BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap negara memiliki konstitusi
dan hukum yang mengatur dan mengikat segenap rakyatnya. Namun pada
pelaksanaannya masih banyak terdapat kekeliruan yang terjadi. Banyaknya
kejahatan yang terjadi di dalam lingkungan sosial membuat hukum itu harus
berfungsi sebagaimana seharusnya. Terutama untuk kejahatan yang dilakukan oleh
individu terhadap individu lain ataupun
yang dilakukan individu terhadap publik yang menyebabkan kerugian,
bahkan bisa sampai menyebabkan kematian.
Di Indonesia sendiri, hukum yang
mengatur tentang kejahatan seperti itu telah terdapat dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana. Semua pelanggaran dan kejahatan telah diatur dalam KUHP. Dan
semua orang yang ada di Indonesia menjadi objek hukum tersebut. Namun tidak
semua orang dapat dijatuhi atau dikenakan hukuman apabila mereka melanggar.
Karena pada dasarnya ada beberapa hal dalam diri manusia yang menjadikannya
berhak dan wajib berlaku hukum baginya.
Dalam KUHP pun sudah diatur
mengenai orang yang berlaku hukum baginya, dan orang yang tidak berlaku hukum
baginya. Maka kejahatan yang dilakukan orang tersebut tidak akan dijatuhi
hukuman baginya. Ataupun ada faktor-faktor lain yang membuat orang tidak dapat
menyelesaikan kasus yang dialaminya karena terbentur masalah waktu pelaporan
dan penuntutan.
Dan itu semua sudah terdapat dalam
KUHP mengenai teknis pelaksanaan hukumnya.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang membuat gugurnya hak menuntut dan menjalankan pidana?
2.
Bagaimana kaitan hal-hal tersebut dengan kasus yang pernah terjadi di
Indonesia?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui hal-hal yang membuat gugurnya hak menuntut
dan menjalankan pidana sesuai KUHP.
Memahami bagaimana pelaksanaan hal-hal yang dapat
menggugurkan hak menuntut dan menjalankan pidana dikaitkan dengan kasus yang
pernah terjadi di Indonesia.
Bab II
Pembahasan
Alasan-alasan gugurnya hak menuntut dan menjalankan pidana dimuat dalam
Bab VIII Buku I KUHPidana. Alasan-alasan tersebut adalah:[1]
a.
Kraacht van gewijsde atau nebis in idem
b.
Matinya terdakwa/terpidana
c.
Lewat waktu
d.
Penyelesaian di luar pengadilan
A.
Kraacht van gewijsde atau
nebis in idem
Yang dimaksud dengan kraacht van gewijsde atau nebis in idem adalah orang
tidak dapat dituntut untuk kali kedua karena satu perbuatan yang telah
dilakukannya dan terhadap perbuatan tersebut telah dijatuhkan keputusan hakim
yang telah berkekuatan hukum tetap. Jonkers menyebut tiga macam keputusan hakim
yang memutuskan tentang perbuatan sendiri, yaitu:
1.
Penghukuman (veroordeling)
2.
Bebas dari segala dakwaan (vrijspraak)
3.
Lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechtsvervolging)
Apabila dibuat satu keputusan hakim seperti salah satu di atas, maka
disebut nebis in idem. Rasio asas ini ada dua buah, yaitu tiap perkara harus
diselesaikan secara definitif dan tujuan tiap-tiap peraturan hukum adalah
memberikan kepastian hukum sebesar-besarnya kepada individu dan masyarakat.
Oleh beberapa pengarang hukum pidana, diminta perhatian untuk pasal 76
KUHPidana agar menerima peninjauan kembali sebagai pengecualian tersendiri
kepada pasal ini.
Tentang kata “perbuatan” dalam
pasal 76 KUHPidana disebut tiga pendapat dalam buku karangan Van Hammel, yaitu:
1.
“Perbuatan” dalam arti peristiwa jahat yang telah terjadi
2.
“Perbuatan” dalam arti perbuatan yang menjadi pokok pendakwaan
B.
Matinya terdakwa/terpidana
Vos mengemukakan bahwa hal gugurnya hak menuntut dan menjalankan pidana
karena matinya terdakwa/terpidana sesuai sekali dengan pengertian “hukuman”
yang terdapat dalam hukum pidana positif. Bukankah menurut KUHPidana hukuman
itu ditujukan kepada diri pembuat? Pandangan ini sesuai dengan kematian
mencegah dimulainya atau memberhentikan berjalannya tuntutan pidana karena
tiada lagi objeknya maka hak menuntut hukuman tidak dapat direalisasikan. Pompe
berpendapat dalam hal terdakwa meninggal dunia pada waktu sebelum ada keputusan
akhir dari hakim, maka hakim akan memutuskan bahwa tuntutan pidana dari
Penuntut Umum tidak dapat diterima karena tidak ada lagi alasan untuk
mengadakan tuntutan pidana itu.[3]
C.
Lewat waktu
Harus dibedakan antara lewat waktu hak menuntut dan menjalankan pidana.
Sebagai alasan-alasan pembuat KUHPidana menerima lembaga lewat waktu itu
dapatlah dikemukakan dari Vos sebagai berikut:
1.
Sesudah lewatnya beberapa waktu –apalagi waktu yang telah lewat itu
panjang- maka ingatan orang tentang peristiwa tersebut telah berkurang, bahkan
tidak jarang hampir hilang sehingga menurut baik teori pembalasan maupun teori
prevensi umum dan prevensi khusus tidak ada gunanya lagi untuk menuntut
hukuman.
2.
Kepada individu harus diberi kepastian hukum dan jaminan atas keamanannya
menurut hukum, terutama apabila individu telah dipaksa tinggal lama di luar
negeri dan dengan demikian untuk sementara waktu merasa kehilangan atau
dikuranginya kemerdekaannya.
3.
Untuk berhasilnya tuntutan pidana maka sukarlah mendapatkan bukti sesudah
lewatnya waktu yang agak panjang.
Lamanya jangka lewat (verjaringstermijn) dihubungkan dengan beratnya
hukuman yang diancamkan terhadap delik. Disamping itu, perlu dikemukakan pula
bahwa jangka lewat waktunya hukuman adalah lebih lama dari pada jangka lewat
waktunya tuntutan pidana.. JONKERS menganggap hal ini lebih logis, karena dalam
hal lewat waktu hukuman, acara pidana yang bersangkutan telah selesai sama
sekali. Jangka – jangka lewat waktunya tuntutan
pidana diatur dalam pasal 78 KUHP ayat (1) menentukan bahwa : Hak menuntut
hukuman gugur (tidak dapat dijalankan lagi karena lewat waktunya)
1.
Sesudah lewat satu tahun bagi segala pelanggaran dan bagi kejahatan yang
dilakukan dengan mempergunakan percetakan
2.
Sesudah lewat enam tahun, bagi kejahatan yang terancam hukuman denda,
kurungan atau penjara yang tidak lebih dari tiga tahun
3.
Sesudah lewat dua belas tahun bagi segala kejahatan yang terancam hukuman
penjara sementara yang lebih dari tiga tahun
4.
Sudah lewat lima belas tahun bagi semua kejahatan yang terancam dihukum
mati atau penjara seumur hidup[4]
Mempelajari lamanya jangka – jangka lewat waktunya tuntutan pidana yang
tersebut dalam pasal 78 ayat (1) KUHP ini berhubung dengan jenis delik yang
dilakukan dan yang hendak di tuntut, maka dapatlah dicatat satu zonderlinge
constructive (konstruksi yang ganjil), yaitu jangka lewat waktunya tuntutan
pidana karena penghinaan yang ditulis atas kertas adalah lebih pendek dari pada
jangka lewat waktunya tuntutan karena penghinaan yang diucapkan secara lisan
sedangkan, sebaliknya, satu penghinaan yang diucapkan secara lisan lebih cepat
dilupa dari pada satu penghinaan yang ditulis di atas kertas.
Waktu adalah beratnya hukuman maksimum yang dapat ditetapkan atas
peristiwa pidana in concreto, sehingga
alasan – alasan yang memperberat atau memperingan hukuman, baik yang obyektif
maupun yang subyektif, dapat diperhitungkan dalam penetapan lamanya jangka
lewat waktu.
Ayat 2 dari pasal 78 KUHP dibuat untuk pembuat muda (jeugdige dader) yang
umumnya masih belum delapan belas tahun : Bagi orang yang sebelum melakukan
perbuatan itu umurnya belum cukup delapan belas tahun, maka tempo gugur waktu
yang tersebut diatas dikurangi sehingga jadi sepertiganya (kursif dari saja).
JONKERS mengemukakan dua hal lagi yang patut mendapat perhatian, Pertama
karena redaksi pasal 78 KUHP disusun secara umum (algemene der redactie) maka
yang menentukan lamanya jangka lewat udige mishandeling slechts maximal twee
jaren is bedreigd. Kedua, berhubung dengan ketentuan dalam pasal 86 KUHP maka
percobaan (poging) atau membantu (medeplichttigheid) melakukan kejahatan
diperhitungkan jangka lewat waktu yang sama dengan jangka lewat waktu bagi
kejahatan itu. Jangka – jangka lewat waktunya hukuman diatur dalam pasal 84 KUHP, yang berbunyi:
1)
Hak untuk menjalankan hukuman gugur karena lalu waktunya (daluwarsa).
2)
Tempo gugurnya itu, untuk pelanggaran sesudah dua tahun, untuk kejahatan
yang dilakukan dengan mempergunakan percetakan sesudah lima tahun, dan untuk
kejahatan yang lain sesudah sepertiganya lebih dari tempo gugurnya penuntutan
hak menuntut hukuman
3)
Tempo gugurnya itu sekali – kali tidak boleh kurang dari lamanya hukuman
mati tidak dapat gugur karena lewat waktunya[5]
Jika membandingkan jangka – jangka lewat waktunya hukuman ini dengan
jangka – jangka lewat waktunya tuntutan pidana yang telah dibahas terlebih
dahulu, maka dapat dicatat bahwa jangka – jangka lewat waktunya hukuman adalah
lebih panjang dari pada jangka – jangka lewat waktunya tuntutan pidana. VOS
mengatakan bahwa hal ini sudah logis, karena :
1)
Dalam hal lewat waktunya hukuman persoalan pembuktian tidak lagi memang
peranan,
2)
Dibandingkan dengan lewat waktunya tuntutan pidana, maka lewat waktunya
hukuman lebih banyak bagi merupakan satu premi atas melarikan diri
Selanjutnya VOS mengenai ketentuan bahwa Tempo gugurnya itu sekali – kali
tidak boleh kurang dari lamanya hukuman yang telah dijatuhkan oleh VOS diberi
tekanan kata-kata telah dijatuhkan (opgelegde straf). Dengan mengingat Hukum
Penitensier di Negeri Belanda, ketentuan itu penting karena :
1.
Dengan demikian hukuman penjara seumur hidup tidak dapat berlewat waktu
(di Negeri Belanda tiada lagi hukuman mati dan hukuman penjara seumur hidup
menjadi hukuman yang terberat bagi hukum penitensier di Negeri Belanda),
2.
Ketentuan itu penting bagi hukuman tambahan yang memerintahkan penempatan
dalam sebuah tempat latihan kerja pemerintah (plaatsing in een
Rijkswerkinrichting).
Yang merupakan satu persoalan adalah mulai saat manakah jangka lewat waktu
mulai berjalan? Mengenai lewat waktunya tuntutan pidana pasal 79 KUHP member
jawaban atas pertanyaan itu. Sebagai saat mulai berjalannya jangka lewat
tuntuan pidana ditunjuk. Dalam teks pasal 79 KUHP dibuka dengan kata – kata :
Tempo gugurnya penuntutan dihitung dimulai dari keesokan harinya sesudah
perbuatan itu dilakukan (De termijn van verjaring vangst aan op den den dag na
dien wasrop het feit is gepleegd).
Dalam tiga hal pembuat KUHP menentukan saat istimewa mulai berjalannya
lewat waktunya tuntuan pidana yaitu :
a.
Dalam hal memalsu atau meniru uang (logam), uang kertas atau kertas bank
maka jangka lewat waktunya tuntutan pidana mulai berjalan pada hari sesudah
hari uang yang dipalsu atau ditiru itu, dipakai. Yang menjadi ukuran adalah
saat uang tersebut dipakai. Karena dalam hal andaikata satu ukuran semacam ini
tidak ditentukan maka adalah kemungkinan bahwa orang yang telah berhasil
menyimpan uang tersebut beberapa tahun, dengan maksud menunggu lewat waktunya
tuntutan pidana, kemudian dapat memakainya tanpa kemungkinan bahwa ia dapat
dihukum. Perlu diperhatikan salah satu unsure meniru atau memalsu uang, atau
uang kertas atau uang kertas bank itu adalah meniru atau memalsu dilakukan
dengan maksud akan mengedarkan serupa yang asli dan yang tiada dipalsukan uang
kertas atau uang kertas bank tersebut (pasal 244 KUHP)
b.
Dalam hal salah satun kejahatan yang terancantum dalam pasal-pasal 328
KUHP (menculik orang/mensenroof), 329 KUHP (dengan sengaja mengangkutkan
seseorang yang telah mengikatkan diri akan bekerja disuatu daerah ke sesuatu
daerah lain), 330 KUHP (dengan sengaja memindahkan seseorang yang belum cukup
umur dari kekuasaan sah yang telah ditempatkan atas orang itu), dan 333 KUHP
(merampas kebebasan orang / vriheiklsberoving) maka jangka waktu lewat waktunya
tuntutan pidana mulai berjalan pada hari sesudah hari dibebaskannya atau
meninggal dunianya korban kejahatan tersebut.
Bahwa hak menuntut pidana dalam hal percobaan meniru atau
memalsu uang, uang kertas atau uang kertas bank, atau sesudah meniru atau
memalsu itu selesai maka uang yang ditiru atau dipalsu itu tidak dipakai, tidak
dapat gugur.
c.
Dalam hal pelanggaran peraturan-peraturan Pencatatan sipil pasal 556-558 a
KUHP maka jangka lewat waktunya tuntutan pidana mulai berjalan pada hari
sesudah hari daftar-daftar yang bersangkutan telah diserahkan kepada panitera
pengadilan yang bersangkutan. Saat istimewa mulai berjalan ini ditentukan
dengan memperhitungkan bahwa Penuntut umum, yang diberi tugas mengawasi
dibuatnya daftar-daftar tersebut secara tepat, baru dapat tersebut diserahkan
kepada panitera pengadilan.[6]
Saat berjalannya lewat waktunya hukuman ditentukan dalam pasal 85 KUHP : Tempo gugurnya hak
menjalankan hukuman itu mulai pada keesokan hari seolah waktu keputusan hakim
dapat dijalankan (ayat 1). Jenis keputusan hakim ini adalah keputusan hakim
yang terkenal dengan nama verstek vonnis dapat dieksekusi tanpa sebelumnya
telah inkracht van gewijsde.
Pasal 80 KUHP mengatur pencegahan jangka lewat waktunya
tuntutan pidana : Tiap-tiap perbuatan penuntutan mencegah daluwarsa (lewat
waktu) asal saja perbuatan itu diketahui oleh yang dituntut atau diberitahukan
kepadanya menurut cara yang dituntut atau diberitahukan kepadanya menurut cara
yang ditentukan dalam undang-undang umum ayat 1.
Pasal 81 KUHP mengatur pertangguhan jangka lewat waktunya
tuntutan pidana: Mempertangguhkan penuntutan untuk sementara karena ada
perselisihan tentang hukum yang harus diputuskan lebih dahulu oleh satu
mahkamah lain, mempertangguhkan gugurnya penuntutan untuk sementara.
Yang dimaksud dengan question
prjudicialle au jugement ini adalah satu perselisihan menurut hukum perdata ini
penting sekali bagi acara pidana yang sedang berjalan. Pencegahan jangka lewat
waktunya hak untuk mengeksekusi hukuman dapat terjadi dalam dua hal, yaitu :
1.
Yang terhukum melarikan diri. Pada hari sesudah hari yang terhukum
melarikan diri mulai berjalan satu jangka lewat waktu yang baru (pasal 85 ayat
2 kalimat pertama KUHP)
2.
Dicabutnya pelepasan bersyarat (herroeping ener voorwaardelijke
invrijheidstelling). Pada hari sesudah hari dicabutnya pelepasan bersyarat,
mulai berjalan satu jangka lewat
Waktu yang baru (pasal 85 ayat kalimat kedua KUHP), pertengahan jangka
lewat waktunya hak untuk mengeksekusi hukuman dapat terjadi dalam dua hal pula,
yaitu :
a)
Selama eksekusi hukuman dipertangguhkan menurut peraturan-peraturan
perundang-undangan yang berlaku, seperti dalam grasi, peninjauan kembali
(herziening).
b)
Selama yang terhukum ada tahanan, biarpun ia ditahan itu disebabkan oleh
segala sesuatu penghukuman lain. Oleh
VOS dikemukakan bahwa dipertangguhkan (menurut peraturan-peraturan
perundang-undangan yang berlaku) yang disebut dalam ada diatas ini, harus
diberi pengertian luas sehingga juga meliputi ditunda (opgeschort).[7]
D.
Penyelesaian diluar pengadilan
Pasal 82 ayat 1 KUHP menentukan bahwa Hak menuntut hukuman karena
pelanggaran yang diatasnya tidak ditentukan hukuman pokok lain dari pada denda,
tiada berlaku lagi jika maksimum denda dibayar dengan kemauan sendiri dan
demikian juga dibayar ongkos perkara, kalau penuntutan telah dilakukan, dengan
izin pejabat (ambtnaar) yang ditunjuk dalam undang-undang umum, dalam tempo
yang ditetapkannya. Ketentuan KUHP ini memuat lembaga hukum pidana yang
terkenal dengan nama afkloop yaitu penebusan
tuntutan pidana karena pelanggaran (overtrading).[8]
Grasi, abolisi, amnesti,
abolisi, dan rehabilitasi Pasal 14 UUD 1945 menentukan
bahwa Presiden member grasi,amnesti,abolisi, dan rehabilitasi. Grasi adalah
satu wewenang yang telah tradisionil dalam
tangan kepala Negara itu tetapi sifatnya sekarang berbeda dari sifatnya semula.
Sebagai alasan-alasan diberinya grasi dapat disebut antara lain :
1.
Kepentingan keluarga dari yang terhukum
2.
Yang terhukum pernah sangat berjasa bagi masyarakat
3.
Yang terhukum menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan
4.
Yang terhukum berkelakuan baik dipenjara dan memperlihatkan keinsyafan
atas kesalahannya.
Apabila Kepala Negara berpendapat bahwa keputusan hakim itu terlalu keras,
maka kepala Negara hanya dapat meringankan pelaksanaan
saja dari keputusan hakim itu dengan :
a)
Tidak mengeksekusinya seluruhnya
b)
Hanya mengeksekusi sebagian saja
c)
Mengadakan komutasi, yaitu jenis hukuman diganti misalnya, hukuman penjara diganti dengan hukuman kurungan, hukuman
kurungan diganti dengan hukuman denda, hukuman mati diganti dengan hukuman
penjara untuk seumur hidup[9]
Azas-azas utama Undang-undang Grasi adalah :
a)
Atas hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan kehakiman yang tidak
dapat diubah lagi, orang yang dihukum atau pihak lain dapat memajukan
permohonan grasi kepada Presiden Pasal 1. Jadi atas tiap-tiap hukuman dan oleh
tiap-tiap yang terhukum dapat diajukan permohonan grasi kepada Presiden.
b)
Keputusan hakim telah tidak dapat diubah lagi yaitu telah Inkracht van
gewijsde (tidak dapat dibantah lagi dengan memakai alat-alat hukum biasa )
c)
Bukan hanya terhukum saja yang dapat memohon grasi, tetapi juga pihak lain
yaitu pihak ketiga, asal saja ternyata bahwa orang yang dihukum itu setuju
dengan permohonan grasi yang diajukan oleh pihak ketiga ini (pasal 6 ayat (4)).
Syarat tersebut terakhir ini tidak perlu dipenuhi apabila permohonan grasi itu
diajukan karena jabatan (ambtshalve ingediend gratievoorstel). Terhadap asas
utama ini, yaitu persetujuan dari yang terhukum, ada perkecualian dalam hal
hukuman mati. Dalam hukuman mati pihak ketiga, yang mau mengajukan permohonan
grasi, tidak memerlukan persetujuan dari yang terhukum (ketentuan yang sama).
d)
Terkecuali permohonan grasi atas hukuman denda (pasal 4 ayat 1), maka tiap
–tiap permohonan grasi menunda (opschorten)
eksekusi (pelaksanaan) hukuman atau mempertangguhkannya
apabila telah dimulai.
e)
Permohonan grasi harus dimajukan kepada Panitera pengadilan yang memutus
pada tingkat pertama, atau jika permohonan bertempat tinggal diluar daerah
hukum pengadilan yang berkepentingan atau jika Panitera pengadilan tidak ada
tempatnya, maka pemohon dapat memajukan permohonannya kepada pembesar daerahnya
Pasal 6 ayat 1.
f)
Grasi tidak akan diberi apabila sebelumnya tidak didengar pertimbangan
dari beberapa instansi yang penting dan yang bersangkutan.[10]
Amnesti dan Abolisi diatur dalam Undang –
undang Darurat tentang Amnesti dan Abolisi. Yang biasanya disebut abolisi
adalah meniadakan wewenang (dari penuntut umum) untuk menuntut hukuman. Amnesti
adalah satu wewenang yang lebih luas lagi, yaitu amnesti tidak hanya meniadakan
wewenang untuk menuntut hukuman tetapi pula wewenang untuk mengeksekusi
hukuman, baik dalam hal eksekusi itu belum dimuali maupun dalam hal eksekusi
itu dimulai. Amnesti dan abolisi diberi oleh Presiden atas kepentingan Negara.[11]
Pemberian Amnesti dan abolisi itu diputuskan oleh Presiden sesudah
mendapat nasehat Mahkamah Agung.(pasal 1). Mengenai rehabilitasi, yaitu
mengembalikan yang terhukum pada kedudukan sosial yang semula, belum ada
peraturan, terkecuali peraturan mengenai rehabilitasi bekas pengikut
PRRI/Permesta dan gerombolan yang lain itu.[12]
BAB III
ANALISA KASUS
-
Fuad Muhammad Syafruddin
Udin
Fuad Muhammad
Syafruddin yang akrab dipanggil Udin (lahir di Bantul, Yogyakarta, 18 Februari
1964 – meninggal di Yogyakarta, 16 Agustus 1996 pada umur 32 tahun) adalah
wartawan Harian Bernas, Yogyakarta, yang dianiaya oleh orang tidak dikenal, dan
kemudian meninggal dunia. Sebelum kejadian ini, Udin kerap menulis artikel
kritis tentang kebijakan pemerintah Orde Baru dan militer. Ia menjadi wartawan
di Harian Bernas sejak 1986.
Selasa malam,
pukul 23.30 WIB, 13 Agustus 1996, ia dianiaya pria tak dikenal di depan rumah
kontrakannya, di dusun Gelangan Samalo, Jalan Parangtritis Km 13 Yogyakarta.
Udin, yang sejak malam penganiayaan itu, terus berada dalam keadaannya koma dan
dirawat di RS Bethesda, Yogyakarta. Esok paginya, Udin menjalani operasi otak
di rumah sakit tersebut. Namun, dikarenakan parahnya sakit yang diderita akibat
pukulan batang besi di bagian kepala itu, akhirnya Udin meninggal dunia pada
Jumat, 16 Agustus 1996, pukul 16.50 WIB.
Sejak Udin
mengalami koma hingga rentang waktu yang cukup panjang, hampir seluruh media
massa meliput peristiwa yang menimpa Udin.
Kasus Udin
menjadi ramai ketika Kanit Reserse Umum Polres Bantul Edy Wuryanto, saat itu
berpangkat Sersan Kepala (Serka), di Yogyakarta, dilaporkan telah 'membuang
barang bukti', yakni melarung sampel darah dan juga mengambil buku catatan
Udin, dengan dalih melakukan penyelidikan dan penyidikan.
Edy Wuryanto
kemudian hanya dimutasikan dari tempat dinasnya di Yogyakarta ke Mabes Polri di
Jakarta.
Tri Sumaryani
Ada pihak-pihak
tertentu yang tampaknya mencoba mengalihkan kasus ini. Seorang perempuan, Tri
Sumaryani, mengaku ditawari sejumlah uang sebagai imbalan membuat pengakuan
bahwa Udin melakukan hubungan gelap dengannya dan kemudian dibunuh oleh
suaminya.
Iwik
Dwi Sumaji
alias Iwik, seorang sopir perusahaan iklan, juga mengaku dikorbankan oleh
polisi untuk membuat pengakuan bahwa ia telah membunuh Udin. Iwik dipaksa
meminum bir berbotol-botol dan kemudian ditawari uang, pekerjaan, dan seorang
pelacur. Namun di pengadilan, pada 5 Agustus 1997 Iwik mengatakan, "Saya
telah dikorbankan untuk bisnis politik dan melindungi mafia politik."
Kronologi kejadian
Berikut ini
kronologi perkembangan kasus Udin sejak rumahnya diamat-amati, hingga
penyiksaan, meninggal dunia, dan proses peradilan Iwik, seperti yang
diungkapkan oleh Harian Bernas [1]
12 Agustus
1996: Kediaman Udin sekitar pukul 22.00 WIB telah diawasi oleh dua orang tidak
dikenal dengan kendaraan sepeda motor. Satu di antaranya sempat mendekat ke
rumah Udin dan mengamati keadaan dalam rumah melalui lubang kunci pintu depan
rumah. Salah satu tetangga Udin yang berada di warung bakmi yakni Ny Ponikem
memperhatikan tingkah aneh lelaki tersebut. Ia kemudian mencoba mendekat.
Tetapi saat ditanya dan dibantu membangunkan pemilik rumah, lelaki tersebut
cepat-cepat pergi. Sehingga Udin yang terlanjur keluar rumah tidak berhasil
menjumpai lelaki mencurigakan yang menurut penuturan saksi ini ingin
menemuinya.
13 Agustus:
Selasa malam sekitar pukul 23.30 WIB, Udin dianiaya lelaki tak dikenal
dirumahnya Jalan Parangtritis Km 13,5 Bantul hingga luka parah dan tak sadarkan
diri. Ia kemudian dibawa ke RSU Je-bugan Bantul, karena tak mampu, Udin terus
dilarikan ke RS Bethesda Yogyakarta. Peristiwa itu didahului dengan beberapa
kejadian tidak biasa. Sebelumnya, sekitar pukul 21.00 WIB, di kantor harian
BERNAS, Udin menemui seorang tamu yang sebelumnya ingin menemui Joko Mulyono
(wartawan BERNAS untuk liputan Bantul). Lelaki tersebut mengaku sebagai Kaur
Pemerintahan Desa Wirokerten Bantul dan kedatangannya untuk urusan tanah.
Tetapi setelah pertemuan singkat itu, Udin terlihat gelisah di kantor. Pukul
21.30 WIB, selesai menulis berita, Udin bergegas pulang ke Bantul dengan Honda
Tiger 2000 warna merah hati. Belakangan orang yang ditemui Udin tersebut adalah
Hatta Sunanto (anggota DPRD Bantul dan adik Sukrisno, Kaur Pemerintahan Desa
Wirokerten Bantul), serta ditemani seorang calo tanah bernama Suwandi.
14 Agustus:
Rabu pukul 08.00 WIB di RS Bethesda Yogyakarta, Udin menjalani operasi karena
terjadi pendarahan hebat di kepalanya akibat penganiayaan hebat yang dialami
Udin malam sebelumnya.
16 Agustus:
Jumat pukul 16.58 WIB, tim medis RS Bethesda menyatakan Udin meninggal dunia
setelah tiga hari berjuang melawan maut tanpa pernah sadarkan diri. Malamnya,
sekitar pukul 23.30 WIB, jenazah Udin disemayamkan sebentar di kantor Harian
BERNAS untuk mendapatkan penghormatan terakhir dari rekan-rekannya.
17 Agustus:
Jenazah Udin dilepas dan dimakamkan di tempat pemakaman umum Trirenggo Bantul
tepat pada saat bangsa Indonesia merayakan peringatan hari ulang tahun ke-51
kemerdekaan Republik Indonesia.
Berbagai pihak
termasuk di antaranya Sri Sultan Hamengkubuwono X, Pangdam IV Diponegoro,
Kapolda Jateng-DIY dan sejumlah pejabat pemerintahan meminta agar kasus Udin
diusut tuntas. Dan siapapun yang terlibat dalam kasus ini harus diproses secara
hukum.
19 Agustus:
Malam sekitar pukul 20.00 WIB, Serma Edy Wuryanto ditemani dua anggota Polres
Bantul berangkat dari Mapolres Bantul ke kediaman orangtua Udin di Gedongan
Trirenggo Bantul. Mereka bermaksud meminjam sisa darah operasi Udin yang tidak
jadi ikut dikubur bersama jenazah Udin. Serma Edy Wuryanto mengatakan darah itu
akan dipakai untuk kepentingan pengusutan dengan cara supranatural (akan
dilarung ke laut selatan). Siang sebelumnya, di tengah-tengah pawai pembangunan
dalam rangka peringatan HUT ke-51 Kemerdekaan RI di kabupaten Bantul, sejumlah
warga Bantul turut menggelar pawai duka cita sambil menggelar spanduk dan
mengarak foto Udin.
23 Agustus:
Dalam sebuah konperensi pers akbar di kantor Pemda Bantul, Bupati Bantul
Kolonel Art Sri Roso Sudarmo menyatakan diri tidak terlibat dalam kasus ini.
Sementara Kapolres Bantul Letkol Pol Ade Subardan mengatakan tidak ada dalang
dalam kasus Udin meski tersangka belum tertangkap. Ia juga sesumbar akan
menangkap pelaku pembunuh Udin dalam waktu tiga hari setelah konferensi pers
tersebut berlangung sambil mengatakan biar Bupati Bantul tidur nyenyak.
26 Agustus:
Sekitar pukul 09.00 WIB, Tempat Kejadian Perkara (TKP) di rumah Udin baru
diberi police line setelah 13 hari kejadian pembunuhan Udin berlalu. Di
Jakarta, Kepala Staf Sosial Politik (Kassospol) ABRI Letjen TNI Syarwan Hamid
menegaskan, oknum ABRI yang terlibat dalam kasus Udin akan ditindak tegas.
27 Agustus:
Sekitar pukul 10.30 WIB, police line di TKP rumah Udin dicopot kembali oleh
polisi. Dengan demikian police line ini hanya berumur kurang lebih 25 jam
setelah dipasang untuk kepentingan penyidikan.
2 September:
Kapolda Jateng-DIY Mayjen Pol Harimas AS menyatakan pihak kepolisian sudah
memiliki identitas lengkap pelaku kasus pembunuhan Udin.
3 September:
Mantan Mendagri Jenderal TNI (purn) Rudini mengatakan, sebaiknya Gubernur DIY
Sri Sultan Hamengkubuwono X memanggil dan meminta keterangan Bupati Bantul Sri
Roso Sudarmo.
4 September:
Marsiyem secara resmi menjadi klien Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta. Di kantor
LBH Yogyakarta, Marsiyem mengatakan selama ini dirinya dipojokkan polisi agar
mengakui adanya masalah perselingkuhan dalam keluarganya.
5 September:
Seorang seniman lukis berhasil membuat sketsa wajah pembunuh Udin dari
keterangan Marsiyem. Sketsa wajah itu menurut Marsiyem, 90 persen mendekati
wajah asli sang pembunuh.
7 September:
Menurut Sekwilda DIY Drs Suprastowo, Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo sudah
menghadap Gubernur DIY dan melaporkan kasus Udin. Tapi dalam laporannya tidak
menyinggung kematian Udin berkaitan dengan profesi atau tulisan-tulisannya.
9 September:
Keluarga Udin mengkhawatirkan latar belakang kasus pembunuhan Udin akan
dibelokkan ke masalah pribadi. Kapolwil DIY Kolonel Pol Darsono mengatakan
polisi tetap lurus dalam mengadakan penyelidikan.
13 September:
Ketua DPC PPP Bantul dipanggil Komandan Kodim Bantul dan dicecar dengan
pertanyaan seputar keterlibatan DPC PPP Bantul dalam upacara pemakaman Udin.
Dandim Bantul mengatakan acara pemakaman Udin sudah dipolitisir.
23 September:
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X mengizinkan pemeriksaan terhadap
Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo. Di Jakarta, anggota Komisi II DPR RI dari FPP
Ali Hardi Kiai Demak menanyakan penanganan kasus Udin kepada Mendagri Yogi S.
Memet dalam rapat kerja DPR RI di Komisi II.
24 September:
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Yogyakarta mengirim surat ke PWI
Pusat disertai lampiran temuan Tim Pencari Fakta (TPF) PWI Yogyakarta soal
kasus Udin. Pengiriman berkas laporan TPF PWI Yogyakarta tersebut dimaksudkan
agar ditindak-lanjuti pengusutannya oleh Komnas HAM dan Mabes Polri.
25 September:
Kapolwil DIY Kolonel Pol Darsono menegaskan siapapun yang terlibat dalam kasus
pembunuhan Udin akan digebuk tanpa pandang bulu.
27 September:
Kapolri Letjen Pol Dibyo Widodo di Jakarta mengatakan kasus pembunuhan Udin
harus dibongkar. Dan ia menegaskan tidak akan ada pembelokan atas latar
belakang terbunuhnya Udin ke masalah keluarga atau perselingkuhan.
21 Oktober: Dwi
Sumaji alias Iwik, warga Kavling Panasan Triharjo Sleman dan sopir di CV Dymas
Advertizing Sleman, diculik di perempatan Beran Sleman, kemudian dibawa ke
Parangtritis. Di Hotel Queen of The South Parangtritis. Iwik disuruh mengaku
sebagai pembunuh Udin oleh Franki (Serma Pol Edy Wuryanto) setelah sebelumnya
di losmen Agung Parangtritis, Iwik dicekoki minuman keras hingga mabuk,
disediakan perempuan, dan diberi janji-janji muluk soal pekerjaan, uang, dan
jaminan hidup keluarganya. Sebelumnya ia dijebak oleh Franki dengan alasan
diajak bisnis billboard.
24 Oktober:
Pada tanggal ini (ketika masuk ke pemeriksaan tahap ke lima), Dwi Sumaji alias
Iwik mencabut seluruh pengakuan dalam pemeriksaan tanggal 21, 22, 23, dan 24
Oktober 1996 (dalam 4 kali pemeriksaan sebelumnya). Pencabutan pengakuan
sebagai pelaku pembunuh Udin itu ia lakukan karena merasa dirinya hanya korban
rekayasa. Dan pengakuan yang dulu itu karena ia berada di bawah ancaman,
tekanan dan paksaan Franki alias Serma Pol Edy Wuryanto. 26 Oktober 1996. Ny
Sunarti (istri Iwik) mengadu ke Komnas HAM dan Kapolri atas penangkapan
suaminya.
5 November:
Komnas HAM membuat kesimpulan penting -- setelah mengadakan investigasi
lapangan -- yang menyatakan bahwa dalam proses penangkapan Iwik telah terjadi
pelanggaran hak asasi manusia, sebab dilakukan dengan cara-cara yang sangat
tidak etis. Penyitaan barang bukti milik Iwik menurut Komnas HAM juga dilakukan
secara spekulatif.
6 November:
Kapolda DIY Kolonel Pol Mulyono Sulaiman membenarkan masalah peminjaman sisa
darah Udin oleh Serma Pol Edy Wuryanto dan beberapa aparat Polres Bantul.
Tetapi setelah sebagian dilarung di laut selatan, sisanya sudah dibuang di
tempat sampah Mapolres Bantul, dan keberadaannya tak diketahui lagi.
20 November:
Polda DIY menyerahkan berkas acara pemeriksaan (BAP) Iwik ke Kejaksaan Tinggi
Yogyakarta. Berbagai kalangan mengkritik penyidik terlalu memaksakan
kehendaknya untuk menyerahkan BAP Iwik yang tak sempurna ini.
25 November:
Kejati DIY menyatakan BAP Iwik yang diserahkan Polda DIY tidak lengkap, dan
meminta penyidik menyempurnakannya. (Selanjutnya BAP ini bolak-balik Polda
DIY-Kejati DIY sebanyak 5 kali).
29 November:
(Malam) - Rekonstruksi paksa yang menjadikan Iwik sebagai tersangka batal
dilaksanakan. Alasannya waktu itu penonton terlalu banyak.
9 Desember:
Polda DIY menggelar rekonstruksi kasus pembunuhan Udin di TKP dengan
menghadirkan paksa Iwik. Tetapi Iwik berontak dan histeris saat ia dipaksa
penyidik Polda DIY untuk memerankan diri sebagai pelaku pembunuhan Udin.
18 Desember:
Iwik dilepas dari tahanan Polda DIY dan penahanannya ditangguhkan, mengingat
masa penahannya telah habis dan pe meriksaan atas dirinya dianggap selesai.
Status Iwik masih tetap sebagai tersangka.
31 Desember:
Marsiyem secara resmi mendaftarkan gugatan kasus pelarungan darah Udin ke PN
Bantul. Gugatan ini diajukan Marsiyem mengingat terjadi kekisruhan atas nasib
sisa darah Udin yang pernah di pinjam oleh Serma Pol Edy Wuryanto. Dalam kasus
ini, Marsiyem didampingi kuasa hukum gabungan dari LBH Yogyakarta dan LPH Yogyakarta.
Pihak yang digugat, tergugat I adalah Kapolri cq Kapolda DIY cq Kapolres
Bantul. Sedang tergugat II adalah Serma Pol Edy Wuryanto.
22 Januari
1997: Kasus gugatan kasus pelarungan darah Udin mulai disidangkan di Pengadilan
Negeri Bantul. Nilai gugatan seluruhnya adalah Rp 105.890.240. Dalam perkara
ini, tergugat diwakili kuasa hukumya dari Diskum Polda DIY menolak upaya
perdamaian yang ditawarkan Majelis Hakim. Sementara Hakim Sahlan Said SH yang
semula diplot untuk memeriksa perkara ini ternyata kemudian mengundurkan diri.
10 Maret: Serma
Pol Edy Wuryanto oleh Majelis Hakim ditolak sebagai saksi. Alasannya, Serma Edy
Wuryanto adalah tergugat II dan keterangannya hanya akan dijadikan pelengkap
kalau keterangan saksi lain dinilai kurang.
26 Maret: Pakar
pidana dari Universitas Airlangga Prof Dr JE Sahettapy SH menilai pengusutan
kasus Udin banyak direkayasa. Ia juga menilai motif yang selama ini diyakini
polisi yaitu motif perselingkuhan terlalu dicari-cari.
15 April: BAP
Iwik untuk yang terakhir kalinya diserahkan penyidik Polda DIY ke Kejati DIY.
Pihak Kejati DIY menyatakan menerima BAP Iwik. Iwik berstatus tahanan
kejaksaan.
21 April:
Kepala Kejaksaan Tinggi DIY mengabulkan permohonan pe-nangguhan status
penahanan Iwik. Iwik berstatus tahanan luar.
24 April:
Majelis Hakim dalam perkara gugatan darah Udin memutuskan mengabulkan sebagian
gugatan Marsiyem. Serma Pol Edy Wuryanto dinyatakan bersalah telah melakukan
tindakan melawan hukum. Sedangkan keterkaitan atasan Serma Edy Wuryanto
dikesampingkan oleh hakim, dengan alasan tindakan Serma Edy Wuryanto adalah
tindakan yang bersifat pribadi dan bukan atas perintah atasan yang bersangkutan.
20 Mei: Kejati
DIY menyerahkan BAP Iwik ke Kejaksaan Negeri Bantul. Iwik masih tetap menikmati
penangguhan penahanan. Nasib Iwik berada di tangan Kejaksaan Negeri Bantul yang
akan menyusun berkas perkara dan dakwaannya.
15 Juli: Berkas
perkara pemeriksaan (BAP) Iwik dilimpahkan ke PN Bantul. Tanggungjawab proses
hukum Iwik sepenuhnya berrada di tangan Pengadilan Negeri Bantul.
23 Juli:
Jauh-jauh hari, Kajati DIY Asrief Adam SH menyatakan Iwik bisa dituntut bebas
apabila bukti yang terungkap di persidangan memberi kesimpulan Iwik tak
bersalah.
29 Juli: Iwik
mulai disidangkan dengan acara pemeriksaan terdakwa dan pembacaan surat
dakwaan. Dakwaan primair, Iwik didakwa melakukan pembunuhan berencana terhadap
Udin dengan motif perselingkuhan. Iwik diancam dengan hukuman mati.
5 Agustus: Iwik
dan penasehat hukumnya membacakan eksepsi. Dalam eksepsinya, Iwik mengungkapkan
dirinya hanya korban rekayasa orang bernama Franki alias Serma Pol Edy Wuryanto
(Kanitserse Polres Bantul) untuk kepentingan bisnis politik dan melindungi
Bupati Bantul.
19 Agustus:
Eksepsi terdakwa dan penasehat hukumnya ditolak Majelis Hakim. Sidang
dilanjutkan dengan pemeriksaan pokok perkara.
2 September:
Marsiyem, saksi kunci dalam kasus pembunuhan Udin ini, dengan histeris
menyatakan bahwa pelaku pembunuh Udin bukan Dwi Sumaji alias Iwik.
22 September:
Saksi Sunarti (istri Iwik) menerangkan bahwa Iwik pada malam kejadian
pembunuhan Udin tidur bersama dirinya di rumah. Sepulang kerja, Iwik tidak
pernah pergi kemana-mana. Alibi ini didukung tetangga Iwik (Heri Karyono dan
Gunarso Wibowo) yang mengatakan bertemu Iwik di teras rumah Iwik, tidak
berselang lama dengan terjadinya penganiayaan Udin di Bantul.
2 Oktober:
Sidang mulai diteror oleh pendukung saksi Diharjo Purboko. Saksi ini memberikan
pernyataan palsu di bawah sumpah sebagai sarjana hukum, padahal fakta
menunjukkan ia adalah jebolan sebuah perguruan tinggi. Ia juga mengaku sebagai
bos yang menemui Iwik di Hotel Queen of the South tanggal 21 Oktober 1996. Iwik
menolak pengakuan Diharjo Purboko. Bos yang ditemuinya bukan Diharjo Purboko
tapi bernama Jendra alias Ahmad Nizar, pengusaha asal Bogor dan kawan akrab
Kapolda DIY Kolonel Pol Mulyono Sulaiman.
6 Oktober:
Sidang diteror secara brutal oleh pendukung saksi Serma Pol Edy Wuryanto. Hakim
memberikan peringatan dan mengusir keluar seorang pengunjung sidang pendukung
saksi Edy Wuryanto. Iwik menolak kesaksian Serma Edy Wuryanto, dan ia
mengatakan saksi ini berbohong.
20 Oktober:
Iwik membeberkan kesaksiannya. Selain menyatakan korban rekayasa dan bisnis
politik, ia hanya dipaksa menjalankan ske- nario rekayasa Franki alias Serma
Pol Edy Wuryanto dengan alasan untuk melindungi kepentingan Bupati Bantul Sri
Roso Sudarmo.
30 Oktober:
Wakil Jaksa Agung Soedjono C Atmonegoro SH menegaskan jaksa tidak akan ragu
menuntut bebas Iwik apabila tidak diperoleh bukti-bukti yang menguatkan dakwaan
dalam persidangan.
3 November:
Iwik dituntut bebas oleh Jaksa Penuntut Umum yang terdiri dari Amrin Naim SH,
Yusrin Nichoriawan SH, Ahmad Yuwono SH, dan Hartoko Subiantoro SH. Pertimbangannya,
dalam persidangan tidak diperoleh bukti dan keterangan yang menguatkan dakwaan
jaksa bahwa Iwik adalah pembunuh Udin.
27 November:
Iwik divonis bebas! Majelis Hakim pemeriksa perkara terdiri dari Ny Endang Sri
Murwati SH, Ny Mikaela Warsito SH, dan Soeparno SH. Pertimbangannya, tidak ada
bukti yang menguatkan Iwik adalah pembunuh Udin. Motif perselingkuhan yang
dituduhkan selama ini berarti gugur. Selain itu, keterangan memberatkan dari
Serma Pol Edy Wuryanto dalam persidangan dinyatakan tidak dapat dipakai sebagai
alat bukti keterangan. Selanjutnya muncul tuntutan agar polisi mencari,
mengungkap motif, dan menangkap pelaku pembunuhan Udin yang sebenarnya[13]
Analisa Kasus
-
Pada kasus diatas dapat bila dikaitkan dengan penjelasan materi
sebelumnya maka telah jelas bahwa kasus ini dapat gugur dan tidak dapat
dilanjutkan karena kadaluarsa telah melewati batas pengusutan kasus yaitu 15
tahun.
-
Kraacht van gewijsde atau nebis in idem. Dalam kasus ini
apabila telah melewati batas kadaluarsa maka si tersangka tidak dapat dituntut
untuk kedua kalinya dan si tersangka akan resmi bebas.
BAB IV
KESIMPULAN
1.
Dalam pemberlakuan KUHP terdapat hal-hal yang dapat menyebabkan tidak
dapatnya menuntut dan menjalani hukuman sebagaimana telah diatur dalam KUHP,
hal-hal tersebut antara lain karena: Kraacht van gewijsde atau nebis in idem,
matinya terdakwa/terpidana, lewat waktu, penyelesaian di luar pengadilan.
2.
Kadaluarsanya kasus yang tidap dapat diusut pada kasus diatas yaitu 15
tahun, sehingga tersangka pada kasus tersebut tidak dapat dituntut kembali. Hal
ini sesuai dengan apa yang diatur dalam KUHP.
Oleh: Wulan Purnamasari
[4] E. Y. Kanter, Asas-asas
Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Jakarta, Storia Grafika, 2002.
hlm. 431 – 432
[6]
Adami Chazawi, Penafsiran
Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan, dan Peringanan, Kejahatan Aduan,
Perbarengan, dan Ajaran Kausalitas Bagian 2, Jakarta, Raja Grafindo
Persada, 2005. hlm. 173
[7] Loebby Loqman, Kapita
Selekta Tindak Pidana di Bidang Perekonomian, Jakarta, Datacom, 2002. hlm.
2
[8] H.J. Schravendijk, 1955, Buku Pelajaran
tentang Hukum Pidana Indonesia, J.B.Wolters, Jakarta-Groningen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar