Minggu, 17 Januari 2016

Good Governance Dalam Perspektif Hukum Islam

GOOD GOVERNANCE DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

A.    Pendahuluan
Tema yang sebenarnya menjadi dambaan umat islam saat ini berkaitan dengan munculnya semangat formalisasi hukum islam, walaupun tidak secara langsung, karena hukum islam dalam hal ini hanya dijadikan sebagai “kaca mata” untuk melihat suatu sistem birokrasi dalam pemerintahan kita saat ini. Tentunya, sistem birokrasi yang bagus dalam persoalan ini adalah suatu sistem birokrasi yang mempunyai nilai-nilai islam lebih dominan melalui standar norma-norma yang berlaku dalam hukum islam.
            Sebagian besar masyarakat muslim memandang hubungan yang kuat antara islam dan demokrasi adalah pada kekuasaan dengan ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa dalam menyatakan suatu perkara yang dihadapi harus mengutamakan sistem musyawarah untuk mencapai mufakat. Hal ini sejalan dengan konsep demokrasi yang memiliki pengertian “ kekuasaan ada ditangan rakyat”. Maksudnya kebijakan dalam memutuskan suatu perkara itu ditentukan oleh rakyat sebagai pemegang kekuasaan seutuhnya. Mekanisme yang digunakan melalui musyawarah antara berbagai pihak, terutama antara pihak yang berkuasa (pemerintah) dengan rakyat (pihak yang dikuasai). Kesan yang berkembang, demokrasi seolah-olah hanya mengatur bagaimana rakyat berinteraksi dengan pemerintah atau sebaliknya. Jelasnya lagi, hal itu identik dengan kekuasaan dan bagaimana tata cara mengelola kekuasaan.[1]
Sampai saat ini rakyat Indonesia masih mendambakan masa transisi ke arah demokrasi yang lebih genuin dan otentik, walaupun memerlukan proses yang sangat panjang ditengah kian memburuknya situasi politik dan ekonomi. Untuk mencapai transisi Indonesia yang ideal, setidaknya harus terkait dengan tiga hal berikut; pertama, reformasi sistem (constitutional reform), yang menyangkut perumusan kembali falsafah, kerangka dasar, dan perangkat legal sistem politik; kedua; reformasi kelembagaan yang menyangkut pengembangan dan pemberdayaan (institutional reform and impowermant) lembaga-lembaga politik; ketiga; pengembangan kultur atau budaya politik ( politic culture) yang lebih demokratis.[2] Keberlagsungan ketiga bidang tersebut harus berjalan secara simultan dan berkesinambungan satu sama lain supaya tidak terjadi suatu ketimpangan dalam perjalanannya.
Kondisi sosial politik yang melatarbelakangi sistem birokrasi di negara kita menjadi topik yang menarik untuk dikaji secara komprehensif. Dengan mengambil simpul-simpul pertemuan antara hukum islam sebenarnya pola relasi ini lebih merupakan representasi pertanggung jawaban akademik dan demokrasi, akan didapatkan suatu   pemahaman yang singkron mengenai sistem demokrasi yang dicita-citakan oleh rakyat secara umum. Inilah yang menjadi ketertarikan penulis sendiri untuk mengurai secara detail tentang Good Governance dalam Perspektif Hukum Islam.

B.    Pengertian Good Governance
Kata governance mempunyai makna “the act. Manner, function, atau power of goverment” yang kemudian diartikan lebih luas menjadi “the exercise of autbority over a stat, district, organization, or institution”, “system of rulling or controlling”.[3] Yang perlu menjadi catatan adalah bahwa governance tidak diartikan secara khusus pada suatu sistem pemerintahan yang eksklusif, namun pada penggunaan kekuasaan dalam suatu institusi atau organisasi di luar pemerintah. Oleh karena itu, artikulasi governing tidak terbatas pada pemerintahan saja, tetapi juga pada peran kekuasaan yang berada di luar pemerintahan.
            Selain itu, istilah Good Governance sebenarnya tidak sebatas pada pemakaman yang bersifat konotatif saja, namun juga mencakup seluruh pengelolaan baik pengelolaan pemerintah ataupun pengelolaan instansi atau organisasi swasta khususnya yang berkaitan dengan pelayanan umum. Istilah ini juga digunakan untuk menyambut pengelolaan organisasi pengelolaan bisnis yang berorientasi pada pencapaian profit yang sering disebut dengan good corporate governance. Oleh karena itu istilah itu lebih diartikan sebagai tata kelola.[4] Dalam penggunaannya, istilah itu sudah menjadi pemahaman yang umum untuk dihubungkan dengan sistem pemerintahan yang umum untuk dihubungkan dengan sistem pemerintahan yang baik sesuai kategori tertentu.
Dalam hal ini, Good Governance sering dihubungkan pada sekumpulan nilai atau prinsip yang dijadikan kriteria acuan untuk menilai atau suatu tata pemerintahan itu baik atau tidak. Sebagai perbandingan, menarik untuk diperhatikan beberapa difinisi lain mengenai Good Governance seperti dari UNDP yang mengartikannya sebagai “ the exercise of political, economic, and administrative autbority to manage a nation affair at all levels” atau penggunaan kewenangan politik, ekonomi, dan administratif untuk mengelola urusan suatu bangsa pada semua tingkatannya.[5]
Sementara itu, bank dunia mengartikan Good Governace sebagai “the way state power is used in managing economic and sicial reresources sfor development of society" atau cara bagaimana kekuasaan negara digunakan dalam rangka mengelola sumber daya ekonomi dan sosial untuk kepentingan masyarakat secara umum.[6]
Statis Chandra Mishra memahaminya sebagai konsep tentang keadaan struktur pemerintah terbaik yang dapat diidentifikasi dengan jelas untuk digunakan sebagai sebuah model bagi negara-negara yang sedang berkembang. Namun ada beberapa ciri yang dapat menandakan hal itu sebagai sebuah konsep governance yang diterapkan dalam suatu negara tertentu. Ciri-ciri itu memberikan batasan tata kelola pemerintahan yang didasarkan pada norma-norma yang dianutnya, kemudian adanya partisipasi publik, efisiensi, keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas, transparansi, reponsivitas, dan visi.[7]
Faktor-faktor tersebut menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi oleh suatu negara yan menginginkan terbentuknya good governace. Disamping itu, untuk menjalankan diperlukan berbagai pihak element yang ada dalam negara untuk bersatu membangun sistem pemerintahan yang menjadi cita-cita bersama.
C.    Latar Belakang Kemunculan Good Governace
Sebagaimana diketahui bahwa dasar negara adalah philosopy atau filsafat yang sangat mempengaruhi sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dasar negara adalah falsafah negara yang harus diterima oleh seluruh rakyat Indonesia yang mempunyai beragam suku, agama, bahasa, ras, dan budaya. Harus dipahami pula bahwa suatu negara dianggap sah apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: (1) mempunyai daerah(2) mempunya penduduk, (3) mempunyai pemerintahan yang sah, dan (4) adanya pengakuan satu dua dari negara asing. Fokus permasalahan selanjutnya adalah pada sistem pemerintahan yang dibuatnya berupa beberapa pilihan seperti eenheid staat, statenbond, bondstaat, federasi, monarki, atau negara kesatuan. Kemudian julukan yang diberikan kepada pemimpinnya akan berupa gelar raja, iman, atau presiden.[8] Itu adalah sebuah pilihan untuk menentukan identitas suatu negara, yang harus melibatkan semua peran element rakyat dalam menentukan identitas negaranya.
Dalam sejarah berdirinya Republik Indonesia, terdapat dua tokoh besar yaitu bung Karno dan Wedyodiningrat yang berperan dalam setidaknya dua hal, pertama, kemerdekaan yang Indonesia itu merupakan “kemerdekaan” universal yang mengandung nilai-nilai humanisme dan internasionalisme (berdasarkan pidato 29 mei 1945). Kemanusiaan yang didengungkan oleh Indonesia bukanlah kemanusiaan yang mempunyai khas made in Indonesia, melainkan kemanusiaan universal yang mencakup seluruh manusia dan sama sekali bukan akhir perjuangan bangsa. Dalam konteks ini kemerdekaan merupakan jembatan atau jalan menuju perwujudan masyarakat adil dan makmur berdasarkan ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan, persatuan, dan demokrasi.[9]
Nilai dasar “kemanusiaan” berperan sebagai “pendulum” pembangun bangsa dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya, politik dan keagamaan. Seluruh kebijakan diputuskan dalam rangka menjungjung nilai kemanusiaan dan nilai-nilai kebenaran (kebaikan, kejujuran, tanggung jawab) yang berhubungan dengan hidup manusia. Nilai semacam ini harus terus dikembangkan dan dipelihara oleh seluruh warga negara Indonesia. Selain itu, nilai asasi itu harus dipahami betul untuk menentukan arah pembangunan bangsa.[10] Dalam perkembangannya, rakyat semakin kuat keinginannya untuk memiliki sistem pemerintahan yang benar-benar ideal, hingga hal ini turut mendorong bergulirnya reformasi.[11] Konsep kesatuan tersebut adalah good governance, yang mana munculnya konsep itu berawal dari kegelisahan-kegelisahan rakyat terhadap sistem birokrasi atau pemerintahan sebelumnya yang masih carut marut.
D.    Pandangan Hukum Islam Terhadap Good Governance
Dalam memahami good governance dari sudut pandang syariah, terdapat suatu konsep khilafah (kepemimpinan) yang mengandung maksud bahwa seorang pemimpin pemerintahan harus bertanggung jawab dan bertindak sesuai dengan tujuan syara’ yaitu mewujudkan kemaslahatan (kepentingan) dunia dan akhirat bagi umat. Khilafah ini merupakan pengganti fungsi pembuat hukum islam, yakni nabi sendiri, dalam urusan agama dan keduniaan. Kepemimpinan disini dimaksudkan sebagai kapemimpinan yang menyeluruh yang berkaitan dengan urusan agama dan urusan dunia sebagai pengganti Rasulullah SAW.[12]
Seseorang yang menjalankan fungsi khilafah disebut khalifah, yang berarti orang yang menggantikan (kedudukan) orang sebelumnya; orang yang menggantikan kedudukan orang lain; dan seorang yang mengambil alih tampat orang lain sesudahnya dalam berbagai persoalan. Ada dua hal pokok yang perlu diperhatikan yaitu (1) prosedur pengangkatan mereka sebagai pengganti Nabi Saw. Dalam memimpin umat islam (2) wewenang dan kekuasaan yang diatributkan kepada para pengganti Nabi Saw.[13] Itulah konsep kepemimpinan dalam islam dalam menggambarkan sistem pemerintahan yang menerapkan sistem birokrasi kekeluargaan atau berdasarkan dengan kedekatan terhadap Nabi, meskipun nilai-nilai demokrasi sudah muncul.
Disamping itu, hal yang tidak kalah pentingnya adalah memperhatikan ayat-ayat Al-Qur’an dan sunnah Nabi Saw.untuk menemukan nilai dasar yang dapat dijadikan rujukan kriteria pengelolaan sistem pemerintahan yang baik. Salah satu nilai yang ditunjukan dalam Al-Qur’an adalah tuntutan untuk melakukan musyawarah dalam menyelesaikan suatu urusan.[14] Nilai itu menjadi rumusan asas hukum yang diberlakukan dalam masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam hal ini memiliki peran penting yang sesuai dengan good governance. Keberadaan masyarakat juga memiliki hal penting untuk menentukan legitimasi hukum dengan kesepakatan yang telah dilakukannya. Kebijakan-kebijakan yang dimunculkan mnjadi sebuah masukan besar dalam mengarahkan sistem birokrasi tersebut. Menurut Agus Dwiyanto, peran stakeholder dan aktor diluar pemerintahan dalam pengambilan keputusan dalam melayani kebutuhan masyarakat dibidang pendidikan dan kesehatan masih sangat diperlukan.[15] Pemerintah tidak dapat berbuat banyak apabila tidak ada bantuan dari masyarakat luas. Pemerintah bersama masyarakat harus bekerja sama dalam menangani kasus-kasus sosial seperti itu. Peran keduanya dibutuhkan lebih dari sekedar kesepakatan (musyawarah mufakat) yaitu tindakan nyata dalam lingkungan masyarakat.
Nilai dasar selanjutnya berdasarkan hukum islam adalah prinsip keadilan. Prinsip itu tertera dalam Al-Qur’an dalam QS. Al-Mai’dah (5): 8.[16]
Prinsip itu menekankan kepada siapapun yang menduduki birokrasi pemerintahan dan non-pemerintahan untuk mengedepankan sikap adil tanpa memandang pilih kasih. Dari sikap adil itu akan memunculkan rasa kebersamaan dan kedamaian dibawah suatu kebijakan yang adil.kemudian dasar hukum islam yang lain adalah ayat Al-Qur’an QS.Al-Mai’dah (5): 58.[17]
Ayat di atas mengandung perintah untuk bertindak adil, termasuk dalam memberikan suatu keputusan. Dalam hal ini para birokrat tidak diperbolehkan memberikan suatu keputusan dengan hanya melihat kepentingan salah satu pihak dan merugikan pihak yang lain. Prinsip ini tentunya sangat relevan untuk diterapkan disetiap pemerintahan yang masih memandang sebelah mata dan melakukan setengah hati nilai-nilai keadilan. Seperti di Indonesia.
Dalam good governace, nilai keadilan menjadi pertimbangan utama yang kemudian diturunkan dalam bentuk praktis berupa asas perlakuan yang sama (al-muamalah bi al-mithl). Perlakuan yang sama tersebut menjadi dasar hubungan antar manusia termasuk dalam pemberian layanan sosial,[18]tanpa memandang hubungan kekerabatan, kelas sosial, pengaruh dalam masyarakat, dan struktur dalam pemerintahan. Memang tidak mudah untuk menerapkan prinsip ini karena sifat manusia yang gampang tergoda dengan iming-iming semata.
Pemerintahan yang baik adalah suatu pemerintahan yang mampu menegakan keadilan diantara warganya. Bahkan kepada pihak-pihak yang tidak disukai sekalipun, baik karena perbedaan kepentingan, agama, ataupun partai. Penegasan keadilan didalam sumber-sumber hukum islam sangat banyak sekali, diantaranya adalah.[19]
QS. Al-Ma’idah.[20]
QS. An-Nisa’.[21]
QS. An-Nisa’.[22]
Selanjutnya, berkaitan dengan akuntabilitas dan kriteria lainnya yang penting dalam good governance adalah adanya transparansi yang dikeluarkan oleh pemerintah dan keberpihakan pada rakyat ketika menentukan kebijakan publik.[23] Kurangnya transparansi dalam penentuan kebijakan publik dan tidak dijadikannya kepentingan masyarakat luas sebagai acuannya menjadi sumber maraknya praktek KKN dalam penyelenggaraan pemerintahan dan yang menyebabkan keterpurukan terjadi di berbagai aspek.
E.     PENUTUP
Good Governace yang diartikan sebagai penggunaan kekuasaan dalam suatu instansi atau organisasi baik di dalam maupun di luar pemerintah yang baik dan profesional. Artikulasi governing tidak terbatas pada pemerintahan saja, tetapi juga pada peran kekuasaan yang berada  diluar pemerintahan. Good Governance sering dihubungkan pada sekumpulan atau prinsip yang dijadikan kriteria acuan untuk menilai apakah suatu pemerintahan yang baik atau tidak. Nilai-nilai yang ada dalam pemerintah harus mengedepankan nilai kemanusiaan dan keagamaan.



[1] A.M. Fawa, demokrasi  Teistis: upaya merangkai integrasi politik dan agama di indonesia (jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2001), hal.xi-xii.
[2] Azyumardi Azra, reposisi hubungan agama dan negara; merajut kerukunan antar umat beragama (jakarta: Buku Kompas, 2002), hal. 5.
[3] David B. Guralink & Victoria Neufeldt(ed.), Webster’s New World College Dictionary, Thrid Edition ( USA: Macmillan, 1995), hal. 584.
[4] Syamsul Anwar, studi hukum islam kontemporer(jakarta: RM Books, 2007), hal. 40-41.
[5] Lihat, Edi widodo, dkk., memahami Good Governance dan Good Corporate Governance (yogyakarta: YPAPI, 2004), hal. 9.
[6] Menurut UNDP  ada tiga pilar utama yang membangun governance tersebut yaitu politik, ekonomi dan administrasi . lihat, Sadu Wasistiono, “desentralisasi
[7] Satish Chandra Mishra, “Pemerintah dan Pemerintahan: Memahami Ekonomi Politik Reformasi Institusi,”dalam Jurnal Reformasi Ekonomi, Vol. 1, No. 2 (Oktober, Desember, 2000), hal. 42.
[8] S. Silalahi, Dasar-Dasar Indonesia Merdeka: Versi Para Pendiri Negara (Jakarta Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal. 65-66.
[9] William Chang, Kerikil-Kerikil di Jalan Reformasi (Catatan-catatan dari Sudut Etika Sosial), (Jakarta: Buku Kompas, 2002), hal. 68.
[10] Ibid, hl. 68-69
[11] Lihat, Soedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) dalam Rangka Otonomi Daerah (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 2003) hal.4.
[12] Abdul Aziz Dahlan,dkk., “Khilafah”, dalam Ensiklopedi hokum Islam, Jilid 3 (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), hal.918.
[13] Ibid, hal. 919
[14] Lihat, Q.S> Asy-Syura (3): 159.
[15]Dia melihat dalam konteks keindonesiaan, peran masyarakat masih sangat terbatas karena tingkat pemahaman dan keterlibatannya dalam good governance masih sangat minim. Disamping itu, penyediaan ruang gerak bagi masyarakat pun masih sangat terbatas. Hal itu menjadikan good governance masih sulit terwujud. Lihat, Dwiyanto,”Good Governance di Indonesia,” makalah seminar mengenai Etika politik “Good Governance dan Money Politics, “Universitas Muhammadiyah Magelang, 15 September 2003, hal. 22.
[16] Q.S. Al-Ma’idah (5): 8.
[17] Q.S. Al-Ma’idah (5): 58
[18] Abu Zahrah, al-Ilaqat ad-Dauliyyah fi al-Islam (Mesir Dar Fikr al-Arabi, t.t) hal. 36.
[19] Syamsul Anwar,”Membangun Good Governance dalam Penyelenggaraan Birokrasi Publik di Indonesia: Tinjauan Perspektif Syari’ah dengan Pendekatan Ilmu Ushul Fiqh” Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Ushul Fiqih pada Fakultas Syari’ah tanggal 25 September, halaman 12-13.
[20] QS. Al-Ma’idah (5): 8.
[21] QS. An-Nisa (4): 58.
[22] QS. An-Nisa (4): 42
[23] Sudirman dan Nizar Suhendra,”Korupsi dan Budaya Masyarakat Indonesia,” dalam Hamid Baasyib, dkk., Mencari Uang Rakyat: 16 kajian Korupsi di Indonesia (Jakarta: Aksara Foundation, 2002), hal.110-111.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar