GOOD
GOVERNANCE DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A.
Pendahuluan
Tema yang sebenarnya
menjadi dambaan umat islam saat ini berkaitan dengan munculnya semangat
formalisasi hukum islam, walaupun tidak secara langsung, karena hukum islam
dalam hal ini hanya dijadikan sebagai “kaca mata” untuk melihat suatu sistem
birokrasi dalam pemerintahan kita saat ini. Tentunya, sistem birokrasi yang
bagus dalam persoalan ini adalah suatu sistem birokrasi yang mempunyai
nilai-nilai islam lebih dominan melalui standar norma-norma yang berlaku dalam
hukum islam.
Sebagian besar masyarakat muslim
memandang hubungan yang kuat antara islam dan demokrasi adalah pada kekuasaan
dengan ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa dalam menyatakan suatu perkara yang
dihadapi harus mengutamakan sistem musyawarah untuk mencapai mufakat. Hal ini
sejalan dengan konsep demokrasi yang memiliki pengertian “ kekuasaan ada
ditangan rakyat”. Maksudnya kebijakan dalam memutuskan suatu perkara itu
ditentukan oleh rakyat sebagai pemegang kekuasaan seutuhnya. Mekanisme yang
digunakan melalui musyawarah
antara berbagai pihak, terutama antara pihak yang berkuasa (pemerintah) dengan
rakyat (pihak yang dikuasai). Kesan yang berkembang, demokrasi seolah-olah hanya
mengatur bagaimana
rakyat berinteraksi dengan pemerintah atau sebaliknya. Jelasnya lagi, hal itu
identik dengan kekuasaan dan bagaimana tata cara mengelola kekuasaan.[1]
Sampai
saat ini rakyat Indonesia
masih mendambakan masa transisi ke arah demokrasi yang lebih genuin dan otentik, walaupun memerlukan proses
yang sangat panjang ditengah kian memburuknya situasi politik dan ekonomi.
Untuk mencapai transisi Indonesia
yang ideal, setidaknya harus terkait dengan tiga hal berikut; pertama, reformasi sistem (constitutional reform), yang menyangkut
perumusan kembali falsafah, kerangka dasar, dan perangkat legal sistem politik; kedua; reformasi kelembagaan
yang menyangkut pengembangan dan pemberdayaan (institutional reform and impowermant) lembaga-lembaga politik; ketiga; pengembangan
kultur atau budaya politik ( politic
culture) yang lebih demokratis.[2]
Keberlagsungan ketiga bidang tersebut harus berjalan secara simultan dan
berkesinambungan satu sama lain supaya tidak terjadi suatu ketimpangan dalam
perjalanannya.
Kondisi
sosial politik yang melatarbelakangi sistem birokrasi di negara kita menjadi
topik yang menarik untuk dikaji secara komprehensif. Dengan mengambil
simpul-simpul pertemuan antara hukum islam sebenarnya pola relasi ini lebih
merupakan representasi pertanggung jawaban akademik dan demokrasi, akan didapatkan
suatu pemahaman yang singkron mengenai
sistem demokrasi yang dicita-citakan oleh rakyat secara umum. Inilah yang
menjadi ketertarikan penulis sendiri untuk mengurai secara detail tentang Good
Governance dalam Perspektif Hukum Islam.
B.
Pengertian
Good Governance
Kata governance mempunyai
makna “the act. Manner, function, atau
power of goverment” yang kemudian diartikan lebih luas menjadi “the exercise of autbority over a stat,
district, organization, or institution”, “system of rulling or controlling”.[3]
Yang perlu menjadi catatan adalah bahwa governance
tidak diartikan secara khusus pada suatu sistem pemerintahan yang
eksklusif, namun pada penggunaan kekuasaan dalam suatu institusi atau
organisasi di luar pemerintah. Oleh karena itu, artikulasi governing tidak terbatas pada
pemerintahan saja, tetapi juga pada peran kekuasaan yang berada di luar
pemerintahan.
Selain itu, istilah Good Governance sebenarnya tidak
sebatas pada pemakaman yang bersifat konotatif saja, namun juga mencakup seluruh
pengelolaan baik pengelolaan pemerintah ataupun pengelolaan instansi atau
organisasi swasta khususnya yang berkaitan dengan pelayanan umum. Istilah ini
juga digunakan untuk menyambut pengelolaan organisasi pengelolaan bisnis yang
berorientasi pada pencapaian profit yang sering disebut dengan good corporate governance. Oleh karena
itu istilah itu lebih diartikan sebagai tata kelola.[4]
Dalam penggunaannya, istilah itu sudah menjadi pemahaman yang umum untuk
dihubungkan dengan sistem pemerintahan yang umum untuk dihubungkan dengan
sistem pemerintahan yang baik sesuai kategori tertentu.
Dalam
hal ini, Good Governance sering dihubungkan
pada sekumpulan nilai atau prinsip yang dijadikan kriteria acuan untuk menilai
atau suatu tata pemerintahan itu baik atau tidak. Sebagai perbandingan, menarik
untuk diperhatikan beberapa difinisi lain mengenai Good Governance seperti dari UNDP yang mengartikannya sebagai “ the exercise of political, economic, and
administrative autbority to manage a nation affair at all levels” atau
penggunaan kewenangan politik, ekonomi, dan administratif untuk mengelola
urusan suatu bangsa pada semua tingkatannya.[5]
Sementara
itu, bank dunia mengartikan Good
Governace sebagai “the way state
power is used in managing economic and sicial reresources sfor development of
society" atau cara bagaimana kekuasaan negara digunakan dalam rangka
mengelola sumber daya
ekonomi dan sosial untuk kepentingan masyarakat secara umum.[6]
Statis
Chandra Mishra memahaminya sebagai konsep tentang keadaan struktur pemerintah
terbaik yang dapat diidentifikasi dengan jelas untuk digunakan sebagai sebuah
model bagi negara-negara yang sedang berkembang. Namun ada beberapa ciri yang
dapat menandakan hal itu sebagai sebuah konsep governance yang diterapkan dalam suatu negara tertentu. Ciri-ciri
itu memberikan batasan tata kelola pemerintahan yang didasarkan pada
norma-norma yang dianutnya, kemudian adanya partisipasi publik, efisiensi,
keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas, transparansi, reponsivitas, dan visi.[7]
Faktor-faktor tersebut
menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi oleh suatu negara yan menginginkan
terbentuknya good governace. Disamping
itu, untuk menjalankan diperlukan berbagai pihak element yang ada dalam negara
untuk bersatu membangun sistem pemerintahan yang menjadi cita-cita bersama.
C.
Latar Belakang
Kemunculan Good Governace
Sebagaimana diketahui bahwa dasar negara adalah philosopy atau filsafat yang sangat mempengaruhi sendi-sendi kehidupan berbangsa
dan bernegara. Dasar negara adalah falsafah negara yang harus diterima
oleh seluruh rakyat Indonesia yang mempunyai beragam suku, agama,
bahasa, ras, dan budaya. Harus dipahami pula bahwa suatu negara dianggap sah
apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: (1) mempunyai daerah(2) mempunya
penduduk, (3) mempunyai pemerintahan yang sah, dan (4) adanya pengakuan satu
dua dari negara asing. Fokus permasalahan selanjutnya adalah pada sistem pemerintahan yang dibuatnya berupa beberapa pilihan seperti eenheid staat, statenbond,
bondstaat, federasi, monarki, atau negara
kesatuan. Kemudian julukan yang diberikan kepada pemimpinnya akan berupa gelar
raja, iman, atau presiden.[8] Itu adalah sebuah pilihan untuk menentukan identitas suatu negara,
yang harus melibatkan semua peran element rakyat dalam menentukan identitas
negaranya.
Dalam sejarah berdirinya Republik Indonesia, terdapat dua tokoh besar yaitu bung Karno dan Wedyodiningrat
yang berperan dalam setidaknya dua hal, pertama, kemerdekaan yang Indonesia itu merupakan “kemerdekaan” universal yang mengandung nilai-nilai humanisme dan internasionalisme (berdasarkan pidato 29 mei 1945). Kemanusiaan yang didengungkan oleh Indonesia bukanlah kemanusiaan yang mempunyai khas made in Indonesia, melainkan kemanusiaan universal yang mencakup seluruh manusia dan
sama sekali bukan akhir perjuangan bangsa. Dalam konteks ini kemerdekaan
merupakan jembatan atau jalan menuju perwujudan masyarakat adil dan makmur
berdasarkan ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan, persatuan, dan demokrasi.[9]
Nilai dasar “kemanusiaan” berperan sebagai “pendulum” pembangun bangsa
dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya, politik dan keagamaan. Seluruh
kebijakan diputuskan dalam rangka menjungjung nilai kemanusiaan dan nilai-nilai
kebenaran (kebaikan, kejujuran, tanggung jawab) yang berhubungan dengan hidup
manusia. Nilai semacam ini harus terus dikembangkan dan dipelihara oleh seluruh
warga negara Indonesia. Selain itu, nilai asasi itu harus dipahami betul untuk
menentukan arah pembangunan bangsa.[10] Dalam perkembangannya, rakyat semakin kuat keinginannya untuk memiliki
sistem pemerintahan yang benar-benar ideal, hingga hal ini turut mendorong
bergulirnya reformasi.[11] Konsep kesatuan tersebut adalah good governance, yang mana munculnya
konsep itu berawal dari kegelisahan-kegelisahan rakyat terhadap sistem
birokrasi atau pemerintahan sebelumnya yang masih carut marut.
D. Pandangan Hukum
Islam Terhadap Good Governance
Dalam memahami good governance dari sudut pandang syariah, terdapat suatu konsep khilafah (kepemimpinan) yang mengandung maksud bahwa seorang pemimpin
pemerintahan harus bertanggung jawab dan bertindak sesuai dengan tujuan syara’
yaitu mewujudkan kemaslahatan (kepentingan) dunia dan akhirat bagi umat.
Khilafah ini merupakan pengganti fungsi pembuat hukum islam, yakni nabi sendiri,
dalam urusan agama dan keduniaan. Kepemimpinan disini dimaksudkan sebagai
kapemimpinan yang menyeluruh yang berkaitan dengan urusan agama dan urusan
dunia sebagai pengganti Rasulullah SAW.[12]
Seseorang yang menjalankan fungsi khilafah disebut khalifah, yang berarti
orang yang menggantikan (kedudukan) orang sebelumnya; orang yang menggantikan
kedudukan orang lain; dan seorang yang mengambil alih tampat orang lain sesudahnya dalam berbagai persoalan. Ada dua hal pokok yang perlu
diperhatikan yaitu (1) prosedur pengangkatan mereka sebagai pengganti Nabi Saw.
Dalam memimpin umat islam (2) wewenang dan kekuasaan yang diatributkan kepada
para pengganti Nabi Saw.[13] Itulah konsep kepemimpinan dalam islam dalam menggambarkan sistem
pemerintahan yang menerapkan sistem birokrasi kekeluargaan atau berdasarkan
dengan kedekatan terhadap Nabi, meskipun nilai-nilai demokrasi sudah muncul.
Disamping itu, hal yang tidak kalah pentingnya adalah memperhatikan
ayat-ayat Al-Qur’an dan sunnah Nabi Saw.untuk menemukan nilai dasar yang dapat
dijadikan rujukan kriteria pengelolaan sistem pemerintahan yang baik. Salah satu
nilai yang ditunjukan dalam Al-Qur’an adalah tuntutan
untuk melakukan musyawarah dalam menyelesaikan suatu urusan.[14] Nilai itu menjadi rumusan asas hukum yang diberlakukan dalam masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam hal ini memiliki peran penting yang
sesuai dengan good governance. Keberadaan
masyarakat juga memiliki hal penting untuk menentukan legitimasi hukum dengan
kesepakatan yang telah dilakukannya. Kebijakan-kebijakan yang dimunculkan
mnjadi sebuah masukan besar dalam mengarahkan sistem birokrasi tersebut. Menurut Agus Dwiyanto, peran stakeholder dan aktor diluar pemerintahan dalam pengambilan keputusan dalam
melayani kebutuhan masyarakat dibidang pendidikan dan kesehatan masih sangat
diperlukan.[15] Pemerintah tidak dapat berbuat banyak apabila tidak ada bantuan dari
masyarakat luas. Pemerintah bersama masyarakat harus bekerja sama dalam
menangani kasus-kasus sosial seperti itu. Peran keduanya dibutuhkan lebih dari
sekedar kesepakatan (musyawarah mufakat) yaitu tindakan nyata dalam lingkungan masyarakat.
Nilai dasar selanjutnya berdasarkan hukum islam adalah prinsip keadilan. Prinsip itu tertera dalam Al-Qur’an dalam QS. Al-Mai’dah (5): 8.[16]
Prinsip itu menekankan kepada siapapun yang menduduki birokrasi
pemerintahan dan non-pemerintahan untuk mengedepankan sikap adil tanpa
memandang pilih kasih. Dari sikap adil itu akan memunculkan rasa kebersamaan
dan kedamaian dibawah suatu kebijakan yang adil.kemudian dasar hukum islam yang
lain adalah ayat Al-Qur’an QS.Al-Mai’dah (5): 58.[17]
Ayat di atas mengandung perintah untuk bertindak adil, termasuk dalam
memberikan suatu keputusan. Dalam hal ini para birokrat tidak diperbolehkan
memberikan suatu keputusan dengan hanya melihat kepentingan salah satu pihak dan merugikan pihak yang lain. Prinsip ini tentunya sangat
relevan untuk diterapkan disetiap pemerintahan yang masih memandang sebelah
mata dan melakukan setengah hati nilai-nilai keadilan. Seperti di Indonesia.
Dalam good governace, nilai keadilan menjadi pertimbangan utama yang
kemudian diturunkan dalam bentuk praktis berupa asas perlakuan yang sama (al-muamalah bi al-mithl). Perlakuan yang sama tersebut menjadi dasar hubungan antar manusia
termasuk dalam pemberian layanan sosial,[18]tanpa memandang hubungan kekerabatan, kelas sosial, pengaruh dalam
masyarakat, dan struktur dalam pemerintahan. Memang tidak mudah untuk
menerapkan prinsip ini karena sifat manusia yang gampang tergoda dengan iming-iming semata.
Pemerintahan yang baik adalah suatu pemerintahan yang mampu menegakan
keadilan diantara warganya. Bahkan kepada pihak-pihak yang tidak disukai
sekalipun, baik karena perbedaan kepentingan, agama, ataupun partai. Penegasan
keadilan didalam sumber-sumber hukum islam sangat banyak sekali, diantaranya
adalah.[19]
Selanjutnya, berkaitan dengan akuntabilitas dan kriteria lainnya yang
penting dalam good governance adalah adanya
transparansi yang dikeluarkan oleh pemerintah dan keberpihakan pada rakyat
ketika menentukan kebijakan publik.[23] Kurangnya transparansi dalam penentuan kebijakan publik dan tidak
dijadikannya kepentingan masyarakat luas sebagai acuannya menjadi sumber
maraknya praktek KKN dalam penyelenggaraan pemerintahan dan yang menyebabkan
keterpurukan terjadi di berbagai aspek.
E. PENUTUP
Good Governace yang diartikan sebagai penggunaan kekuasaan dalam suatu instansi atau
organisasi baik di dalam maupun di luar pemerintah yang baik dan profesional.
Artikulasi governing tidak terbatas pada pemerintahan saja, tetapi juga pada peran kekuasaan yang berada
diluar pemerintahan. Good Governance sering dihubungkan pada sekumpulan atau prinsip yang dijadikan
kriteria acuan untuk menilai apakah suatu pemerintahan yang baik atau tidak.
Nilai-nilai yang ada dalam pemerintah harus mengedepankan nilai kemanusiaan dan
keagamaan.
[1] A.M. Fawa, demokrasi
Teistis: upaya merangkai integrasi politik dan agama di indonesia (jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama,2001), hal.xi-xii.
[2] Azyumardi Azra, reposisi hubungan agama dan negara; merajut
kerukunan antar umat beragama (jakarta: Buku Kompas, 2002), hal. 5.
[3] David B. Guralink &
Victoria Neufeldt(ed.), Webster’s New
World College Dictionary, Thrid Edition ( USA: Macmillan, 1995), hal. 584.
[5] Lihat, Edi widodo, dkk.,
memahami Good Governance dan Good Corporate Governance (yogyakarta: YPAPI,
2004), hal. 9.
[6] Menurut UNDP ada tiga pilar utama yang membangun governance tersebut yaitu politik,
ekonomi dan administrasi . lihat, Sadu Wasistiono, “desentralisasi
[7] Satish Chandra Mishra,
“Pemerintah dan Pemerintahan: Memahami Ekonomi Politik Reformasi
Institusi,”dalam Jurnal Reformasi Ekonomi, Vol. 1, No. 2 (Oktober, Desember,
2000), hal. 42.
[8] S. Silalahi, Dasar-Dasar
Indonesia Merdeka: Versi Para Pendiri Negara (Jakarta Gramedia Pustaka Utama,
2001), hal. 65-66.
[9] William Chang,
Kerikil-Kerikil di Jalan Reformasi (Catatan-catatan dari Sudut Etika Sosial),
(Jakarta: Buku Kompas, 2002), hal. 68.
[11] Lihat, Soedarmayanti,
Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) dalam Rangka Otonomi Daerah
(Bandung: Penerbit Mandar Maju, 2003) hal.4.
[12] Abdul Aziz Dahlan,dkk., “Khilafah”,
dalam Ensiklopedi hokum Islam, Jilid 3 (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996),
hal.918.
[15]Dia melihat dalam konteks keindonesiaan, peran
masyarakat masih sangat terbatas karena tingkat pemahaman dan keterlibatannya
dalam good governance masih sangat minim. Disamping itu, penyediaan ruang gerak
bagi masyarakat pun masih sangat terbatas. Hal itu menjadikan good governance
masih sulit terwujud. Lihat, Dwiyanto,”Good Governance di Indonesia,” makalah
seminar mengenai Etika politik “Good Governance dan Money Politics,
“Universitas Muhammadiyah Magelang, 15 September 2003, hal. 22.
[19] Syamsul Anwar,”Membangun
Good Governance dalam Penyelenggaraan Birokrasi Publik di Indonesia: Tinjauan
Perspektif Syari’ah dengan Pendekatan Ilmu Ushul Fiqh” Pidato Pengukuhan Guru
Besar Ilmu Ushul Fiqih pada Fakultas Syari’ah tanggal 25 September, halaman
12-13.
[23] Sudirman dan Nizar
Suhendra,”Korupsi dan Budaya Masyarakat Indonesia,” dalam Hamid Baasyib, dkk.,
Mencari Uang Rakyat: 16 kajian Korupsi di Indonesia (Jakarta: Aksara
Foundation, 2002), hal.110-111.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar