1.
Hubungan
Agama (Islam) dan Negara Pada Masa Klasik
Umat
Islam memulai hidup bernegara setelah Nabi Hijrah ke Yatsrib, yang kemudian
kemudian berubah nama menjadi Madinah. Yatsrib atau Madinahlah untuk pertama kali
lahir suatu komunitas Muslim yang bebas
dan merdeka di bawah Nabi –sekalipun Nabi sendiri tidak pernah menyatakan
dirinya sebagai seorang penguasa- dan terdiri dari para pengikut Nabi yang
datang dari Mekkah (Muhajirin) dan penduduk Madinah yang telah memeluk Islam serta
yang telah mengundang Nabi untuk hijrah ke Madinah (Ansar). Umat Islam bukanlah
satu-satunya komunitas di Madinah, dengan kata lain, merupakan bagian dari
masyarakat majemuk (heterogen).
Kemajemukan
itulah yang kemudian mendorong Nabi –menurut sementara ahli sejarah belum cukup
dua tahun dari kedatangan Nabi di kota itu mendeklarasikan satu piagam yang
dikenal dengan Piagam Madinah, yang
mengatur kehidupan dan hubungan antara komunitas-komunitas yang merupakan
komponen-komponen masyarakat yang heterogen di Madinah.
Sebagian
kaum muslimin menganggap bahwa Piagam Madinah merupakan Konstitusi atau
Undang-Undang Dasar bagi negara Islam yang pertama dan yang didirikan Nabi di
Madinah.[1]
Landasan kehidupan bernegara untuk masyarakat majemuk yang terkandung dalam
Piagam Madinah adalah ; 1) semua pemeluk Islam, meskipun berasal dari banyak
suku, tetapi merupakan satu komunitas, 2) Hubungan antara sesama anggota
kemunitas Islam dan antara anggota komunitas Islam dengan anggota
komuintas-komunitas lain didasarkan atas prinsip-prinsip; bertetangga baik,
saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, membela mereka yang teraniaya,
saling menasehati, dan menghormati kebebasan beragama.[2]
Nabi
Muhammad tidak pernah menyatakan diri sebagai penguasa apalagi sebagai seorang
raja. Pendapat Ibnu Taimiyah mungkin bisa menjelaskan masalah posisi Nabi
Muhammad dalam hubungannya dalam masalah kekuasaan apakah sebagai seorang Rasul
atau sebagai seorang kepala negara, Ibn Taimiyah menegaskan “agama yang benar wajib
punya buku petunjuk dan pedang penolong”. Ibn Taimiyah ingin menekankan bahwa
kekuasaan politik yang disimbolkan oleh pedang menjadi suatu yang esensial dan
mutlak bagi agama, tetapi kekuasaan itu bukanlah agama. Dengan ungkapan lain,
politik/negara hanyalah sebagai alat bagi agama; ia bukan suatu ekstensi dari
agama.[3]
Dan seluruh perjalanan politik Nabi
Muhammad menguatkan argument yang kita kemukakan ini. Dengan demikian
pernyataan “Islam adalah agama dan negara” nampaknya telah mengaburkan hakekat
yang sebenarnya dari posisi kenabian Muhammad.
Dengan
wafatnya Nabi maka situasi yang sangat unik dalam sejarah Islam, yakni
kehadiran seorang pemimpin tunggal yang memiliki otoritas spiritual dan
temporal (Duniawai) yang berdasarkan kenabian dan bersumberkan wahyu Ilahi. Dan
situasi tersebut tidak akan berulang kembali, karena menurut kepecayaan Islam
Nabi Muhammad adalah Nabi dan utusan Tuhan yang terakhir. Sementara itu beliau
tidak meninggalkan wasiat atau pesan tentang siapa di antara para sahabat yang
harus menggantikan posisi beliau sebagai pemimpin umat. Dalam Al-Qur’an atau
Hadist nabi tidak terdapat petunjuk tentang bagiamana cara menentukan pemimpin
umat atau kepala negara sepeninggal beliau nanti, selain petunjuk yang sifatnya
sangat umum agar umat Islam mencari penyelesaian dalam masalah-masalah yang
menyangkut kepentingan bersama melalui musyawarah, tanpa adanya pola yang baku
tentang bagaimana ‘musyawarah’ itu harus dijalankan. Itulah kiranya salah satu
sebab utama mengapa dalam empat Al-Khulafa al-Rasyidin itu ditentukan melalui
musyawarah, tetapi pola musyawarah yang ditempuhnya beraneka ragam.[4]
Peristiwa
pertemuan di balai Banu Saidah merupakan awal yang sangat penting dalam
perjalanan sejarah politik Islam pada awal masa Islam sebagai pelaksanaan syura
pertama dikalangan umat Islam setelah wafatnya Nabi. Yang kemudian membawa
konsekuensi penting yaitu: pertama,
para yuris Sunni abad pertengahan dan para teolog telah membawa
peristiwa-peristiwa sejarah ini ke dalam teori konstitusional, diberi sanksi
dan dibenarkan oleh prinsip-prinsip syari’ah. Kedua, sejalan dengan perkembangan sejarah selanjutnya, para ahli
hukum (yuris) memusatkan teori politiknya pada masalah kekhalifahan-imamah,
terutama sebelum jatuhnya Baghdad –pusat imperium Abbasyiah- ke tangan pasuka
mongol pada tahun 1258 M. [5]
Setelah malapetaka politik ini para yuris mengalihkan doktrin politik mereka
dari masalah kekhalifahan kepada posisi syari’ah yang dipandang dominan sebagai
pengikat kehidupan umat. Masalah kekhalifahan sebagai suatu tatanan politik
dengan demikian dikesampingkan, karena lembaga ini memang sudah ditelan
sejarah. Dengan kata lain para yuris merumuskan teori mereka atas dasar
kenyataan sejarah yang sedang dihadapi umat. Baru kemudian mereka memutar otak
mencari prinsip syari’ah untuk membenarkan teori mereka. Dengan meminjam
ungkapan Fauzzi M. Najjar, Syafii Maarif mengatakan bahwa “Agama dipakai untuk
memberi sanksi pada kenyataan-kenyataan kehidupan politik”. Bertolak dari
kenyataan ini, sekalipun kekhalifahan telah menjadi suatu institusi politik
dalam sejarah Islam. Ia tidak punya dasar dalam al-Qur’an atau sunah. Sementara
itu cukup penting untuk diingat bahwa lebih dari tiga abad setelah Nabi
mendirikan tatanan sosio-politik Islam di Madinah, baru para ahli hukum mulai
berspekulasi dan menyusun teori politik mereka, yaitu pada abad saat-saat
imperium Abbasyiah sedang menghadapi masa kemunduran pada abad 10M. selama
periode Umayyah (661-750 M), kita belum mengenal suatu pemikiran politik oleh
para yuris-teolog Islam. Keadaan semacam inilah, yang menjelaskan pada umumnya sifat
apologetic dari teori-teori Islam tentang negara.[6]
2.
Hubungan
Agama (Islam) dan Negara Pada Masa Modern (Konteks Ke-Indonesia-an)
Pada
hubungan antara agama dan negara di Indonesia yang setidaknya terbagi dalam
tiga masa yaitu: Pertama, hubungan
Islam dengan Negara Pada Masa Orde Lama. Dalam kaitan masyarakat Islam
Indonesia, konsep umat selalau dihubungkan dengan pelaksanaan syariat dalam
kehidupan individual dan kehidupan kolektif mereka. Oleh sebab itu, konsep
tentang umat dan syariat perlu kita bicarakan terlebih dahulu.
Konsep umat menggambarkan suatu masyarakat beriman
yang bercorak universal. Setiap muslim yang sadar, merasakan benar bahwa ia
adalah anggota umat. Identitiasnya sebagai muslim banyak ditentukan oleh
keterikatan spiritual dengan persaudaraan universal itu. Secara teori, umat
percaya bahwa ajaran Islam meliputi seluruh dimensi kemanusiaan. Dengan kata
lain, apa yang dimaksud dengan sekuler, di mata seorang Muslim, tidak dapat
dilepaskan dari persoalan-persoalannya. Dari sudut pandang ini, cita-cita
kekuasaan (politik) menyatu dengan wawasan moral sebagai pancaran iman seorang
Muslim. Dengan demikian, tidak dapat dipisahkan dari ajaran etika yang
bersumber dari wahyu. Bahkan, kekuasaan politik merupakan kendaraan untuk merealisis
pesan-pesan wahyu.
Apabila konsep teoritis di atas diturunkan dalam
masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim, kita akan dihadapkan pada dua
fenomena sosiologis yang tidak hanya berbeda, tetapi mingkin pula bertentangan.
Umat yang menjadi pendukung partai dan organisasi dengan label Islam atau label
lain yang menunjuk pada makna yang sama, menerima konsep teoritis tentang umat
dan ajaran Islam secara penuh. Fenomena lain, kelompok umat Islam Indonesia-
mungkin karena pengaruh cita-cita politik – adalah semata-mata kegiatan
duniawi, sedangkan agama merupakan persoalan pribadi yang tidak perlu dikaitkan
dengan masalah politik.
Dua pandangan ini sama-sama mempengaruhi perjalanan
sejarah kontemporer Indonesia. Sikap kontemporer antara kedua pandangan tersebut
di bidang politik sudah beberapa kali menjadi kenyataan. Dilihat dari kacamata
1980-an, perkumpulan antara kedua pandangan ini tampaknya mencapai sintesis
yang menggembirakan setelah setiap pihak semakin matan secara intelektual
akibat benturan-benturan tajam selama ini. Hal ini berarti konsep persaudaraan
univeral semakin dihayati dan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat Islam
Indonesia. Dengan demikian, apa yang selama ini kita kenal dengan dualisme
santri abangan semakin menipis. Inilah kecenderungan, ia tidak memiliki
kepastian karena corak dan bangunan masa depan teramat sulit diantisipasi
betatpapun cermatnya seseorang membaca peta bumi sosio-politik kekinian sebagai
kelanjutan dari masa lampau.
Dua kelompok besar umat Islam Indonesia. Pertama,
kelompok umat yang percaya pada Islam sebagai cara dan pandangan hidup yang
lengkap dan sempurna. Bagi mereka tidak ada kegiatan hidup, betapapun kecilnya
yang lepas dari sorotan iman. Kedua, menurut gambaran yang diberikan
Delliar Noer-adalah mereka yang tidak “menghiraukan praktik-praktik dan
upacara-upacara keagamaan dan membatasinya pada hal-hal yang berkaitan dengan
tahap-tahap yang terpenting dalam kehidupan: kelahiran, perkawinan, kematian.”
Golongan yang dikenal dengan sebutan Nasionalis sekular, atau sebagian besar
berasal dari latar belakang budaya abangan. Kelompok ini tidak menghiraukan
makna yang tercantum dalam konsep umat sebagai komunitas universal yang
menyangkut seluruh kaum Muslim dari semua ras dan kebudayaan. Dengan ungkapan
lain, intensitas perasaan mereka sebagai umat yang tergolong santri. Perbedaan
kualitatif ini yang membawa mereka pada perbedaan persepsi dan wawasan tentang
makna agama dalam kehidupan seseorang.
Pemimpin
dan pemikir Muslim dalam sejarah kontemporer di Indonesia tampaknya mempunyai
persepsi dan pengertian yang sama dengan syariat. Karena itu, sebagao muara
logis persepsi ini mereka berpendapat bahwa tanpa kekuasaan politik, sistem
hukum Islam tidak dapat berfungsi secara wajar dalam suatu masyarakat Muslim.
Oleh karena itu, berbagai cara dan jalan telah dicoba dan dilalui oleh berbagai
gerakan Islam untuk meraih tujuannya, tetapi dengan hasil yang sangat terbatas.
Delliar Noer berdalil, “Islam di Indonesia masih harus menentukan jenis peranan
yang harus dimainkannya dalam proses modernisasi negara ini.” Ada dua aliran
keagamaan penting yang muncul ke permukaan sejarah pada dekade pertama abad
ini. Aliran pertama, banyak dipengaruhi gagasan dan aspirasi reformis
Islam yang berasal dari Asia Barat dan Mesir. Sampai batasan tertentu pada
dekade-dekade berikutnya, pengaruh pemikiran Islam dari anak benua India juga
terasa. Penyokong aliran iniberusaha menghidupkan kembali prinsip dan semangat
ijtihad, yaitu kerja keras intelektual dalam memahami agama agar ia mampu menengani
persoalan yang muncul akibat perubahan sosial dalam masyarakat Muslim. Dalam
konteks sejarah Indonesia modern, kaum pembela ijtihad lazim dikenal sebagai
kaum muda atau kaum modern. Aliran kedua, secara teoritis menolak hasil
ijtihad oleh umat Islam sekarang sebab, pada pandangan mereka, pintu ijtihad
telah tertutup, sekalipun “tidak seorangpun mengetahui kapan ijtihad itu
ditutup atau siapa sebenarnya yang menutupnya”. Pengikut aliran ini biasa
dikenal sebagai kaum tua atau Muslim tradisionalis.
Berikut adalah fase mengeai diskursus
hubungan agama dan Negara di Indonesia, diantaranya:
- 1. Periode Pra Kemerdekaan: Seruan ke Arah Kesatuan antara Islam dan Negara
Dengan
bangkitnya nasionalisme Indonesia pada dekade pertama abad ke-20,
gerakan-gerakan masyarakat pribumi mulai bermunculan, berjuang menentang
kolonialisme Belanda dan menuntut kemerdekaan bangsa. Dalam upaya-upaya
nasionalistik ini, Islam memainkan peran yang sangat menentukan. Para pengkaji
nasionalisme Indonesia menyatakan bahwa Islam berfungsi sebagai mata rantai
yang menyatukan rasa persatuan nasional menentang kolonialisme Belanda.
Pada
awal oeriode pergerakan kebangsaan ini, satu-satunya perwujudan politik Islam
adalah Sarekat Islam (SI). Berawal dari organisasi dagang, Sarekat Dagang Islam
(SDI), yang didirikan oleh H. Samanhoedi di Solo pada tahun 1911, SI berkembang
pesat menjadi “organisasi politik nasional pertama di Indonesia”. Di bawah
kepempininan H.O.S. Tjokroaminoto, Agus Salim, dan Abdoel Moeis, SI adalah
organisasi pemula yang “mengembangkan program politik yang menuntut pemerintah
sendiri (oleh rakyat Indonesia)” dan “kemerdekaan penuh”. SI merupakan
organisasi politik nasional yang pertama, hal itu tidak disebabkan oleh
agendanya yang bersifat nasional, yaitu menyerukan kemerdekaan Indonesia. Untuk
sebagian besar, hal itu juga disebabkan oleh kemampuannya dalam menghiimpun
dukungan massa yang mengatasi pengelompokan-pengelompokan sosial dalam
masyarakat. Seperti dinyatakan Belanda, dengan menampilkan diri secara penuh
kepada rakyat Indonesia, SI memperoleh dukungan dari semua kelas, di kota-kota,
dan di desa-desa.[7]
2. Politik
Islam Pasca Kemerdekaan
Setelah
Jepang tidak dapat menghindari kekalahan dari sekutu, Badan Penyelidik
ditingkatkan menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Badan ini
berbeda dengan Badan Penyelidik karena komposisinya sejak semula dimaksudkan
sebagai representasi yang mencerminkan perbedaan daerah Indonesia. Sementara
Badan Penyelidik disusun secara khusus, yang anggotanya lebih didominasi oleh
berlatar belakang dari Jawa, kebalikannya yang berlaku pada panitia Persiapan.
Sebagai akibat dari perubahan itu, banyak anggota Badan Penyelidik yang aktif
dan bersuara lantang (vocal) tidak muncul lagi dalam panitia Persiapan, seperti
Abdul Kahar Muzzakir, Agus Salim, Masykur, K. H. Ahmad Sanusi, Wogsonegoro,
Abikusno Tjokro, dan Muhammad Yamin.
Perubahan
komposisi ini memberikan kesempatan kepada para pemimpin sekuler untuk mengubah
keputusan hasil Badan Penyelidik yang lebih banyak menerima cita-cita Islam
untuk digantikan dengan konstitusi sekuler. Untuk mencapai tujuan ini, M. Hatta
berusaha meyakinkan wakil-wakil yang menyuarakan cita-cita Islam bahwa hanya
konstitusi sekuler yang mempunyai peluang untuk diterima oleh mayoritas rakyat.
Usaha ini berhasil, dan Piagam Jakarta dirombak. Anak kalimat yang mewajibkan
menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya hilang dan digantikan oleh “Ketuhanan
Yang Maha Esa”. Jalannya persidangan PPKI tampak lebih lancar dan mudah
dibandingkan dengan persidangan dalam BPUPKI. Hatta sebagaimana Soekarno pada
pidato “Lahirnya Pancasila”, berpendapat bahwa dengan perubahan tersebut,
peraturan dalam rangka syariat Islam yang hanya mengenai orang Islam dapat
diajukan dalam rancangan UU di DPR, yang setelah diterima DPR mengikat umat
Islam Indonesia.
Sehubungan
dengan cita-cita umat Islam Indonesia, sejak zaman pergerakan, Pancasila
menurut Soekarno, merupakan dasar negara yang memungkinkan umat Islam
mengisinya dengan nilai-nilai Islam. Dengan demikian, negara RI menjadi negara
yang islami, meskipun tidak secara formal sebagai negara Islam. Demikianlah
Soekarno mengatakan hal ini kepada umat Islam dalam banyak pidatonya, yang
kadang-kadang terlihat tidak konsisten. Ia pernah berkata di Aceh pada masa
permulaan Revolusi, “Pancasila adalah milik kita. Ia adalah wadah yang kita
isi. Jika kita isi dengan Islam, Islamlah negara kita.” Akan tetapi, kemudian
di Amuntai ia berkata, “Kalau Indonesia menjadi negara Islam, kita akan hancur
berantakan.”
Pidato
Soekarno tersebut diucapkan pada awal masa revolusi, berarti pada masa
berlakunya demokrasi liberal. Pidato Soekarno tersebut, terutama yang diucapkan
di Amuntai, segera mendapatkan sorotan dan kritikan dari kalangan Islam,
sehingga ia harus menjawabnya dalam kuliah umum yang disampaikan di Universitas
Indoneisa pada tanggal 7 Mei 1953, dengan tema “Negara Nasional dan Cita-cita
Islam”. Dalam ceramahnya, ia menjelaskan sebagai berikut;
a. Islam
mempunyai cita-cita kenegaraan.
b. Islam
tidak hanya mengatur masalah hubungan manusia dengan Allah, soal ibadah dan
kepercayaan, tetapi mengatur juga soal-soal kehidupan dan hubungan manusia
dengan masyarakat, sehingga tidak hanya agama, tetapi way of life yang
mengatur segala soal kehidupan.
c. Islam
tidak memisahkan gereja dari negara sebagai agama Kristen, tetapi agama dan
negara menurut Islam adalah bersatu dan sejalan. Sekalipun demikian, Islam
tidak mengenal dan tidak membenarkan teokrasi karena dalam Islam tidak ada
tingkatan kepadrian sebagaimana dalam agama Kristen.
d. Negara
Islam menjamin kemerdekaan kepercayaan agama-agama lain dan memberi persamaan
hak antara segala rakyat.
Akan
tetapi, setelah menjelaskan dan membahas negara dalam Islam, ia tidak
memastikan bentuk negara yang dimaksudkan dalam Islam itu, terutama dalam
hubungannya dengan Indonesia. Sebab, Indonesia tidak hanya terdiri atas warga
yang beragama Islam, tetapi juga penganut agama lain yang turut berkorban
mencapai kemerdekaan Indonesia dan mendirikan negara republik ini. Untuk
menghargai jasa-jasa mereka dan menjalankan demokrasi yang juga merupakan
ajaran Islam, perlu disediakan suatu wadah bersama yang netral agama dan
ideologi (isme), dan itu adalah Pancasila, dan wadah tersebut dapat diisi oleh
ajaran-ajaran agama. Hal ini sejalan dengan pidatonya di Aceh terdahulu, bahkan
dengan pendapat-pendapatnya yang tidak menyetujui negara Islam, tetapi
menginginkan masyarakat Islam. Tanpa menyebutkan negara Islam, umat Islam dapat
memuaskan ajaran-ajaran Islam dalam konstitusi, dengan syarat melalui cara-cara
yang konstitusional, seperti parlemen. Bahkan, dalam menjelaskan hubungan
antara Islam dan Pancasila, Soekarno menyitir wawancara Natsir dalam
perjalanannya di Karachi, yang mengatakan, “Kalau Pakistan negara Islam,
Republik Indonesia adalah berdasarkan yang sama, hanya berlainan formal dengan
yang dianut oleh Pakistan.”[8]
- 3. Hubungan Islam dan negara pada masa Orde Baru
Ada beberapa alasan negara dapat begitu mesra atau
harmonis dengan Islam. Menurut Affan Gaffar sebagaimana dikutip Tim ICCE UIN
Jakarta, penyebabnya adalah pertama, dari sisi pemerintah, Islam
merupakan kekuatan yang tidak bisa diabaikan, yang jika diletakkan pada posisi
pinggiran akan menimbulkan masalah politik yang sangat rumit. Oleh karena itu,
Islam harus diakomodasi sehingga kemungkinan konflik dapat diredam lebih dini. Keuda,
di kalangan pemerintah terdapat sejumlah figur yang tidak terlalu fobi terhadap
Islam, bahkan memiliki dasar keislaman yang sangat kuat sebagai akibat dari
latar belakangya. Ketiga, adanya perubahan sikap, dan orientasi politik
di kalangan Islam itu sendiri. Dalam perjalanan sejarah Orde Baru, peranan umat
Islam dalam pendirian rezim ini sangat signifikan. Hal ini tercermin dalam
gerakan pemberantasan PKI secara besar-besaran yang dikoordinasikan oelh dua
organisasi besar, NU dan Muhammadiyah. Dalam kapasitas sebagai organisasi
massa, Muhammadiyah membuat Komando Keamanan Muhammadiyah (KOKAM), sedangkan NU
membuat Barisan Serbu (BANSER) yang mempunyai makna tersendiri dalam pergerakan
Orde Baru. Akan tetapi, kecenderungan agresivitas umat Islam membuat kecurigaan
besar rezim Orde Baru dengan gerakan militerisasi, yang bisa dikemas sedemikian
rupa dan secara potensial merupakan merupakan ancaman baru. Umat Islam dalam
periode ini, tampaknya juga mengalami polemik yang mahadahsyat berkaitan dengan
langkah modernisasi yang dilakukan pemerintah Orde Baru, demi membangun basis
legitimasi.
Dalam pandangan Dawam Rahardjo. Islam pada era awal
Orde Baru tidak mempunyai kesiapan yang memadai untuk merespon jagoan utama
pembangunan dari Orde Baru. Umat Islam cenderung menarik diri, bahkan
mempersoalkan konsep modernisasi dan pembangunan. Pada era inilah, tidak
akseptabilitasnya umat Islam membuat pemerintah melirik kepada kelompok Nasrani
dan etnis Cina, bersama militer membangun basis penggodok strategi nasional
dalam lembaga CSIS.ada sebagia orang Islam yang masuk, bahkan membidangi
kelahiran CSIS ini, yaitu Ali Murtopo, yang lebih dikenal dengan aliran Islam
Abangan. Ketidaksiapan umat Islam ini menjadi preseda tersingkirnya umat Islam
dalam panggung ekonomi nasional. Akan tetapi, dalam akses politik, peranan umat
Islam tidak bisa dipandang remeh sehingga pemerintah merasa perlu untuk menata,
bahkan mengooptasi umat Islam, dalam sebuah komunitas politik yang lebih bisa
dikendalikan oleh pemerintah.
Isu ini dilempar dalam bentuk fusi partai yang
dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahun 1971, dan menjadi satu partai yang
berafiliasi dengan asas Islam pada PPP di 1976. Fusi partai ternyata sangat
mengecewakan umat Islam sehingga potensi booming participation yang
menjurus pada gerakan radikal menjadi sebuah kemestian. Timbulnya kasus Tanjung
Priok, letupan kelompok DI/TII, Komando Jihad (Konji) menuntut pemerintah untuk
memotong akarnya, dengan menetapkan asas tunggal dalam UU Keorgamasan. Dinamika
terjadi dalam tubuh keormasan Islam dalam merespons satu-satunya asas.
Organisasi besar NU merupakan organisasi yang pertama kali menyatakan
kesediannya, baru kemudian Muhammadiyah menjelang muktamar Muhammadiyah di
Solo.[9]
4. Hubungan
Islam dan negara pada masa Reformasi
Pada masa orde reformasi ini pintu untuk demokrasi
dibuka secara lebar hal ini terlihat dari reformasi politik/birokrasi untuk
menjebatani jurang ideologi antara Islam Politik dan negara. Para intelektual
Muslim yang mendukung posisi ini berkeyakinan bahwa masalah tidak harmonisnya
hubungan antara Islam politik dan negara, beserta akibat-akibatnya yang
dirasakan oleh para aktivis politik Islam, perlahan-lahan dapat diatasi dengan
cara melibatkan diri secara langsung dalam arus utama proses-proses politik dan
birokrasi negara. Meskipun hanya sedikit
di antara para pendukung aliran ini yang memiliki kemampuan untuk melihat
masalah ini dalam perspektif seperti yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh aliran
yang pertama (yaitu, pembaruan teologis/keagamaan), pilihan untuk mengembangkan
gagasan reformasi politik/birokrasi ini juga dibangun dari pertimbangan
teologis dan politis tertentu. Pertama, dalam pandangan aliran
intelektual ini, Islam tidak boleh berdiri dalam posisi yang berhadap-hadapan
dengan negara. dalam hal ini, yang penting untuk dilakukan adalah tidak
menempatkan Pancasila sebagai sesuatu yang bertentangan dengan Islam, tetapi
memandang keduanya sebagai saling melengkapi. Kedua, sepanjang sejarah
politik Indonesia modern, para aktivis politik Islam belum mampu mengembangkan
ttradisi memerintah yang kuat. Dengan pengecualian era 1950-an, ketika beberapa
tokohnya diberi kepercayaan untuk memimpin kabinet dan kantor-kantor birokrasi
yang penting (khususnya di lingkungan Departemen Agama), para aktivis politik
Islam tidak memainkan peran penting dalam lembaga-lembaga negara dan
kantor-kantor birokrasi. Untuk sebagian, fenomena ini dapat menjelaskan bukan
hanya posisi pinggiran para aktivis Islam politk di lembaga-lembaga negara dan
kantor-kantor birokrasi, melainkan juga sikap dan langkah mereka yang relatif
mengambil jarak dari negara. secara sosiologi sebenarnya ada keharusan
intrinsik bagi para aktivis politik Islam untuk memainkan peran penting dalam
proses pemerintahan dan pembuatan kebijakan di Indonesia. Hal ini semata-mata
karena umat Islam adalah kelompok masyarakat terbesar di negara ini. Ketiga,
seluruh pendekatan dan strategi di atas merupakan langkah-langkah yang
harus diambil untuk memulihkan kembali harga diri dan citra para aktivis
politik Islam, yang pada umumnya dipandang sebagai sasaran kecurigaan, bukan
“orang-dalam” atau kelompok minoritas dalam proses-proses politik di Indonesia.
Dengan pertimbangan
di atas, para pendukung aliran intelektual ini berharap bahwa pembaruan politik
dan partisipasi birokratis dapat mengatasi hubungan yang tidak harmonis antara
Islam dan negara. lebih jauh lagi, dengan memperkuat kedekatan politis dan ideologis
tersebut, diharapkan bahwa ruang untuk berlangsungnya konfrontasi-konfrontasi
yang tidak perlu-secara politis ataupun ideologis-perlahan-lahan semakin
menyempit, jika tidak sepenuhnya dapat dihapuskan. Dalam konteks khusus inilah
sebagaimana dicatat Ahmad Wahib, para pendukung aliran ini dapat dianggap
sebagai ujung tombak politik bagi aliran pembaruan teologis/keagamaan.
Oleh: Agus Riswandi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar