Rabu, 13 Januari 2016

MAKALAH Hukum Pidana: Gugurnya Hak Menuntut dan Menjalankan Pidana Sesuai KUHP.

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah

Setiap negara memiliki konstitusi dan hukum yang mengatur dan mengikat segenap rakyatnya. Namun pada pelaksanaannya masih banyak terdapat kekeliruan yang terjadi. Banyaknya kejahatan yang terjadi di dalam lingkungan sosial membuat hukum itu harus berfungsi sebagaimana seharusnya. Terutama untuk kejahatan yang dilakukan oleh individu terhadap individu lain ataupun  yang dilakukan individu terhadap publik yang menyebabkan kerugian, bahkan bisa sampai menyebabkan kematian.
Di Indonesia sendiri, hukum yang mengatur tentang kejahatan seperti itu telah terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Semua pelanggaran dan kejahatan telah diatur dalam KUHP. Dan semua orang yang ada di Indonesia menjadi objek hukum tersebut. Namun tidak semua orang dapat dijatuhi atau dikenakan hukuman apabila mereka melanggar. Karena pada dasarnya ada beberapa hal dalam diri manusia yang menjadikannya berhak dan wajib berlaku hukum  baginya.
Dalam KUHP pun sudah diatur mengenai orang yang berlaku hukum baginya, dan orang yang tidak berlaku hukum baginya. Maka kejahatan yang dilakukan orang tersebut tidak akan dijatuhi hukuman baginya. Ataupun ada faktor-faktor lain yang membuat orang tidak dapat menyelesaikan kasus yang dialaminya karena terbentur masalah waktu pelaporan dan penuntutan.
Dan itu semua sudah terdapat dalam KUHP mengenai teknis pelaksanaan hukumnya.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa yang membuat gugurnya hak menuntut dan menjalankan pidana?
2.      Bagaimana kaitan hal-hal tersebut dengan kasus yang pernah terjadi di Indonesia?


C.     Tujuan Penulisan

1.      Mengetahui hal-hal yang membuat gugurnya hak menuntut dan menjalankan pidana sesuai KUHP.

Memahami bagaimana pelaksanaan hal-hal yang dapat menggugurkan hak menuntut dan menjalankan pidana dikaitkan dengan kasus yang pernah terjadi di Indonesia.

Bab II
Pembahasan

Alasan-alasan gugurnya hak menuntut dan menjalankan pidana dimuat dalam Bab VIII Buku I KUHPidana. Alasan-alasan tersebut adalah:[1]
a.      Kraacht van gewijsde atau nebis in idem
b.       Matinya terdakwa/terpidana
c.      Lewat waktu
d.      Penyelesaian di luar pengadilan

A.    Kraacht van gewijsde atau nebis in idem
Yang dimaksud dengan kraacht van gewijsde atau nebis in idem adalah orang tidak dapat dituntut untuk kali kedua karena satu perbuatan yang telah dilakukannya dan terhadap perbuatan tersebut telah dijatuhkan keputusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Jonkers menyebut tiga macam keputusan hakim yang memutuskan tentang perbuatan sendiri, yaitu:
1.      Penghukuman (veroordeling)
2.      Bebas dari segala dakwaan (vrijspraak)
3.      Lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechtsvervolging)
Apabila dibuat satu keputusan hakim seperti salah satu di atas, maka disebut nebis in idem. Rasio asas ini ada dua buah, yaitu tiap perkara harus diselesaikan secara definitif dan tujuan tiap-tiap peraturan hukum adalah memberikan kepastian hukum sebesar-besarnya kepada individu dan masyarakat. Oleh beberapa pengarang hukum pidana, diminta perhatian untuk pasal 76 KUHPidana agar menerima peninjauan kembali sebagai pengecualian tersendiri kepada pasal ini.
            Tentang kata “perbuatan” dalam pasal 76 KUHPidana disebut tiga pendapat dalam buku karangan Van Hammel, yaitu:
1.      “Perbuatan” dalam arti peristiwa jahat yang telah terjadi
2.      “Perbuatan” dalam arti perbuatan yang menjadi pokok pendakwaan
3.      “Perbuatan” dalam arti perbuatan materil.[2]

B.     Matinya terdakwa/terpidana
Vos mengemukakan bahwa hal gugurnya hak menuntut dan menjalankan pidana karena matinya terdakwa/terpidana sesuai sekali dengan pengertian “hukuman” yang terdapat dalam hukum pidana positif. Bukankah menurut KUHPidana hukuman itu ditujukan kepada diri pembuat? Pandangan ini sesuai dengan kematian mencegah dimulainya atau memberhentikan berjalannya tuntutan pidana karena tiada lagi objeknya maka hak menuntut hukuman tidak dapat direalisasikan. Pompe berpendapat dalam hal terdakwa meninggal dunia pada waktu sebelum ada keputusan akhir dari hakim, maka hakim akan memutuskan bahwa tuntutan pidana dari Penuntut Umum tidak dapat diterima karena tidak ada lagi alasan untuk mengadakan tuntutan pidana itu.[3]

C.    Lewat waktu
Harus dibedakan antara lewat waktu hak menuntut dan menjalankan pidana. Sebagai alasan-alasan pembuat KUHPidana menerima lembaga lewat waktu itu dapatlah dikemukakan dari Vos sebagai berikut:
1.      Sesudah lewatnya beberapa waktu –apalagi waktu yang telah lewat itu panjang- maka ingatan orang tentang peristiwa tersebut telah berkurang, bahkan tidak jarang hampir hilang sehingga menurut baik teori pembalasan maupun teori prevensi umum dan prevensi khusus tidak ada gunanya lagi untuk menuntut hukuman.
2.      Kepada individu harus diberi kepastian hukum dan jaminan atas keamanannya menurut hukum, terutama apabila individu telah dipaksa tinggal lama di luar negeri dan dengan demikian untuk sementara waktu merasa kehilangan atau dikuranginya kemerdekaannya.
3.      Untuk berhasilnya tuntutan pidana maka sukarlah mendapatkan bukti sesudah lewatnya waktu yang agak panjang.
Lamanya jangka lewat (verjaringstermijn) dihubungkan dengan beratnya hukuman yang diancamkan terhadap delik. Disamping itu, perlu dikemukakan pula bahwa jangka lewat waktunya hukuman adalah lebih lama dari pada jangka lewat waktunya tuntutan pidana.. JONKERS menganggap hal ini lebih logis, karena dalam hal lewat waktu hukuman, acara pidana yang bersangkutan telah selesai sama sekali. Jangka – jangka lewat waktunya tuntutan pidana diatur dalam pasal 78 KUHP ayat (1) menentukan bahwa : Hak menuntut hukuman gugur (tidak dapat dijalankan lagi karena lewat waktunya)
1.      Sesudah lewat satu tahun bagi segala pelanggaran dan bagi kejahatan yang dilakukan dengan mempergunakan percetakan
2.      Sesudah lewat enam tahun, bagi kejahatan yang terancam hukuman denda, kurungan atau penjara yang tidak lebih dari tiga tahun
3.      Sesudah lewat dua belas tahun bagi segala kejahatan yang terancam hukuman penjara sementara yang lebih dari tiga tahun
4.      Sudah lewat lima belas tahun bagi semua kejahatan yang terancam dihukum mati atau penjara seumur hidup[4]
Mempelajari lamanya jangka – jangka lewat waktunya tuntutan pidana yang tersebut dalam pasal 78 ayat (1) KUHP ini berhubung dengan jenis delik yang dilakukan dan yang hendak di tuntut, maka dapatlah dicatat satu zonderlinge constructive (konstruksi yang ganjil), yaitu jangka lewat waktunya tuntutan pidana karena penghinaan yang ditulis atas kertas adalah lebih pendek dari pada jangka lewat waktunya tuntutan karena penghinaan yang diucapkan secara lisan sedangkan, sebaliknya, satu penghinaan yang diucapkan secara lisan lebih cepat dilupa dari pada satu penghinaan yang ditulis di atas kertas.
Waktu adalah beratnya hukuman maksimum yang dapat ditetapkan atas peristiwa pidana in concreto, sehingga alasan – alasan yang memperberat atau memperingan hukuman, baik yang obyektif maupun yang subyektif, dapat diperhitungkan dalam penetapan lamanya jangka lewat waktu.
Ayat 2 dari pasal 78 KUHP dibuat untuk pembuat muda (jeugdige dader) yang umumnya masih belum delapan belas tahun : Bagi orang yang sebelum melakukan perbuatan itu umurnya belum cukup delapan belas tahun, maka tempo gugur waktu yang tersebut diatas dikurangi sehingga jadi sepertiganya (kursif dari saja).
JONKERS mengemukakan dua hal lagi yang patut mendapat perhatian, Pertama karena redaksi pasal 78 KUHP disusun secara umum (algemene der redactie) maka yang menentukan lamanya jangka lewat udige mishandeling slechts maximal twee jaren is bedreigd. Kedua, berhubung dengan ketentuan dalam pasal 86 KUHP maka percobaan (poging) atau membantu (medeplichttigheid) melakukan kejahatan diperhitungkan jangka lewat waktu yang sama dengan jangka lewat waktu bagi kejahatan itu. Jangka – jangka lewat waktunya hukuman diatur dalam pasal 84 KUHP, yang berbunyi:
1)     Hak untuk menjalankan hukuman gugur karena lalu waktunya (daluwarsa).
2)     Tempo gugurnya itu, untuk pelanggaran sesudah dua tahun, untuk kejahatan yang dilakukan dengan mempergunakan percetakan sesudah lima tahun, dan untuk kejahatan yang lain sesudah sepertiganya lebih dari tempo gugurnya penuntutan hak menuntut hukuman
3)     Tempo gugurnya itu sekali – kali tidak boleh kurang dari lamanya hukuman mati tidak dapat gugur karena lewat waktunya[5]
Jika membandingkan jangka – jangka lewat waktunya hukuman ini dengan jangka – jangka lewat waktunya tuntutan pidana yang telah dibahas terlebih dahulu, maka dapat dicatat bahwa jangka – jangka lewat waktunya hukuman adalah lebih panjang dari pada jangka – jangka lewat waktunya tuntutan pidana. VOS mengatakan bahwa hal ini sudah logis, karena :
1)     Dalam hal lewat waktunya hukuman persoalan pembuktian tidak lagi memang peranan,
2)      Dibandingkan dengan lewat waktunya tuntutan pidana, maka lewat waktunya hukuman lebih banyak bagi merupakan satu premi atas melarikan diri
Selanjutnya VOS mengenai ketentuan bahwa Tempo gugurnya itu sekali – kali tidak boleh kurang dari lamanya hukuman yang telah dijatuhkan oleh VOS diberi tekanan kata-kata telah dijatuhkan (opgelegde straf). Dengan mengingat Hukum Penitensier di Negeri Belanda, ketentuan itu penting karena :
1.      Dengan demikian hukuman penjara seumur hidup tidak dapat berlewat waktu (di Negeri Belanda tiada lagi hukuman mati dan hukuman penjara seumur hidup menjadi hukuman yang terberat bagi hukum penitensier di Negeri Belanda),
2.      Ketentuan itu penting bagi hukuman tambahan yang memerintahkan penempatan dalam sebuah tempat latihan kerja pemerintah (plaatsing in een Rijkswerkinrichting).
Yang merupakan satu persoalan adalah mulai saat manakah jangka lewat waktu mulai berjalan? Mengenai lewat waktunya tuntutan pidana pasal 79 KUHP member jawaban atas pertanyaan itu. Sebagai saat mulai berjalannya jangka lewat tuntuan pidana ditunjuk. Dalam teks pasal 79 KUHP dibuka dengan kata – kata : Tempo gugurnya penuntutan dihitung dimulai dari keesokan harinya sesudah perbuatan itu dilakukan (De termijn van verjaring vangst aan op den den dag na dien wasrop het feit is gepleegd).
Dalam tiga hal pembuat KUHP menentukan saat istimewa mulai berjalannya lewat waktunya tuntuan pidana yaitu :
a.      Dalam hal memalsu atau meniru uang (logam), uang kertas atau kertas bank maka jangka lewat waktunya tuntutan pidana mulai berjalan pada hari sesudah hari uang yang dipalsu atau ditiru itu, dipakai. Yang menjadi ukuran adalah saat uang tersebut dipakai. Karena dalam hal andaikata satu ukuran semacam ini tidak ditentukan maka adalah kemungkinan bahwa orang yang telah berhasil menyimpan uang tersebut beberapa tahun, dengan maksud menunggu lewat waktunya tuntutan pidana, kemudian dapat memakainya tanpa kemungkinan bahwa ia dapat dihukum. Perlu diperhatikan salah satu unsure meniru atau memalsu uang, atau uang kertas atau uang kertas bank itu adalah meniru atau memalsu dilakukan dengan maksud akan mengedarkan serupa yang asli dan yang tiada dipalsukan uang kertas atau uang kertas bank tersebut (pasal 244 KUHP)
b.      Dalam hal salah satun kejahatan yang terancantum dalam pasal-pasal 328 KUHP (menculik orang/mensenroof), 329 KUHP (dengan sengaja mengangkutkan seseorang yang telah mengikatkan diri akan bekerja disuatu daerah ke sesuatu daerah lain), 330 KUHP (dengan sengaja memindahkan seseorang yang belum cukup umur dari kekuasaan sah yang telah ditempatkan atas orang itu), dan 333 KUHP (merampas kebebasan orang / vriheiklsberoving) maka jangka waktu lewat waktunya tuntutan pidana mulai berjalan pada hari sesudah hari dibebaskannya atau meninggal dunianya korban kejahatan tersebut.
Bahwa hak menuntut pidana dalam hal percobaan meniru atau memalsu uang, uang kertas atau uang kertas bank, atau sesudah meniru atau memalsu itu selesai maka uang yang ditiru atau dipalsu itu tidak dipakai, tidak dapat gugur.
c.      Dalam hal pelanggaran peraturan-peraturan Pencatatan sipil pasal 556-558 a KUHP maka jangka lewat waktunya tuntutan pidana mulai berjalan pada hari sesudah hari daftar-daftar yang bersangkutan telah diserahkan kepada panitera pengadilan yang bersangkutan. Saat istimewa mulai berjalan ini ditentukan dengan memperhitungkan bahwa Penuntut umum, yang diberi tugas mengawasi dibuatnya daftar-daftar tersebut secara tepat, baru dapat tersebut diserahkan kepada panitera pengadilan.[6]
Saat berjalannya lewat waktunya hukuman ditentukan dalam pasal 85 KUHP : Tempo gugurnya hak menjalankan hukuman itu mulai pada keesokan hari seolah waktu keputusan hakim dapat dijalankan (ayat 1). Jenis keputusan hakim ini adalah keputusan hakim yang terkenal dengan nama verstek vonnis dapat dieksekusi tanpa sebelumnya telah inkracht van gewijsde.
Pasal 80 KUHP mengatur pencegahan jangka lewat waktunya tuntutan pidana : Tiap-tiap perbuatan penuntutan mencegah daluwarsa (lewat waktu) asal saja perbuatan itu diketahui oleh yang dituntut atau diberitahukan kepadanya menurut cara yang dituntut atau diberitahukan kepadanya menurut cara yang ditentukan dalam undang-undang umum ayat 1.
Pasal 81 KUHP mengatur pertangguhan jangka lewat waktunya tuntutan pidana: Mempertangguhkan penuntutan untuk sementara karena ada perselisihan tentang hukum yang harus diputuskan lebih dahulu oleh satu mahkamah lain, mempertangguhkan gugurnya penuntutan untuk sementara.
Yang dimaksud dengan question prjudicialle au jugement ini adalah satu perselisihan menurut hukum perdata ini penting sekali bagi acara pidana yang sedang berjalan. Pencegahan jangka lewat waktunya hak untuk mengeksekusi hukuman dapat terjadi dalam dua hal, yaitu :
1.      Yang terhukum melarikan diri. Pada hari sesudah hari yang terhukum melarikan diri mulai berjalan satu jangka lewat waktu yang baru (pasal 85 ayat 2 kalimat pertama KUHP)
2.      Dicabutnya pelepasan bersyarat (herroeping ener voorwaardelijke invrijheidstelling). Pada hari sesudah hari dicabutnya pelepasan bersyarat, mulai berjalan satu jangka lewat
Waktu yang baru (pasal 85 ayat kalimat kedua KUHP), pertengahan jangka lewat waktunya hak untuk mengeksekusi hukuman dapat terjadi dalam dua hal pula, yaitu :
a)      Selama eksekusi hukuman dipertangguhkan menurut peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti dalam grasi, peninjauan kembali (herziening).
b)     Selama yang terhukum ada tahanan, biarpun ia ditahan itu disebabkan oleh segala sesuatu penghukuman lain. Oleh VOS dikemukakan bahwa dipertangguhkan (menurut peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku) yang disebut dalam ada diatas ini, harus diberi pengertian luas sehingga juga meliputi ditunda (opgeschort).[7]

D.    Penyelesaian diluar pengadilan
Pasal 82 ayat 1 KUHP menentukan bahwa Hak menuntut hukuman karena pelanggaran yang diatasnya tidak ditentukan hukuman pokok lain dari pada denda, tiada berlaku lagi jika maksimum denda dibayar dengan kemauan sendiri dan demikian juga dibayar ongkos perkara, kalau penuntutan telah dilakukan, dengan izin pejabat (ambtnaar) yang ditunjuk dalam undang-undang umum, dalam tempo yang ditetapkannya. Ketentuan KUHP ini memuat lembaga hukum pidana yang terkenal dengan nama afkloop yaitu penebusan tuntutan pidana karena pelanggaran (overtrading).[8]
Grasi, abolisi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi  Pasal 14 UUD 1945 menentukan bahwa Presiden member grasi,amnesti,abolisi, dan rehabilitasi. Grasi adalah satu wewenang yang telah tradisionil dalam tangan kepala Negara itu tetapi sifatnya sekarang berbeda dari sifatnya semula. Sebagai alasan-alasan diberinya grasi dapat disebut antara lain :
1.      Kepentingan keluarga dari yang terhukum
2.      Yang terhukum pernah sangat berjasa bagi masyarakat
3.      Yang terhukum menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan
4.      Yang terhukum berkelakuan baik dipenjara dan memperlihatkan keinsyafan atas kesalahannya.
Apabila Kepala Negara berpendapat bahwa keputusan hakim itu terlalu keras, maka kepala Negara hanya dapat meringankan pelaksanaan saja dari keputusan hakim itu dengan :
a)      Tidak mengeksekusinya seluruhnya
b)     Hanya mengeksekusi sebagian saja
c)      Mengadakan komutasi, yaitu jenis hukuman  diganti misalnya, hukuman penjara  diganti dengan hukuman kurungan, hukuman kurungan diganti dengan hukuman denda, hukuman mati diganti dengan hukuman penjara untuk seumur hidup[9]
Azas-azas utama Undang-undang Grasi adalah :
a)      Atas hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan kehakiman yang tidak dapat diubah lagi, orang yang dihukum atau pihak lain dapat memajukan permohonan grasi kepada Presiden Pasal 1. Jadi atas tiap-tiap hukuman dan oleh tiap-tiap yang terhukum dapat diajukan permohonan grasi kepada Presiden.
b)     Keputusan hakim telah tidak dapat diubah lagi yaitu telah Inkracht van gewijsde (tidak dapat dibantah lagi dengan memakai alat-alat hukum biasa )
c)      Bukan hanya terhukum saja yang dapat memohon grasi, tetapi juga pihak lain yaitu pihak ketiga, asal saja ternyata bahwa orang yang dihukum itu setuju dengan permohonan grasi yang diajukan oleh pihak ketiga ini (pasal 6 ayat (4)). Syarat tersebut terakhir ini tidak perlu dipenuhi apabila permohonan grasi itu diajukan karena jabatan (ambtshalve ingediend gratievoorstel). Terhadap asas utama ini, yaitu persetujuan dari yang terhukum, ada perkecualian dalam hal hukuman mati. Dalam hukuman mati pihak ketiga, yang mau mengajukan permohonan grasi, tidak memerlukan persetujuan dari yang terhukum (ketentuan yang sama).
d)     Terkecuali permohonan grasi atas hukuman denda (pasal 4 ayat 1), maka tiap –tiap permohonan grasi menunda (opschorten) eksekusi (pelaksanaan) hukuman atau mempertangguhkannya apabila telah dimulai.
e)      Permohonan grasi harus dimajukan kepada Panitera pengadilan yang memutus pada tingkat pertama, atau jika permohonan bertempat tinggal diluar daerah hukum pengadilan yang berkepentingan atau jika Panitera pengadilan tidak ada tempatnya, maka pemohon dapat memajukan permohonannya kepada pembesar daerahnya Pasal 6 ayat 1.
f)      Grasi tidak akan diberi apabila sebelumnya tidak didengar pertimbangan dari beberapa instansi yang penting dan yang bersangkutan.[10]
Amnesti dan Abolisi diatur dalam Undang – undang Darurat tentang Amnesti dan Abolisi. Yang biasanya disebut abolisi adalah meniadakan wewenang (dari penuntut umum) untuk menuntut hukuman. Amnesti adalah satu wewenang yang lebih luas lagi, yaitu amnesti tidak hanya meniadakan wewenang untuk menuntut hukuman tetapi pula wewenang untuk mengeksekusi hukuman, baik dalam hal eksekusi itu belum dimuali maupun dalam hal eksekusi itu dimulai. Amnesti dan abolisi diberi oleh Presiden atas kepentingan Negara.[11]
Pemberian Amnesti dan abolisi itu diputuskan oleh Presiden sesudah mendapat nasehat Mahkamah Agung.(pasal 1). Mengenai rehabilitasi, yaitu mengembalikan yang terhukum pada kedudukan sosial yang semula, belum ada peraturan, terkecuali peraturan mengenai rehabilitasi bekas pengikut PRRI/Permesta dan gerombolan yang lain itu.[12]









BAB III
ANALISA KASUS
-        Fuad Muhammad Syafruddin
Udin
Fuad Muhammad Syafruddin yang akrab dipanggil Udin (lahir di Bantul, Yogyakarta, 18 Februari 1964 – meninggal di Yogyakarta, 16 Agustus 1996 pada umur 32 tahun) adalah wartawan Harian Bernas, Yogyakarta, yang dianiaya oleh orang tidak dikenal, dan kemudian meninggal dunia. Sebelum kejadian ini, Udin kerap menulis artikel kritis tentang kebijakan pemerintah Orde Baru dan militer. Ia menjadi wartawan di Harian Bernas sejak 1986.
Selasa malam, pukul 23.30 WIB, 13 Agustus 1996, ia dianiaya pria tak dikenal di depan rumah kontrakannya, di dusun Gelangan Samalo, Jalan Parangtritis Km 13 Yogyakarta. Udin, yang sejak malam penganiayaan itu, terus berada dalam keadaannya koma dan dirawat di RS Bethesda, Yogyakarta. Esok paginya, Udin menjalani operasi otak di rumah sakit tersebut. Namun, dikarenakan parahnya sakit yang diderita akibat pukulan batang besi di bagian kepala itu, akhirnya Udin meninggal dunia pada Jumat, 16 Agustus 1996, pukul 16.50 WIB.
Sejak Udin mengalami koma hingga rentang waktu yang cukup panjang, hampir seluruh media massa meliput peristiwa yang menimpa Udin.
Kasus Udin menjadi ramai ketika Kanit Reserse Umum Polres Bantul Edy Wuryanto, saat itu berpangkat Sersan Kepala (Serka), di Yogyakarta, dilaporkan telah 'membuang barang bukti', yakni melarung sampel darah dan juga mengambil buku catatan Udin, dengan dalih melakukan penyelidikan dan penyidikan.
Edy Wuryanto kemudian hanya dimutasikan dari tempat dinasnya di Yogyakarta ke Mabes Polri di Jakarta.
Tri Sumaryani
Ada pihak-pihak tertentu yang tampaknya mencoba mengalihkan kasus ini. Seorang perempuan, Tri Sumaryani, mengaku ditawari sejumlah uang sebagai imbalan membuat pengakuan bahwa Udin melakukan hubungan gelap dengannya dan kemudian dibunuh oleh suaminya.
Iwik
Dwi Sumaji alias Iwik, seorang sopir perusahaan iklan, juga mengaku dikorbankan oleh polisi untuk membuat pengakuan bahwa ia telah membunuh Udin. Iwik dipaksa meminum bir berbotol-botol dan kemudian ditawari uang, pekerjaan, dan seorang pelacur. Namun di pengadilan, pada 5 Agustus 1997 Iwik mengatakan, "Saya telah dikorbankan untuk bisnis politik dan melindungi mafia politik."
Kronologi kejadian
Berikut ini kronologi perkembangan kasus Udin sejak rumahnya diamat-amati, hingga penyiksaan, meninggal dunia, dan proses peradilan Iwik, seperti yang diungkapkan oleh Harian Bernas [1]
12 Agustus 1996: Kediaman Udin sekitar pukul 22.00 WIB telah diawasi oleh dua orang tidak dikenal dengan kendaraan sepeda motor. Satu di antaranya sempat mendekat ke rumah Udin dan mengamati keadaan dalam rumah melalui lubang kunci pintu depan rumah. Salah satu tetangga Udin yang berada di warung bakmi yakni Ny Ponikem memperhatikan tingkah aneh lelaki tersebut. Ia kemudian mencoba mendekat. Tetapi saat ditanya dan dibantu membangunkan pemilik rumah, lelaki tersebut cepat-cepat pergi. Sehingga Udin yang terlanjur keluar rumah tidak berhasil menjumpai lelaki mencurigakan yang menurut penuturan saksi ini ingin menemuinya.
13 Agustus: Selasa malam sekitar pukul 23.30 WIB, Udin dianiaya lelaki tak dikenal dirumahnya Jalan Parangtritis Km 13,5 Bantul hingga luka parah dan tak sadarkan diri. Ia kemudian dibawa ke RSU Je-bugan Bantul, karena tak mampu, Udin terus dilarikan ke RS Bethesda Yogyakarta. Peristiwa itu didahului dengan beberapa kejadian tidak biasa. Sebelumnya, sekitar pukul 21.00 WIB, di kantor harian BERNAS, Udin menemui seorang tamu yang sebelumnya ingin menemui Joko Mulyono (wartawan BERNAS untuk liputan Bantul). Lelaki tersebut mengaku sebagai Kaur Pemerintahan Desa Wirokerten Bantul dan kedatangannya untuk urusan tanah. Tetapi setelah pertemuan singkat itu, Udin terlihat gelisah di kantor. Pukul 21.30 WIB, selesai menulis berita, Udin bergegas pulang ke Bantul dengan Honda Tiger 2000 warna merah hati. Belakangan orang yang ditemui Udin tersebut adalah Hatta Sunanto (anggota DPRD Bantul dan adik Sukrisno, Kaur Pemerintahan Desa Wirokerten Bantul), serta ditemani seorang calo tanah bernama Suwandi.
14 Agustus: Rabu pukul 08.00 WIB di RS Bethesda Yogyakarta, Udin menjalani operasi karena terjadi pendarahan hebat di kepalanya akibat penganiayaan hebat yang dialami Udin malam sebelumnya.
16 Agustus: Jumat pukul 16.58 WIB, tim medis RS Bethesda menyatakan Udin meninggal dunia setelah tiga hari berjuang melawan maut tanpa pernah sadarkan diri. Malamnya, sekitar pukul 23.30 WIB, jenazah Udin disemayamkan sebentar di kantor Harian BERNAS untuk mendapatkan penghormatan terakhir dari rekan-rekannya.
17 Agustus: Jenazah Udin dilepas dan dimakamkan di tempat pemakaman umum Trirenggo Bantul tepat pada saat bangsa Indonesia merayakan peringatan hari ulang tahun ke-51 kemerdekaan Republik Indonesia.
Berbagai pihak termasuk di antaranya Sri Sultan Hamengkubuwono X, Pangdam IV Diponegoro, Kapolda Jateng-DIY dan sejumlah pejabat pemerintahan meminta agar kasus Udin diusut tuntas. Dan siapapun yang terlibat dalam kasus ini harus diproses secara hukum.
19 Agustus: Malam sekitar pukul 20.00 WIB, Serma Edy Wuryanto ditemani dua anggota Polres Bantul berangkat dari Mapolres Bantul ke kediaman orangtua Udin di Gedongan Trirenggo Bantul. Mereka bermaksud meminjam sisa darah operasi Udin yang tidak jadi ikut dikubur bersama jenazah Udin. Serma Edy Wuryanto mengatakan darah itu akan dipakai untuk kepentingan pengusutan dengan cara supranatural (akan dilarung ke laut selatan). Siang sebelumnya, di tengah-tengah pawai pembangunan dalam rangka peringatan HUT ke-51 Kemerdekaan RI di kabupaten Bantul, sejumlah warga Bantul turut menggelar pawai duka cita sambil menggelar spanduk dan mengarak foto Udin.
23 Agustus: Dalam sebuah konperensi pers akbar di kantor Pemda Bantul, Bupati Bantul Kolonel Art Sri Roso Sudarmo menyatakan diri tidak terlibat dalam kasus ini. Sementara Kapolres Bantul Letkol Pol Ade Subardan mengatakan tidak ada dalang dalam kasus Udin meski tersangka belum tertangkap. Ia juga sesumbar akan menangkap pelaku pembunuh Udin dalam waktu tiga hari setelah konferensi pers tersebut berlangung sambil mengatakan biar Bupati Bantul tidur nyenyak.
26 Agustus: Sekitar pukul 09.00 WIB, Tempat Kejadian Perkara (TKP) di rumah Udin baru diberi police line setelah 13 hari kejadian pembunuhan Udin berlalu. Di Jakarta, Kepala Staf Sosial Politik (Kassospol) ABRI Letjen TNI Syarwan Hamid menegaskan, oknum ABRI yang terlibat dalam kasus Udin akan ditindak tegas.
27 Agustus: Sekitar pukul 10.30 WIB, police line di TKP rumah Udin dicopot kembali oleh polisi. Dengan demikian police line ini hanya berumur kurang lebih 25 jam setelah dipasang untuk kepentingan penyidikan.
2 September: Kapolda Jateng-DIY Mayjen Pol Harimas AS menyatakan pihak kepolisian sudah memiliki identitas lengkap pelaku kasus pembunuhan Udin.
3 September: Mantan Mendagri Jenderal TNI (purn) Rudini mengatakan, sebaiknya Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X memanggil dan meminta keterangan Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo.
4 September: Marsiyem secara resmi menjadi klien Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta. Di kantor LBH Yogyakarta, Marsiyem mengatakan selama ini dirinya dipojokkan polisi agar mengakui adanya masalah perselingkuhan dalam keluarganya.
5 September: Seorang seniman lukis berhasil membuat sketsa wajah pembunuh Udin dari keterangan Marsiyem. Sketsa wajah itu menurut Marsiyem, 90 persen mendekati wajah asli sang pembunuh.
7 September: Menurut Sekwilda DIY Drs Suprastowo, Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo sudah menghadap Gubernur DIY dan melaporkan kasus Udin. Tapi dalam laporannya tidak menyinggung kematian Udin berkaitan dengan profesi atau tulisan-tulisannya.
9 September: Keluarga Udin mengkhawatirkan latar belakang kasus pembunuhan Udin akan dibelokkan ke masalah pribadi. Kapolwil DIY Kolonel Pol Darsono mengatakan polisi tetap lurus dalam mengadakan penyelidikan.
13 September: Ketua DPC PPP Bantul dipanggil Komandan Kodim Bantul dan dicecar dengan pertanyaan seputar keterlibatan DPC PPP Bantul dalam upacara pemakaman Udin. Dandim Bantul mengatakan acara pemakaman Udin sudah dipolitisir.
23 September: Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X mengizinkan pemeriksaan terhadap Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo. Di Jakarta, anggota Komisi II DPR RI dari FPP Ali Hardi Kiai Demak menanyakan penanganan kasus Udin kepada Mendagri Yogi S. Memet dalam rapat kerja DPR RI di Komisi II.
24 September: Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Yogyakarta mengirim surat ke PWI Pusat disertai lampiran temuan Tim Pencari Fakta (TPF) PWI Yogyakarta soal kasus Udin. Pengiriman berkas laporan TPF PWI Yogyakarta tersebut dimaksudkan agar ditindak-lanjuti pengusutannya oleh Komnas HAM dan Mabes Polri.
25 September: Kapolwil DIY Kolonel Pol Darsono menegaskan siapapun yang terlibat dalam kasus pembunuhan Udin akan digebuk tanpa pandang bulu.
27 September: Kapolri Letjen Pol Dibyo Widodo di Jakarta mengatakan kasus pembunuhan Udin harus dibongkar. Dan ia menegaskan tidak akan ada pembelokan atas latar belakang terbunuhnya Udin ke masalah keluarga atau perselingkuhan.
21 Oktober: Dwi Sumaji alias Iwik, warga Kavling Panasan Triharjo Sleman dan sopir di CV Dymas Advertizing Sleman, diculik di perempatan Beran Sleman, kemudian dibawa ke Parangtritis. Di Hotel Queen of The South Parangtritis. Iwik disuruh mengaku sebagai pembunuh Udin oleh Franki (Serma Pol Edy Wuryanto) setelah sebelumnya di losmen Agung Parangtritis, Iwik dicekoki minuman keras hingga mabuk, disediakan perempuan, dan diberi janji-janji muluk soal pekerjaan, uang, dan jaminan hidup keluarganya. Sebelumnya ia dijebak oleh Franki dengan alasan diajak bisnis billboard.
24 Oktober: Pada tanggal ini (ketika masuk ke pemeriksaan tahap ke lima), Dwi Sumaji alias Iwik mencabut seluruh pengakuan dalam pemeriksaan tanggal 21, 22, 23, dan 24 Oktober 1996 (dalam 4 kali pemeriksaan sebelumnya). Pencabutan pengakuan sebagai pelaku pembunuh Udin itu ia lakukan karena merasa dirinya hanya korban rekayasa. Dan pengakuan yang dulu itu karena ia berada di bawah ancaman, tekanan dan paksaan Franki alias Serma Pol Edy Wuryanto. 26 Oktober 1996. Ny Sunarti (istri Iwik) mengadu ke Komnas HAM dan Kapolri atas penangkapan suaminya.
5 November: Komnas HAM membuat kesimpulan penting -- setelah mengadakan investigasi lapangan -- yang menyatakan bahwa dalam proses penangkapan Iwik telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia, sebab dilakukan dengan cara-cara yang sangat tidak etis. Penyitaan barang bukti milik Iwik menurut Komnas HAM juga dilakukan secara spekulatif.
6 November: Kapolda DIY Kolonel Pol Mulyono Sulaiman membenarkan masalah peminjaman sisa darah Udin oleh Serma Pol Edy Wuryanto dan beberapa aparat Polres Bantul. Tetapi setelah sebagian dilarung di laut selatan, sisanya sudah dibuang di tempat sampah Mapolres Bantul, dan keberadaannya tak diketahui lagi.
20 November: Polda DIY menyerahkan berkas acara pemeriksaan (BAP) Iwik ke Kejaksaan Tinggi Yogyakarta. Berbagai kalangan mengkritik penyidik terlalu memaksakan kehendaknya untuk menyerahkan BAP Iwik yang tak sempurna ini.
25 November: Kejati DIY menyatakan BAP Iwik yang diserahkan Polda DIY tidak lengkap, dan meminta penyidik menyempurnakannya. (Selanjutnya BAP ini bolak-balik Polda DIY-Kejati DIY sebanyak 5 kali).
29 November: (Malam) - Rekonstruksi paksa yang menjadikan Iwik sebagai tersangka batal dilaksanakan. Alasannya waktu itu penonton terlalu banyak.
9 Desember: Polda DIY menggelar rekonstruksi kasus pembunuhan Udin di TKP dengan menghadirkan paksa Iwik. Tetapi Iwik berontak dan histeris saat ia dipaksa penyidik Polda DIY untuk memerankan diri sebagai pelaku pembunuhan Udin.
18 Desember: Iwik dilepas dari tahanan Polda DIY dan penahanannya ditangguhkan, mengingat masa penahannya telah habis dan pe meriksaan atas dirinya dianggap selesai. Status Iwik masih tetap sebagai tersangka.
31 Desember: Marsiyem secara resmi mendaftarkan gugatan kasus pelarungan darah Udin ke PN Bantul. Gugatan ini diajukan Marsiyem mengingat terjadi kekisruhan atas nasib sisa darah Udin yang pernah di pinjam oleh Serma Pol Edy Wuryanto. Dalam kasus ini, Marsiyem didampingi kuasa hukum gabungan dari LBH Yogyakarta dan LPH Yogyakarta. Pihak yang digugat, tergugat I adalah Kapolri cq Kapolda DIY cq Kapolres Bantul. Sedang tergugat II adalah Serma Pol Edy Wuryanto.
22 Januari 1997: Kasus gugatan kasus pelarungan darah Udin mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Bantul. Nilai gugatan seluruhnya adalah Rp 105.890.240. Dalam perkara ini, tergugat diwakili kuasa hukumya dari Diskum Polda DIY menolak upaya perdamaian yang ditawarkan Majelis Hakim. Sementara Hakim Sahlan Said SH yang semula diplot untuk memeriksa perkara ini ternyata kemudian mengundurkan diri.
10 Maret: Serma Pol Edy Wuryanto oleh Majelis Hakim ditolak sebagai saksi. Alasannya, Serma Edy Wuryanto adalah tergugat II dan keterangannya hanya akan dijadikan pelengkap kalau keterangan saksi lain dinilai kurang.
26 Maret: Pakar pidana dari Universitas Airlangga Prof Dr JE Sahettapy SH menilai pengusutan kasus Udin banyak direkayasa. Ia juga menilai motif yang selama ini diyakini polisi yaitu motif perselingkuhan terlalu dicari-cari.
15 April: BAP Iwik untuk yang terakhir kalinya diserahkan penyidik Polda DIY ke Kejati DIY. Pihak Kejati DIY menyatakan menerima BAP Iwik. Iwik berstatus tahanan kejaksaan.
21 April: Kepala Kejaksaan Tinggi DIY mengabulkan permohonan pe-nangguhan status penahanan Iwik. Iwik berstatus tahanan luar.
24 April: Majelis Hakim dalam perkara gugatan darah Udin memutuskan mengabulkan sebagian gugatan Marsiyem. Serma Pol Edy Wuryanto dinyatakan bersalah telah melakukan tindakan melawan hukum. Sedangkan keterkaitan atasan Serma Edy Wuryanto dikesampingkan oleh hakim, dengan alasan tindakan Serma Edy Wuryanto adalah tindakan yang bersifat pribadi dan bukan atas perintah atasan yang bersangkutan.
20 Mei: Kejati DIY menyerahkan BAP Iwik ke Kejaksaan Negeri Bantul. Iwik masih tetap menikmati penangguhan penahanan. Nasib Iwik berada di tangan Kejaksaan Negeri Bantul yang akan menyusun berkas perkara dan dakwaannya.
15 Juli: Berkas perkara pemeriksaan (BAP) Iwik dilimpahkan ke PN Bantul. Tanggungjawab proses hukum Iwik sepenuhnya berrada di tangan Pengadilan Negeri Bantul.
23 Juli: Jauh-jauh hari, Kajati DIY Asrief Adam SH menyatakan Iwik bisa dituntut bebas apabila bukti yang terungkap di persidangan memberi kesimpulan Iwik tak bersalah.
29 Juli: Iwik mulai disidangkan dengan acara pemeriksaan terdakwa dan pembacaan surat dakwaan. Dakwaan primair, Iwik didakwa melakukan pembunuhan berencana terhadap Udin dengan motif perselingkuhan. Iwik diancam dengan hukuman mati.
5 Agustus: Iwik dan penasehat hukumnya membacakan eksepsi. Dalam eksepsinya, Iwik mengungkapkan dirinya hanya korban rekayasa orang bernama Franki alias Serma Pol Edy Wuryanto (Kanitserse Polres Bantul) untuk kepentingan bisnis politik dan melindungi Bupati Bantul.
19 Agustus: Eksepsi terdakwa dan penasehat hukumnya ditolak Majelis Hakim. Sidang dilanjutkan dengan pemeriksaan pokok perkara.
2 September: Marsiyem, saksi kunci dalam kasus pembunuhan Udin ini, dengan histeris menyatakan bahwa pelaku pembunuh Udin bukan Dwi Sumaji alias Iwik.
22 September: Saksi Sunarti (istri Iwik) menerangkan bahwa Iwik pada malam kejadian pembunuhan Udin tidur bersama dirinya di rumah. Sepulang kerja, Iwik tidak pernah pergi kemana-mana. Alibi ini didukung tetangga Iwik (Heri Karyono dan Gunarso Wibowo) yang mengatakan bertemu Iwik di teras rumah Iwik, tidak berselang lama dengan terjadinya penganiayaan Udin di Bantul.
2 Oktober: Sidang mulai diteror oleh pendukung saksi Diharjo Purboko. Saksi ini memberikan pernyataan palsu di bawah sumpah sebagai sarjana hukum, padahal fakta menunjukkan ia adalah jebolan sebuah perguruan tinggi. Ia juga mengaku sebagai bos yang menemui Iwik di Hotel Queen of the South tanggal 21 Oktober 1996. Iwik menolak pengakuan Diharjo Purboko. Bos yang ditemuinya bukan Diharjo Purboko tapi bernama Jendra alias Ahmad Nizar, pengusaha asal Bogor dan kawan akrab Kapolda DIY Kolonel Pol Mulyono Sulaiman.
6 Oktober: Sidang diteror secara brutal oleh pendukung saksi Serma Pol Edy Wuryanto. Hakim memberikan peringatan dan mengusir keluar seorang pengunjung sidang pendukung saksi Edy Wuryanto. Iwik menolak kesaksian Serma Edy Wuryanto, dan ia mengatakan saksi ini berbohong.
20 Oktober: Iwik membeberkan kesaksiannya. Selain menyatakan korban rekayasa dan bisnis politik, ia hanya dipaksa menjalankan ske- nario rekayasa Franki alias Serma Pol Edy Wuryanto dengan alasan untuk melindungi kepentingan Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo.
30 Oktober: Wakil Jaksa Agung Soedjono C Atmonegoro SH menegaskan jaksa tidak akan ragu menuntut bebas Iwik apabila tidak diperoleh bukti-bukti yang menguatkan dakwaan dalam persidangan.
3 November: Iwik dituntut bebas oleh Jaksa Penuntut Umum yang terdiri dari Amrin Naim SH, Yusrin Nichoriawan SH, Ahmad Yuwono SH, dan Hartoko Subiantoro SH. Pertimbangannya, dalam persidangan tidak diperoleh bukti dan keterangan yang menguatkan dakwaan jaksa bahwa Iwik adalah pembunuh Udin.
27 November: Iwik divonis bebas! Majelis Hakim pemeriksa perkara terdiri dari Ny Endang Sri Murwati SH, Ny Mikaela Warsito SH, dan Soeparno SH. Pertimbangannya, tidak ada bukti yang menguatkan Iwik adalah pembunuh Udin. Motif perselingkuhan yang dituduhkan selama ini berarti gugur. Selain itu, keterangan memberatkan dari Serma Pol Edy Wuryanto dalam persidangan dinyatakan tidak dapat dipakai sebagai alat bukti keterangan. Selanjutnya muncul tuntutan agar polisi mencari, mengungkap motif, dan menangkap pelaku pembunuhan Udin yang sebenarnya[13]
Analisa Kasus
-        Pada kasus diatas dapat bila dikaitkan dengan penjelasan materi sebelumnya maka telah jelas bahwa kasus ini dapat gugur dan tidak dapat dilanjutkan karena kadaluarsa telah melewati batas pengusutan kasus yaitu 15 tahun.
-        Kraacht van gewijsde atau nebis in idem. Dalam kasus ini apabila telah melewati batas kadaluarsa maka si tersangka tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dan si tersangka akan resmi bebas.


BAB IV
KESIMPULAN

1.        Dalam pemberlakuan KUHP terdapat hal-hal yang dapat menyebabkan tidak dapatnya menuntut dan menjalani hukuman sebagaimana telah diatur dalam KUHP, hal-hal tersebut antara lain karena: Kraacht van gewijsde atau nebis in idem, matinya terdakwa/terpidana, lewat waktu, penyelesaian di luar pengadilan.
2.        Kadaluarsanya kasus yang tidap dapat diusut pada kasus diatas yaitu 15 tahun, sehingga tersangka pada kasus tersebut tidak dapat dituntut kembali. Hal ini sesuai dengan apa yang diatur dalam KUHP.

Oleh: Wulan Purnamasari 




[1] E. Utrecht, Hukum Pidana, Bandung: PT Penerbitan Universitas, 1958, hlm. 214
[2] Ibid, hlm. 215
[3]Ibid, hlm. 251-256
[4] E. Y. Kanter, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Jakarta, Storia Grafika, 2002. hlm. 431 – 432
[5] Ibid, Hlm. 433
[6] Adami Chazawi, Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan, dan Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan, dan Ajaran Kausalitas Bagian 2, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2005. hlm. 173
[7] Loebby Loqman, Kapita Selekta Tindak Pidana di Bidang Perekonomian, Jakarta, Datacom, 2002. hlm. 2
[8] H.J. Schravendijk, 1955, Buku Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia, J.B.Wolters, Jakarta-Groningen
[9] P.A.F.Lamintang, 1990, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung

[10] Mukhlis,dkk, 2009, Hukum Pidana, Syiah Kuala University Press, Banda Aceh
[11] Prodjodikoro, Prof. Dr. Wijono, 1967, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT.Eresco, Jakarta
[12] Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar