Rabu, 13 Januari 2016

Hubungan Agama (Islam) dan Negara

1.     Hubungan Agama (Islam) dan Negara Pada Masa Klasik
Umat Islam memulai hidup bernegara setelah Nabi Hijrah ke Yatsrib, yang kemudian kemudian berubah nama menjadi Madinah. Yatsrib atau Madinahlah untuk pertama kali lahir suatu komunitas Muslim  yang bebas dan merdeka di bawah Nabi –sekalipun Nabi sendiri tidak pernah menyatakan dirinya sebagai seorang penguasa- dan terdiri dari para pengikut Nabi yang datang dari Mekkah (Muhajirin) dan penduduk Madinah yang telah memeluk Islam serta yang telah mengundang Nabi untuk hijrah ke Madinah (Ansar). Umat Islam bukanlah satu-satunya komunitas di Madinah, dengan kata lain, merupakan bagian dari masyarakat majemuk (heterogen).
Kemajemukan itulah yang kemudian mendorong Nabi –menurut sementara ahli sejarah belum cukup dua tahun dari kedatangan Nabi di kota itu mendeklarasikan satu piagam yang dikenal dengan Piagam Madinah, yang mengatur kehidupan dan hubungan antara komunitas-komunitas yang merupakan komponen-komponen masyarakat yang heterogen di Madinah.
Sebagian kaum muslimin menganggap bahwa Piagam Madinah merupakan Konstitusi atau Undang-Undang Dasar bagi negara Islam yang pertama dan yang didirikan Nabi di Madinah.[1] Landasan kehidupan bernegara untuk masyarakat majemuk yang terkandung dalam Piagam Madinah adalah ; 1) semua pemeluk Islam, meskipun berasal dari banyak suku, tetapi merupakan satu komunitas, 2) Hubungan antara sesama anggota kemunitas Islam dan antara anggota komunitas Islam dengan anggota komuintas-komunitas lain didasarkan atas prinsip-prinsip; bertetangga baik, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, membela mereka yang teraniaya, saling menasehati, dan menghormati kebebasan beragama.[2] 
Nabi Muhammad tidak pernah menyatakan diri sebagai penguasa apalagi sebagai seorang raja. Pendapat Ibnu Taimiyah mungkin bisa menjelaskan masalah posisi Nabi Muhammad dalam hubungannya dalam masalah kekuasaan apakah sebagai seorang Rasul atau sebagai seorang kepala negara, Ibn Taimiyah menegaskan “agama yang benar wajib punya buku petunjuk dan pedang penolong”. Ibn Taimiyah ingin menekankan bahwa kekuasaan politik yang disimbolkan oleh pedang menjadi suatu yang esensial dan mutlak bagi agama, tetapi kekuasaan itu bukanlah agama. Dengan ungkapan lain, politik/negara hanyalah sebagai alat bagi agama; ia bukan suatu ekstensi dari agama.[3] Dan seluruh perjalanan  politik Nabi Muhammad menguatkan argument yang kita kemukakan ini. Dengan demikian pernyataan “Islam adalah agama dan negara” nampaknya telah mengaburkan hakekat yang sebenarnya dari posisi kenabian Muhammad.
Dengan wafatnya Nabi maka situasi yang sangat unik dalam sejarah Islam, yakni kehadiran seorang pemimpin tunggal yang memiliki otoritas spiritual dan temporal (Duniawai) yang berdasarkan kenabian dan bersumberkan wahyu Ilahi. Dan situasi tersebut tidak akan berulang kembali, karena menurut kepecayaan Islam Nabi Muhammad adalah Nabi dan utusan Tuhan yang terakhir. Sementara itu beliau tidak meninggalkan wasiat atau pesan tentang siapa di antara para sahabat yang harus menggantikan posisi beliau sebagai pemimpin umat. Dalam Al-Qur’an atau Hadist nabi tidak terdapat petunjuk tentang bagiamana cara menentukan pemimpin umat atau kepala negara sepeninggal beliau nanti, selain petunjuk yang sifatnya sangat umum agar umat Islam mencari penyelesaian dalam masalah-masalah yang menyangkut kepentingan bersama melalui musyawarah, tanpa adanya pola yang baku tentang bagaimana ‘musyawarah’ itu harus dijalankan. Itulah kiranya salah satu sebab utama mengapa dalam empat Al-Khulafa al-Rasyidin itu ditentukan melalui musyawarah, tetapi pola musyawarah yang ditempuhnya beraneka ragam.[4]
Peristiwa pertemuan di balai Banu Saidah merupakan awal yang sangat penting dalam perjalanan sejarah politik Islam pada awal masa Islam sebagai pelaksanaan syura pertama dikalangan umat Islam setelah wafatnya Nabi. Yang kemudian membawa konsekuensi penting yaitu: pertama, para yuris Sunni abad pertengahan dan para teolog telah membawa peristiwa-peristiwa sejarah ini ke dalam teori konstitusional, diberi sanksi dan dibenarkan oleh prinsip-prinsip syari’ah. Kedua, sejalan dengan perkembangan sejarah selanjutnya, para ahli hukum (yuris) memusatkan teori politiknya pada masalah kekhalifahan-imamah, terutama sebelum jatuhnya Baghdad –pusat imperium Abbasyiah- ke tangan pasuka mongol pada tahun 1258 M. [5] Setelah malapetaka politik ini para yuris mengalihkan doktrin politik mereka dari masalah kekhalifahan kepada posisi syari’ah yang dipandang dominan sebagai pengikat kehidupan umat. Masalah kekhalifahan sebagai suatu tatanan politik dengan demikian dikesampingkan, karena lembaga ini memang sudah ditelan sejarah. Dengan kata lain para yuris merumuskan teori mereka atas dasar kenyataan sejarah yang sedang dihadapi umat. Baru kemudian mereka memutar otak mencari prinsip syari’ah untuk membenarkan teori mereka. Dengan meminjam ungkapan Fauzzi M. Najjar, Syafii Maarif mengatakan bahwa “Agama dipakai untuk memberi sanksi pada kenyataan-kenyataan kehidupan politik”. Bertolak dari kenyataan ini, sekalipun kekhalifahan telah menjadi suatu institusi politik dalam sejarah Islam. Ia tidak punya dasar dalam al-Qur’an atau sunah. Sementara itu cukup penting untuk diingat bahwa lebih dari tiga abad setelah Nabi mendirikan tatanan sosio-politik Islam di Madinah, baru para ahli hukum mulai berspekulasi dan menyusun teori politik mereka, yaitu pada abad saat-saat imperium Abbasyiah sedang menghadapi masa kemunduran pada abad 10M. selama periode Umayyah (661-750 M), kita belum mengenal suatu pemikiran politik oleh para yuris-teolog Islam. Keadaan semacam inilah, yang menjelaskan pada umumnya sifat apologetic dari teori-teori Islam tentang negara.[6]
2.     Hubungan Agama (Islam) dan Negara Pada Masa Modern (Konteks Ke-Indonesia-an)
Pada hubungan antara agama dan negara di Indonesia yang setidaknya terbagi dalam tiga masa yaitu: Pertama, hubungan Islam dengan Negara Pada Masa Orde Lama. Dalam kaitan masyarakat Islam Indonesia, konsep umat selalau dihubungkan dengan pelaksanaan syariat dalam kehidupan individual dan kehidupan kolektif mereka. Oleh sebab itu, konsep tentang umat dan syariat perlu kita bicarakan terlebih dahulu.
Konsep umat menggambarkan suatu masyarakat beriman yang bercorak universal. Setiap muslim yang sadar, merasakan benar bahwa ia adalah anggota umat. Identitiasnya sebagai muslim banyak ditentukan oleh keterikatan spiritual dengan persaudaraan universal itu. Secara teori, umat percaya bahwa ajaran Islam meliputi seluruh dimensi kemanusiaan. Dengan kata lain, apa yang dimaksud dengan sekuler, di mata seorang Muslim, tidak dapat dilepaskan dari persoalan-persoalannya. Dari sudut pandang ini, cita-cita kekuasaan (politik) menyatu dengan wawasan moral sebagai pancaran iman seorang Muslim. Dengan demikian, tidak dapat dipisahkan dari ajaran etika yang bersumber dari wahyu. Bahkan, kekuasaan politik merupakan kendaraan untuk merealisis pesan-pesan wahyu.
Apabila konsep teoritis di atas diturunkan dalam masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim, kita akan dihadapkan pada dua fenomena sosiologis yang tidak hanya berbeda, tetapi mingkin pula bertentangan. Umat yang menjadi pendukung partai dan organisasi dengan label Islam atau label lain yang menunjuk pada makna yang sama, menerima konsep teoritis tentang umat dan ajaran Islam secara penuh. Fenomena lain, kelompok umat Islam Indonesia- mungkin karena pengaruh cita-cita politik – adalah semata-mata kegiatan duniawi, sedangkan agama merupakan persoalan pribadi yang tidak perlu dikaitkan dengan masalah politik.
Dua pandangan ini sama-sama mempengaruhi perjalanan sejarah kontemporer Indonesia. Sikap kontemporer antara kedua pandangan tersebut di bidang politik sudah beberapa kali menjadi kenyataan. Dilihat dari kacamata 1980-an, perkumpulan antara kedua pandangan ini tampaknya mencapai sintesis yang menggembirakan setelah setiap pihak semakin matan secara intelektual akibat benturan-benturan tajam selama ini. Hal ini berarti konsep persaudaraan univeral semakin dihayati dan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat Islam Indonesia. Dengan demikian, apa yang selama ini kita kenal dengan dualisme santri abangan semakin menipis. Inilah kecenderungan, ia tidak memiliki kepastian karena corak dan bangunan masa depan teramat sulit diantisipasi betatpapun cermatnya seseorang membaca peta bumi sosio-politik kekinian sebagai kelanjutan dari masa lampau.
Dua kelompok besar umat Islam Indonesia. Pertama, kelompok umat yang percaya pada Islam sebagai cara dan pandangan hidup yang lengkap dan sempurna. Bagi mereka tidak ada kegiatan hidup, betapapun kecilnya yang lepas dari sorotan iman. Kedua, menurut gambaran yang diberikan Delliar Noer-adalah mereka yang tidak “menghiraukan praktik-praktik dan upacara-upacara keagamaan dan membatasinya pada hal-hal yang berkaitan dengan tahap-tahap yang terpenting dalam kehidupan: kelahiran, perkawinan, kematian.” Golongan yang dikenal dengan sebutan Nasionalis sekular, atau sebagian besar berasal dari latar belakang budaya abangan. Kelompok ini tidak menghiraukan makna yang tercantum dalam konsep umat sebagai komunitas universal yang menyangkut seluruh kaum Muslim dari semua ras dan kebudayaan. Dengan ungkapan lain, intensitas perasaan mereka sebagai umat yang tergolong santri. Perbedaan kualitatif ini yang membawa mereka pada perbedaan persepsi dan wawasan tentang makna agama dalam kehidupan seseorang.
Pemimpin dan pemikir Muslim dalam sejarah kontemporer di Indonesia tampaknya mempunyai persepsi dan pengertian yang sama dengan syariat. Karena itu, sebagao muara logis persepsi ini mereka berpendapat bahwa tanpa kekuasaan politik, sistem hukum Islam tidak dapat berfungsi secara wajar dalam suatu masyarakat Muslim. Oleh karena itu, berbagai cara dan jalan telah dicoba dan dilalui oleh berbagai gerakan Islam untuk meraih tujuannya, tetapi dengan hasil yang sangat terbatas. Delliar Noer berdalil, “Islam di Indonesia masih harus menentukan jenis peranan yang harus dimainkannya dalam proses modernisasi negara ini.” Ada dua aliran keagamaan penting yang muncul ke permukaan sejarah pada dekade pertama abad ini. Aliran pertama, banyak dipengaruhi gagasan dan aspirasi reformis Islam yang berasal dari Asia Barat dan Mesir. Sampai batasan tertentu pada dekade-dekade berikutnya, pengaruh pemikiran Islam dari anak benua India juga terasa. Penyokong aliran iniberusaha menghidupkan kembali prinsip dan semangat ijtihad, yaitu kerja keras intelektual dalam memahami agama agar ia mampu menengani persoalan yang muncul akibat perubahan sosial dalam masyarakat Muslim. Dalam konteks sejarah Indonesia modern, kaum pembela ijtihad lazim dikenal sebagai kaum muda atau kaum modern. Aliran kedua, secara teoritis menolak hasil ijtihad oleh umat Islam sekarang sebab, pada pandangan mereka, pintu ijtihad telah tertutup, sekalipun “tidak seorangpun mengetahui kapan ijtihad itu ditutup atau siapa sebenarnya yang menutupnya”. Pengikut aliran ini biasa dikenal sebagai kaum tua atau Muslim tradisionalis.
     Berikut adalah fase mengeai diskursus hubungan agama dan Negara di Indonesia, diantaranya:
    1. 1. Periode Pra Kemerdekaan: Seruan ke Arah Kesatuan antara Islam dan Negara
Dengan bangkitnya nasionalisme Indonesia pada dekade pertama abad ke-20, gerakan-gerakan masyarakat pribumi mulai bermunculan, berjuang menentang kolonialisme Belanda dan menuntut kemerdekaan bangsa. Dalam upaya-upaya nasionalistik ini, Islam memainkan peran yang sangat menentukan. Para pengkaji nasionalisme Indonesia menyatakan bahwa Islam berfungsi sebagai mata rantai yang menyatukan rasa persatuan nasional menentang kolonialisme Belanda.
Pada awal oeriode pergerakan kebangsaan ini, satu-satunya perwujudan politik Islam adalah Sarekat Islam (SI). Berawal dari organisasi dagang, Sarekat Dagang Islam (SDI), yang didirikan oleh H. Samanhoedi di Solo pada tahun 1911, SI berkembang pesat menjadi “organisasi politik nasional pertama di Indonesia”. Di bawah kepempininan H.O.S. Tjokroaminoto, Agus Salim, dan Abdoel Moeis, SI adalah organisasi pemula yang “mengembangkan program politik yang menuntut pemerintah sendiri (oleh rakyat Indonesia)” dan “kemerdekaan penuh”. SI merupakan organisasi politik nasional yang pertama, hal itu tidak disebabkan oleh agendanya yang bersifat nasional, yaitu menyerukan kemerdekaan Indonesia. Untuk sebagian besar, hal itu juga disebabkan oleh kemampuannya dalam menghiimpun dukungan massa yang mengatasi pengelompokan-pengelompokan sosial dalam masyarakat. Seperti dinyatakan Belanda, dengan menampilkan diri secara penuh kepada rakyat Indonesia, SI memperoleh dukungan dari semua kelas, di kota-kota, dan di desa-desa.[7]
2. Politik Islam Pasca Kemerdekaan
Setelah Jepang tidak dapat menghindari kekalahan dari sekutu, Badan Penyelidik ditingkatkan menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Badan ini berbeda dengan Badan Penyelidik karena komposisinya sejak semula dimaksudkan sebagai representasi yang mencerminkan perbedaan daerah Indonesia. Sementara Badan Penyelidik disusun secara khusus, yang anggotanya lebih didominasi oleh berlatar belakang dari Jawa, kebalikannya yang berlaku pada panitia Persiapan. Sebagai akibat dari perubahan itu, banyak anggota Badan Penyelidik yang aktif dan bersuara lantang (vocal) tidak muncul lagi dalam panitia Persiapan, seperti Abdul Kahar Muzzakir, Agus Salim, Masykur, K. H. Ahmad Sanusi, Wogsonegoro, Abikusno Tjokro, dan Muhammad Yamin.
Perubahan komposisi ini memberikan kesempatan kepada para pemimpin sekuler untuk mengubah keputusan hasil Badan Penyelidik yang lebih banyak menerima cita-cita Islam untuk digantikan dengan konstitusi sekuler. Untuk mencapai tujuan ini, M. Hatta berusaha meyakinkan wakil-wakil yang menyuarakan cita-cita Islam bahwa hanya konstitusi sekuler yang mempunyai peluang untuk diterima oleh mayoritas rakyat. Usaha ini berhasil, dan Piagam Jakarta dirombak. Anak kalimat yang mewajibkan menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya hilang dan digantikan oleh “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jalannya persidangan PPKI tampak lebih lancar dan mudah dibandingkan dengan persidangan dalam BPUPKI. Hatta sebagaimana Soekarno pada pidato “Lahirnya Pancasila”, berpendapat bahwa dengan perubahan tersebut, peraturan dalam rangka syariat Islam yang hanya mengenai orang Islam dapat diajukan dalam rancangan UU di DPR, yang setelah diterima DPR mengikat umat Islam Indonesia.
Sehubungan dengan cita-cita umat Islam Indonesia, sejak zaman pergerakan, Pancasila menurut Soekarno, merupakan dasar negara yang memungkinkan umat Islam mengisinya dengan nilai-nilai Islam. Dengan demikian, negara RI menjadi negara yang islami, meskipun tidak secara formal sebagai negara Islam. Demikianlah Soekarno mengatakan hal ini kepada umat Islam dalam banyak pidatonya, yang kadang-kadang terlihat tidak konsisten. Ia pernah berkata di Aceh pada masa permulaan Revolusi, “Pancasila adalah milik kita. Ia adalah wadah yang kita isi. Jika kita isi dengan Islam, Islamlah negara kita.” Akan tetapi, kemudian di Amuntai ia berkata, “Kalau Indonesia menjadi negara Islam, kita akan hancur berantakan.”
Pidato Soekarno tersebut diucapkan pada awal masa revolusi, berarti pada masa berlakunya demokrasi liberal. Pidato Soekarno tersebut, terutama yang diucapkan di Amuntai, segera mendapatkan sorotan dan kritikan dari kalangan Islam, sehingga ia harus menjawabnya dalam kuliah umum yang disampaikan di Universitas Indoneisa pada tanggal 7 Mei 1953, dengan tema “Negara Nasional dan Cita-cita Islam”. Dalam ceramahnya, ia menjelaskan sebagai berikut;
a.      Islam mempunyai cita-cita kenegaraan.
b.     Islam tidak hanya mengatur masalah hubungan manusia dengan Allah, soal ibadah dan kepercayaan, tetapi mengatur juga soal-soal kehidupan dan hubungan manusia dengan masyarakat, sehingga tidak hanya agama, tetapi way of life yang mengatur segala soal kehidupan.
c.      Islam tidak memisahkan gereja dari negara sebagai agama Kristen, tetapi agama dan negara menurut Islam adalah bersatu dan sejalan. Sekalipun demikian, Islam tidak mengenal dan tidak membenarkan teokrasi karena dalam Islam tidak ada tingkatan kepadrian sebagaimana dalam agama Kristen.
d.     Negara Islam menjamin kemerdekaan kepercayaan agama-agama lain dan memberi persamaan hak antara segala rakyat.
Akan tetapi, setelah menjelaskan dan membahas negara dalam Islam, ia tidak memastikan bentuk negara yang dimaksudkan dalam Islam itu, terutama dalam hubungannya dengan Indonesia. Sebab, Indonesia tidak hanya terdiri atas warga yang beragama Islam, tetapi juga penganut agama lain yang turut berkorban mencapai kemerdekaan Indonesia dan mendirikan negara republik ini. Untuk menghargai jasa-jasa mereka dan menjalankan demokrasi yang juga merupakan ajaran Islam, perlu disediakan suatu wadah bersama yang netral agama dan ideologi (isme), dan itu adalah Pancasila, dan wadah tersebut dapat diisi oleh ajaran-ajaran agama. Hal ini sejalan dengan pidatonya di Aceh terdahulu, bahkan dengan pendapat-pendapatnya yang tidak menyetujui negara Islam, tetapi menginginkan masyarakat Islam. Tanpa menyebutkan negara Islam, umat Islam dapat memuaskan ajaran-ajaran Islam dalam konstitusi, dengan syarat melalui cara-cara yang konstitusional, seperti parlemen. Bahkan, dalam menjelaskan hubungan antara Islam dan Pancasila, Soekarno menyitir wawancara Natsir dalam perjalanannya di Karachi, yang mengatakan, “Kalau Pakistan negara Islam, Republik Indonesia adalah berdasarkan yang sama, hanya berlainan formal dengan yang dianut oleh Pakistan.”[8]
  1. 3.  Hubungan Islam dan negara pada masa Orde Baru

Ada beberapa alasan negara dapat begitu mesra atau harmonis dengan Islam. Menurut Affan Gaffar sebagaimana dikutip Tim ICCE UIN Jakarta, penyebabnya adalah pertama, dari sisi pemerintah, Islam merupakan kekuatan yang tidak bisa diabaikan, yang jika diletakkan pada posisi pinggiran akan menimbulkan masalah politik yang sangat rumit. Oleh karena itu, Islam harus diakomodasi sehingga kemungkinan konflik dapat diredam lebih dini. Keuda, di kalangan pemerintah terdapat sejumlah figur yang tidak terlalu fobi terhadap Islam, bahkan memiliki dasar keislaman yang sangat kuat sebagai akibat dari latar belakangya. Ketiga, adanya perubahan sikap, dan orientasi politik di kalangan Islam itu sendiri. Dalam perjalanan sejarah Orde Baru, peranan umat Islam dalam pendirian rezim ini sangat signifikan. Hal ini tercermin dalam gerakan pemberantasan PKI secara besar-besaran yang dikoordinasikan oelh dua organisasi besar, NU dan Muhammadiyah. Dalam kapasitas sebagai organisasi massa, Muhammadiyah membuat Komando Keamanan Muhammadiyah (KOKAM), sedangkan NU membuat Barisan Serbu (BANSER) yang mempunyai makna tersendiri dalam pergerakan Orde Baru. Akan tetapi, kecenderungan agresivitas umat Islam membuat kecurigaan besar rezim Orde Baru dengan gerakan militerisasi, yang bisa dikemas sedemikian rupa dan secara potensial merupakan merupakan ancaman baru. Umat Islam dalam periode ini, tampaknya juga mengalami polemik yang mahadahsyat berkaitan dengan langkah modernisasi yang dilakukan pemerintah Orde Baru, demi membangun basis legitimasi.
Dalam pandangan Dawam Rahardjo. Islam pada era awal Orde Baru tidak mempunyai kesiapan yang memadai untuk merespon jagoan utama pembangunan dari Orde Baru. Umat Islam cenderung menarik diri, bahkan mempersoalkan konsep modernisasi dan pembangunan. Pada era inilah, tidak akseptabilitasnya umat Islam membuat pemerintah melirik kepada kelompok Nasrani dan etnis Cina, bersama militer membangun basis penggodok strategi nasional dalam lembaga CSIS.ada sebagia orang Islam yang masuk, bahkan membidangi kelahiran CSIS ini, yaitu Ali Murtopo, yang lebih dikenal dengan aliran Islam Abangan. Ketidaksiapan umat Islam ini menjadi preseda tersingkirnya umat Islam dalam panggung ekonomi nasional. Akan tetapi, dalam akses politik, peranan umat Islam tidak bisa dipandang remeh sehingga pemerintah merasa perlu untuk menata, bahkan mengooptasi umat Islam, dalam sebuah komunitas politik yang lebih bisa dikendalikan oleh pemerintah.
Isu ini dilempar dalam bentuk fusi partai yang dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahun 1971, dan menjadi satu partai yang berafiliasi dengan asas Islam pada PPP di 1976. Fusi partai ternyata sangat mengecewakan umat Islam sehingga potensi booming participation yang menjurus pada gerakan radikal menjadi sebuah kemestian. Timbulnya kasus Tanjung Priok, letupan kelompok DI/TII, Komando Jihad (Konji) menuntut pemerintah untuk memotong akarnya, dengan menetapkan asas tunggal dalam UU Keorgamasan. Dinamika terjadi dalam tubuh keormasan Islam dalam merespons satu-satunya asas. Organisasi besar NU merupakan organisasi yang pertama kali menyatakan kesediannya, baru kemudian Muhammadiyah menjelang muktamar Muhammadiyah di Solo.[9]
4. Hubungan Islam dan negara pada masa Reformasi
Pada masa orde reformasi ini pintu untuk demokrasi dibuka secara lebar hal ini terlihat dari reformasi politik/birokrasi untuk menjebatani jurang ideologi antara Islam Politik dan negara. Para intelektual Muslim yang mendukung posisi ini berkeyakinan bahwa masalah tidak harmonisnya hubungan antara Islam politik dan negara, beserta akibat-akibatnya yang dirasakan oleh para aktivis politik Islam, perlahan-lahan dapat diatasi dengan cara melibatkan diri secara langsung dalam arus utama proses-proses politik dan birokrasi negara. Meskipun hanya  sedikit di antara para pendukung aliran ini yang memiliki kemampuan untuk melihat masalah ini dalam perspektif seperti yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh aliran yang pertama (yaitu, pembaruan teologis/keagamaan), pilihan untuk mengembangkan gagasan reformasi politik/birokrasi ini juga dibangun dari pertimbangan teologis dan politis tertentu. Pertama, dalam pandangan aliran intelektual ini, Islam tidak boleh berdiri dalam posisi yang berhadap-hadapan dengan negara. dalam hal ini, yang penting untuk dilakukan adalah tidak menempatkan Pancasila sebagai sesuatu yang bertentangan dengan Islam, tetapi memandang keduanya sebagai saling melengkapi. Kedua, sepanjang sejarah politik Indonesia modern, para aktivis politik Islam belum mampu mengembangkan ttradisi memerintah yang kuat. Dengan pengecualian era 1950-an, ketika beberapa tokohnya diberi kepercayaan untuk memimpin kabinet dan kantor-kantor birokrasi yang penting (khususnya di lingkungan Departemen Agama), para aktivis politik Islam tidak memainkan peran penting dalam lembaga-lembaga negara dan kantor-kantor birokrasi. Untuk sebagian, fenomena ini dapat menjelaskan bukan hanya posisi pinggiran para aktivis Islam politk di lembaga-lembaga negara dan kantor-kantor birokrasi, melainkan juga sikap dan langkah mereka yang relatif mengambil jarak dari negara. secara sosiologi sebenarnya ada keharusan intrinsik bagi para aktivis politik Islam untuk memainkan peran penting dalam proses pemerintahan dan pembuatan kebijakan di Indonesia. Hal ini semata-mata karena umat Islam adalah kelompok masyarakat terbesar di negara ini. Ketiga, seluruh pendekatan dan strategi di atas merupakan langkah-langkah yang harus diambil untuk memulihkan kembali harga diri dan citra para aktivis politik Islam, yang pada umumnya dipandang sebagai sasaran kecurigaan, bukan “orang-dalam” atau kelompok minoritas dalam proses-proses politik di Indonesia.
Dengan pertimbangan di atas, para pendukung aliran intelektual ini berharap bahwa pembaruan politik dan partisipasi birokratis dapat mengatasi hubungan yang tidak harmonis antara Islam dan negara. lebih jauh lagi, dengan memperkuat kedekatan politis dan ideologis tersebut, diharapkan bahwa ruang untuk berlangsungnya konfrontasi-konfrontasi yang tidak perlu-secara politis ataupun ideologis-perlahan-lahan semakin menyempit, jika tidak sepenuhnya dapat dihapuskan. Dalam konteks khusus inilah sebagaimana dicatat Ahmad Wahib, para pendukung aliran ini dapat dianggap sebagai ujung tombak politik bagi aliran pembaruan teologis/keagamaan.

Oleh: Agus Riswandi


[1] Lihat Munawir Sjadzali, Op,Cit. hlm, 10-15.
[2] Ibid, hlm, 16.
[3] Dikutip dalam Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Cita, hlm.15.
[4] Munawir Sjadzali, Op.cit., hlm, 21.
[5]Lihat Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Cita, hlm, 21.  
[6] Ibid.,hlm, 21-22.
[7] Dr.Ija Suntana, M.Ag.,Politik Hukum Islam,(Bandung: Pustaka Setia, 2014), hlm, 35-38.
[8] Ibid., hlm, 38-41.
[9]Ibid.,hlm, 41-43.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar