, konfirmasi, negasi, bersikap dan membela
kebenaran. Syahadah berarti melihat kondisi dan perkembangan zaman dan
menghukuminya dengan hukum Allah. Orang yang bersyahadat adalah orang yang
mempersaksikan zamannya dengan ucapan dan perbuatannya, memusnahkan kesenjangan
antara ide-pikir dan realitas, menunjukkan antara kalam Allah dan
kondisi-kondisi objektif masyarakat. Jika kemudian ia mati dalam memperjuangkan
tujuan-tujuan itu, maka ia mati syahid.
Dengan begitu syahadat adalah tidak lain dari amar
ma’ruf nahi munkar (al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy al-Munkar), di mana pun yang
bersyahadat tinggal, dalam jamaah apapun ia berada, ia akan mengubah manusia
yang munkar dengan tangan (perbuatan), ucapan dan hatinya. Sehingga jiwa dan
rasanya tetap suci bersih, hati nuraninya tetap terjaga kemurniannya, tidak
takut akan ancaman dan intimidasi, serta tidak akan tergoda oleh iming-iming
suap dan rayu.[5]
Al-Qur’an
laksana sebuah lagu panjang yang bait perulangannya adalah keesaan Allah sebab
Allah Esa pada Zat-Nya (Al-Ahad) dan
juga Esa dalam hubungan dengan ciptaany-Nya (al-wahid).[6]
Keesaan Allah tidak hanya meniscayakan transendensi, tetapi juga imanensi.
Syahadat pertama itu sendiri adalah cara yang paling kuat untuk menunjukkan
transendensi Allah. Moto islam yang terkenal, Allahu Akbar, yang lazimnya
diterjemahkan “Allah Mahabesar”, pada hakikatnya berarti bahwa Allah itu lebih
besar daripada apapun yang dinyatakan dan diungkapkan mengenai Dia. Allah juga
imanen dalam cahaya transendensi-Nya karena Dia tidak hanya berada di atas
segala sesuatu dan segala tingkatan manusia serta eksistensi kosmis, tetapi,
seperti yang ditegaskan-Nya sendiri dalam Al-Qur’an. Spiritualitas tidak hanya
menyiratkan kesadaran transendensi, tetapi juga pengalaman imanensi menurut
transendensi itu sendiri. Mengalami imanensi bukan hanya mengalami Allah
sebagai berada di atas segalanya, melainkan juga menyaksikan “tanda-tanda”
kekuasaan-Nya di dalam segala sesuatu, melihat Allah dimana-mana. Itulah
sebabnya Nabi SAW mengajarkan bahwa bentuk tertinggi tauhid adalah menyaksikan
Allah di hadapan, di dalam dan di balik segala sesuatu. Mengingat naskah sacral
yang sama menegaskan, “Maka kemana pun kamu menghadap, di situlah wajah Allah”
(QS Al-Baqarah:115)[7]
Tauhid
adalah inti ajaran Islam yang mengajrkan bagaimana berketuhanan, dan juga
menuntun manusia bagaimana berkemanusiaan dengan benar. Dalam kehidupan
sehari-hari, tauhid menjadi pegangan pokok yang membimbing dan mengarahkan
manusia untuk bertindak benar, baik
dalam hubungannya dengan Allah, sesame manusia, maupun dengan alam semesta.
Bertauhid yang benar akan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang baik di
dunia dan kebahagiaan hakiki di akhirat.[8]
B. Transformasi
Pemaknaan Allah dari Pra-Islam ke dalam Konsep Islam
Setiap bangsa pada umumnya mempunyai
ajaran tentang Dzat supranatural (Tuhan), yang menciptakan danm engatur alam
raya ini. Orang-orang Yunani dan Romawi Kuno menganut paham politeisme
(keyakinan banyak Tuhan). Orang-orang Mesir Kuno memercayai dewa-dewa Ra, Isis,
Osiris, dan lainnya. Bahkan, dalam masa Pertengahan Mesir memunculkan satu
kata, yaitu To Hen (artinya, “Yang Satu”). Orang-orang Hindu meyakini adanya
Dewa Wisnu, Dewa Syiwa, dan Dewa Brahma. Orang-orang Jepang memercayai adanya
dewa-dewa yang bersemayam di Gunung Fujiyama dan meyakini Dewa Matahari (omitrasu omikami) sebagai dewa
tertinggi.
Dari sekian banyak terminologi yang
dipergunakan oleh bangsa-bangsa tersebut, banyak di antaranya yang mengacu pada
Tuhan yang satu. Sebagian bangsa yunani adalah
penyembah Dewa Eli (dalam bahasa Ibrani dikenal sebagai Eliot atau ‘Ali
sebagai Tuhan tertinggi), dalam bahasa Persia dikenal nama Ahriman (Tuhan Terang;
yang serumpun dengan kata al-rahman), dalam bahasa Mesir abad
pertengahan dikenal kata To Hen (artinya “Yang Satu”; asal kata “Tuhan”), dalam
bahasa Ibrani dikenal Yahwe (serumpun dengan Ya Huwa), dalam bahasa Kristen
dikenal Haleluya (mirip dengan Ya Khalilu).
Nama Allah bukan hal baru bagi
orang-orang Arab pra-Islam dan pada gabungan nama orang, tetapi dalam
tulisan-tulisan kuno. Dengan demikian, Al-Qur’an tidak memperkenalkan nama baru
(asing) dalam memperkenalkan nama Tuhan. Pertanyaannya; apakah apakah
penggunaan nama ”Allah” merupakan kelanjutan dari konsep “Allah” yang
diperkenalkan Nabi Muhammad SAW. Memicu perdebatan, bahkan penolakan radikal,
dari kalangan masyarakat Arab Jahiliyah?.
Dalam aspek formal, makna dasar Allah
telah dibandingkan oleh banyak sarjana Barat dengan kata hot heos, yang berarti
Tuhan. Pada tingkat abstrak semacam itu, kata tersebut dikenal oleh semua suku
Arab. Pada masa pra-Islam, setiap suku
biasanya memiliki Tuhan atau dewa lokal yang dikenal dengan nama diri. Jadi, pada
awalnya, setiap suku memiliki makna lokal sendiri ketika mereka menggunakan
kata yang maknanya sebanding dengan “Tuhan” tersebut. Akan tetapi, fakta bahwa
masyarakat Arab mulai menunjukan dewa lokal mereka sendiri dengan abstrak “
Tuhan” telah ikut meratakan jalan bagi munculnya gagasan abstrak tentang Tuhan
tanpa kualifikasi lokal dan kemudian bagi kepercayaan terhadap Tuhan tertinggi
yang umum bagi semua suku.
Untuk memahami persoalan tersebut,
diperlukan pelacakan kembali konsep mengenai Allah yang terbesar di kalangan
masyarakat Arab pra-Islam. Toshihiko Izutsu membagi empat kelompok masyarakat
pra-Islam pemakai konsep Allah sebagai berikut.
a. Konsep
Allah pada Masyarakat-pagan Arab Badwi Murni
Menurut kesaksian Al-Qur’an, masyarakat
Arab pra-Islam telah memiliki pandangan dunia (world view; weltanschaungg) tertentu mengenal Allah. Konsep Allah
telah memiliki struktur batinnya sendiri dalam benak masyarakat Arab pra-Islam
tersebut. Dapat dipastikan bahwa konsep Allah tidak hanya ada dalam pandangan
keagamaan orang-orang Arab pra-Islam, tetapi juga bahwa struktur-batin konsep
Allah telah berkembang dengan baik.
Setidaknya ada beberapa konsep Allah
yang diyakini oleh masyarakat Arab, baik dipegangi salah satu, sebagian, maupun
seluruhnya.
1. Allah
dalam konsepsi sebagai Dzat Pencipta, Pengatur, dan Pemilik alam semesta
(Dunia)
2. Allah
adalah Dzat yang menurunkan hujan, atau lebih umum, Dzat Pemberi Hidup terhadap
segala sesuatu yang ada di bumi.
3. Allah
adalah Dzat Penguasa dan Pelindung.
4. Dzat
“Maha Menyaksikan Sumpah”, karena kata Allah digunakan dalam sumpah-sumpah yang
paling sacral.
5. Allah
adalah objek-meminjam istilah Toshihiko Izutsu-“monoteisme temporer”, yakni
objek pengesaan “semurni-murninya” dalam waktu sementara atau tertentu.
6. Allah
sebagai Dzat yang dapat disembah melalui perantara dewa-dewa lain.
7. Akhirnya,
Allah adalah Penguasa Kabah
Beberapa hal inilah yang dapat
disimpulkan mengenai pandangan dunia orang Arab berkaitan dengan Allah,
khususnya di kalangan segmen masyarakat Arab yang religious. Konsep pertama
dapat dibaca dalam Q.S. Al-Ankabut (29) ayat 61:
ûÈõs9ur NßgtFø9r'y ô`¨B t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur t¤yur }§ôJ¤±9$# tyJs)ø9$#ur £`ä9qà)us9 ª!$# ( 4¯Tr'sù tbqä3sù÷sã ÇÏÊÈ
Artinya:
“Dan jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit
dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?" tentu mereka akan menjawab:
"Allah", Maka mengapa mereka bias dipalingkan (dari kebenaran)”. ( QS
Al-Ankabut : 61).
Hal yang lebih penting adalah konsep
allah dalam kaitannya dengan “monoteistik temporer”. Dalam banyak kasus yang
menakutkan atau darurat, seperti ketika mereka diancam bahaya, orang orang arab
pagan jahiliyah menyeru dan memohon pertolongan kepada allah dan “menjalankan
agama mereka murni untuk Allah”.
Frase “menjalankan agama murni untuk
allah” tersebut menunjukan bahwa dalam waktu-waktu tertentu, orang-orang
memurnkan keyakinan akan “keesaan allah” sebagai satu-satunya dzat penolong.
Mereka menyeru nama allah dalam situasi luar biasa dan serius disebabkan,
menurut al qur’an, nama allah merupakan kata paling sakral dan khidmat yang
dipergunakan orang-orang jahiliyah untuk bersumpah. Akan tetapi, ketika
ketakutan atau marabahaya itu sudah sirna, mereka kembali melupakan allah dan/atau
menyekutukanya kembali. Sikap memurnikan “keesaan allah” itu bersifat sesaat
atau temporer, bukan lahir dari “ketulusan” atau “kesungguhan” seseorang dalam
mengesakan allah.
b. Konsep
Allah Pada Masyarakat Yahudi dan Kristen Arab
Pada masa pra-islam, masyarakat arab
tinggal di lingkungan yang dikellingi oleh kekuatan Kristen yang besar.
Penduduk kerajaan habsyi adalah pemeluk agama Kristen-monopisist;penduduk
kerajaan Byzantium juga beragama Kristen. Penduduk dinasti ghassaniyah, yang
berfungsi sebagai pos luar kerajaan romawi timur di arab juga beragama
Kristen-monopisist, mulai dari raja kedua ‘amr I hingga raja terakhirnya Jabalah
II .
Oleh karena itu, banyak pula intelektual
arab pada abad itu yang sudah memiliki pengetahuan kekristenan yang patut dipertimbangkan,
seperti an-nabighah dan al-a’sha al-akbar. Dapat dikatakan bahwa konsep Kristen
tentang allah mempengaruhi konsepsi orang-orang arab pra-islam.
c. Konsep
Allah Pada Masyarakat Pagan Arab Yang Terpengaruhi Yahudi Dan Kristen
Beberapa intelektual arab, seperti
nabighah dan al-a’sha al-akbar atau seorang yang begitu religious, seperti
labid telah menempatkan diri mereka pada “posisi” Kristen atau berempati pada
Kristen. Sikap mereka ini memengaruhi persepsi mereka tentang allah ke arah
pemahaman konsep allah bernuansa monoteistik-kristen.
d. Konsep
Allah Pada Masyarakat Hanif Atau Hanafiyyah
Menurut Toshihiko Izutsu, hanafiyyah
bukanlah kelompok gerakan social yang terorganisasi dengan kokoh. Orang-orang
ini mandiri dan terisolasi dalam masyarakat pagan. Tujuan mereka terbatas pada
keselamatan personal, bukan keselamatan orang lain apalagi keselamatan umat
manusia secara keseluruhan.
C. Dari
Rububiyyah Ke Uluhiyyah Allah
Tauhid tidaklah cukup hanya menyatakan
atau meyakini bahwa hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah, Pencipta alam semesta.
Pengakuan dan keyakinan ini memang dapat dinamakan tauhi, tapi hanya tauhid
rububiyyah. Nabi Muhammad SAW membawa ajaran yang lebih dari sekedar tauhid
rububiyyah, yaitu tauhid uluhiyyah. Dalam tauhid uluhiyyah ini, semnagat tauhid
tidak hanya berupa pengakuan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta langit
dan bumi, tetapi juga meliputi keyakinan bahwa hanya Allah yang patut disembah,
sebab hanya Dia yang memiliki sifat-sifat keilahiahan di alam ini, sebagian
atau seluruhnya.[9]
Dari semua agama yang telah diturunkan,
itu adalah sebagai bagian dari proses pengasuhan Tuhan (rububiyyah) terhadap
umat manusia yang secara evolutif akan bermuara pada satunya Tuhan dalam
pandangan seluruh umat manusia, sehingga ketika Al-Qur’an mengajarkan hal yang
sama, maka sebenarnya Kitab tersebut sedang menyentuh dan mengingatkan kembali
hati manusia akan nilai terdalam yang ada pada dirinya, yaitu ketundukan pada
Tuhan yang Satu yang ada pada semua agama yang mereka anut, sekalipun dengan
bentuk manifestasi yang berbeda-berbeda.[10]
D. Asmaul
Husna
Selain mempunyai suatu nama-diri atau
nama denotatif, Allah mempunyai nama-nama yang bersifat deskriptif. Nama-nama
“diri” atau “sifat-sifat” Tuhan cenderung memainkan peran yang lebih besar
dalam pemikiran Islam yang belakangan. Nama-nama diri itu dikonsepsi oleh umat
Islam sebagai Asma’ al-Husna. Pijakan
dasar dari asma’ al-Husna ini adalah
(Q.S. 7: 180; 17: 110; 20: 8; 59: 24). Belakangan, urutan asma’ al-Husna ini digunakan sebagai pijakan meditasi, khususnya
dalam kaitannya dengan subha atau “rosari” (tasbih).
Asma’
al-Husna adalah nama-nama Allah yang indah yang sesuai dengan
sifat-sifat kesempurnaan Allah SWT. Dalam hubungannya dengan diri-Nya dan
ciptaan-Nya. Setiap nama itu menunjukan kualitas dan yang terkandung di
dalamnya, sekaligus menunjukan substansi-substansi. Setiap nama Tuhan tersebut
bersifat relasional-fungsional dengan dunia ciptaan-Nya. Misalnya Allah disebut
ar-Rahman (Yang Maha Pengasih), mengandung arti bahwa Allah memiliki kasih
sayang yang merata kepada semua makhluk-Nya dan Allah sangat mengasihi
hamba-Nya. Allah disebut al-Qodir (Yang Mahakuasa), mengandung arti bahwa Allah
saja yang memiliki kekuasaan dan yang menguasai segala sesuatu. Allah disebut
al-Ghafur (Yang Maha Pengampun), mengandung arti bahwa Allah saja yang memiliki
ampunan dan Allah sangat mengampuni Hamba-Nya.
Dengan nama-nama-Nya yang indah
tersebut, Allah menyuruh hamba-Nya untuk mengenali-Nya. Firman Allah,
È@è% (#qãã÷$# ©!$# Írr& (#qãã÷$# z`»uH÷q§9$# ( $wr& $¨B (#qããôs? ã&s#sù âä!$yJóF{$# 4Óo_ó¡çtø:$# 4 … ÇÊÊÉÈ
Artinya:
.“Katakanlah (Muhammad): "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan
nama yang mana saja kamu dapat menyeru , Karena Dia mempunyai nama-nama yang
terbaik (Asma ul Husna)…”
¬!ur âä!$oÿôF{$# 4Óo_ó¡çtø:$# çnqãã÷$$sù $pkÍ5 ...ÇÊÑÉÈ
Artinya:
Dan Allah memiliki Asma’-ul Husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah
kepada-Nya dengan menyebut asmaa’ul Husna itu…”
Nama-nama Allah itu tidak terbatas
jumlahnya, sebagian besar tercantum dalam Al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW.,
meskipun diantaranya tidak persis bentuk kata yang disebutkan dalam Al-Qur’an
dan Hadis Nabi SAW. Tersebut. Sebagian lagi hanya berupa penarikan kesimpulan
dari beberapa perbuatan atau sifat-sifat Allah yang diuraikan dalam kitab suci
dan hasi Nabi SAW.
BAB
III
KESIMPULAN
1.
Al-Qur’an bukanlah sebuah risalah
mengenai Tuhan dan sifat-sifatNya. Al-Qur’an menekankan eksistensi Allah dan
tidak memperdebatkannya, serta memberikan penjelasan konsekuensi dari keimanan
terhadap eksistensi Allah tersebut bagin manusia dan alam.
2.
Konsep Allah tidak hanya ada dalam
pandangan keagamaan orang-orang arab pra-islam, tetapi juga bahwa struktur
bathin konsep Allah telah berkembang dengan baik.
3.
Dalam tauhid Uluhiyyah ini, semangat
tauhid tidak hanya berupa pengakuan bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta
langit dan bumi, tetapi juga meliputi keyakinan bahwa hanya Allah yang patut disembah,
sebab hanya Dia yang memiliki keilahian di alam ini, sebagian atau seluruhnya.
4.
Asmaul husna adalah nama-nama Allah yang
indah yang sesuai dengan sifat-sifat kesempurnaan Allah SWT.
Daftar Pustaka
Rusmana
Dadan, Rahtikawati Yayan. 2014. Tafsir
Ayat-Ayat Sosial Budaya. Bandung: Pustaka Setia.
Hossein
Nasr, Seyyed. 2002. Ensiklopedi Tematis
Spiritualitas Islam. Bandung: Mizan.
Hanafi,
Hassan. 2005. Kiri Islam: Menggugat
Kemapanan Agama dan Politik. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Mustaqim
Abdul, Syamsudin Sahiron. 2002. Studi
Al-Qur’an Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Musdah
Mulia, Siti. 2005. Muslimah Reformis. Bandung:
Mizan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar