Minggu, 17 Januari 2016

Good Governance Dalam Perspektif Hukum Islam

GOOD GOVERNANCE DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

A.    Pendahuluan
Tema yang sebenarnya menjadi dambaan umat islam saat ini berkaitan dengan munculnya semangat formalisasi hukum islam, walaupun tidak secara langsung, karena hukum islam dalam hal ini hanya dijadikan sebagai “kaca mata” untuk melihat suatu sistem birokrasi dalam pemerintahan kita saat ini. Tentunya, sistem birokrasi yang bagus dalam persoalan ini adalah suatu sistem birokrasi yang mempunyai nilai-nilai islam lebih dominan melalui standar norma-norma yang berlaku dalam hukum islam.
            Sebagian besar masyarakat muslim memandang hubungan yang kuat antara islam dan demokrasi adalah pada kekuasaan dengan ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa dalam menyatakan suatu perkara yang dihadapi harus mengutamakan sistem musyawarah untuk mencapai mufakat. Hal ini sejalan dengan konsep demokrasi yang memiliki pengertian “ kekuasaan ada ditangan rakyat”. Maksudnya kebijakan dalam memutuskan suatu perkara itu ditentukan oleh rakyat sebagai pemegang kekuasaan seutuhnya. Mekanisme yang digunakan melalui musyawarah antara berbagai pihak, terutama antara pihak yang berkuasa (pemerintah) dengan rakyat (pihak yang dikuasai). Kesan yang berkembang, demokrasi seolah-olah hanya mengatur bagaimana rakyat berinteraksi dengan pemerintah atau sebaliknya. Jelasnya lagi, hal itu identik dengan kekuasaan dan bagaimana tata cara mengelola kekuasaan.[1]
Sampai saat ini rakyat Indonesia masih mendambakan masa transisi ke arah demokrasi yang lebih genuin dan otentik, walaupun memerlukan proses yang sangat panjang ditengah kian memburuknya situasi politik dan ekonomi. Untuk mencapai transisi Indonesia yang ideal, setidaknya harus terkait dengan tiga hal berikut; pertama, reformasi sistem (constitutional reform), yang menyangkut perumusan kembali falsafah, kerangka dasar, dan perangkat legal sistem politik; kedua; reformasi kelembagaan yang menyangkut pengembangan dan pemberdayaan (institutional reform and impowermant) lembaga-lembaga politik; ketiga; pengembangan kultur atau budaya politik ( politic culture) yang lebih demokratis.[2] Keberlagsungan ketiga bidang tersebut harus berjalan secara simultan dan berkesinambungan satu sama lain supaya tidak terjadi suatu ketimpangan dalam perjalanannya.
Kondisi sosial politik yang melatarbelakangi sistem birokrasi di negara kita menjadi topik yang menarik untuk dikaji secara komprehensif. Dengan mengambil simpul-simpul pertemuan antara hukum islam sebenarnya pola relasi ini lebih merupakan representasi pertanggung jawaban akademik dan demokrasi, akan didapatkan suatu   pemahaman yang singkron mengenai sistem demokrasi yang dicita-citakan oleh rakyat secara umum. Inilah yang menjadi ketertarikan penulis sendiri untuk mengurai secara detail tentang Good Governance dalam Perspektif Hukum Islam.

B.    Pengertian Good Governance
Kata governance mempunyai makna “the act. Manner, function, atau power of goverment” yang kemudian diartikan lebih luas menjadi “the exercise of autbority over a stat, district, organization, or institution”, “system of rulling or controlling”.[3] Yang perlu menjadi catatan adalah bahwa governance tidak diartikan secara khusus pada suatu sistem pemerintahan yang eksklusif, namun pada penggunaan kekuasaan dalam suatu institusi atau organisasi di luar pemerintah. Oleh karena itu, artikulasi governing tidak terbatas pada pemerintahan saja, tetapi juga pada peran kekuasaan yang berada di luar pemerintahan.
            Selain itu, istilah Good Governance sebenarnya tidak sebatas pada pemakaman yang bersifat konotatif saja, namun juga mencakup seluruh pengelolaan baik pengelolaan pemerintah ataupun pengelolaan instansi atau organisasi swasta khususnya yang berkaitan dengan pelayanan umum. Istilah ini juga digunakan untuk menyambut pengelolaan organisasi pengelolaan bisnis yang berorientasi pada pencapaian profit yang sering disebut dengan good corporate governance. Oleh karena itu istilah itu lebih diartikan sebagai tata kelola.[4] Dalam penggunaannya, istilah itu sudah menjadi pemahaman yang umum untuk dihubungkan dengan sistem pemerintahan yang umum untuk dihubungkan dengan sistem pemerintahan yang baik sesuai kategori tertentu.
Dalam hal ini, Good Governance sering dihubungkan pada sekumpulan nilai atau prinsip yang dijadikan kriteria acuan untuk menilai atau suatu tata pemerintahan itu baik atau tidak. Sebagai perbandingan, menarik untuk diperhatikan beberapa difinisi lain mengenai Good Governance seperti dari UNDP yang mengartikannya sebagai “ the exercise of political, economic, and administrative autbority to manage a nation affair at all levels” atau penggunaan kewenangan politik, ekonomi, dan administratif untuk mengelola urusan suatu bangsa pada semua tingkatannya.[5]
Sementara itu, bank dunia mengartikan Good Governace sebagai “the way state power is used in managing economic and sicial reresources sfor development of society" atau cara bagaimana kekuasaan negara digunakan dalam rangka mengelola sumber daya ekonomi dan sosial untuk kepentingan masyarakat secara umum.[6]
Statis Chandra Mishra memahaminya sebagai konsep tentang keadaan struktur pemerintah terbaik yang dapat diidentifikasi dengan jelas untuk digunakan sebagai sebuah model bagi negara-negara yang sedang berkembang. Namun ada beberapa ciri yang dapat menandakan hal itu sebagai sebuah konsep governance yang diterapkan dalam suatu negara tertentu. Ciri-ciri itu memberikan batasan tata kelola pemerintahan yang didasarkan pada norma-norma yang dianutnya, kemudian adanya partisipasi publik, efisiensi, keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas, transparansi, reponsivitas, dan visi.[7]
Faktor-faktor tersebut menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi oleh suatu negara yan menginginkan terbentuknya good governace. Disamping itu, untuk menjalankan diperlukan berbagai pihak element yang ada dalam negara untuk bersatu membangun sistem pemerintahan yang menjadi cita-cita bersama.
C.    Latar Belakang Kemunculan Good Governace
Sebagaimana diketahui bahwa dasar negara adalah philosopy atau filsafat yang sangat mempengaruhi sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dasar negara adalah falsafah negara yang harus diterima oleh seluruh rakyat Indonesia yang mempunyai beragam suku, agama, bahasa, ras, dan budaya. Harus dipahami pula bahwa suatu negara dianggap sah apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: (1) mempunyai daerah(2) mempunya penduduk, (3) mempunyai pemerintahan yang sah, dan (4) adanya pengakuan satu dua dari negara asing. Fokus permasalahan selanjutnya adalah pada sistem pemerintahan yang dibuatnya berupa beberapa pilihan seperti eenheid staat, statenbond, bondstaat, federasi, monarki, atau negara kesatuan. Kemudian julukan yang diberikan kepada pemimpinnya akan berupa gelar raja, iman, atau presiden.[8] Itu adalah sebuah pilihan untuk menentukan identitas suatu negara, yang harus melibatkan semua peran element rakyat dalam menentukan identitas negaranya.
Dalam sejarah berdirinya Republik Indonesia, terdapat dua tokoh besar yaitu bung Karno dan Wedyodiningrat yang berperan dalam setidaknya dua hal, pertama, kemerdekaan yang Indonesia itu merupakan “kemerdekaan” universal yang mengandung nilai-nilai humanisme dan internasionalisme (berdasarkan pidato 29 mei 1945). Kemanusiaan yang didengungkan oleh Indonesia bukanlah kemanusiaan yang mempunyai khas made in Indonesia, melainkan kemanusiaan universal yang mencakup seluruh manusia dan sama sekali bukan akhir perjuangan bangsa. Dalam konteks ini kemerdekaan merupakan jembatan atau jalan menuju perwujudan masyarakat adil dan makmur berdasarkan ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan, persatuan, dan demokrasi.[9]
Nilai dasar “kemanusiaan” berperan sebagai “pendulum” pembangun bangsa dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya, politik dan keagamaan. Seluruh kebijakan diputuskan dalam rangka menjungjung nilai kemanusiaan dan nilai-nilai kebenaran (kebaikan, kejujuran, tanggung jawab) yang berhubungan dengan hidup manusia. Nilai semacam ini harus terus dikembangkan dan dipelihara oleh seluruh warga negara Indonesia. Selain itu, nilai asasi itu harus dipahami betul untuk menentukan arah pembangunan bangsa.[10] Dalam perkembangannya, rakyat semakin kuat keinginannya untuk memiliki sistem pemerintahan yang benar-benar ideal, hingga hal ini turut mendorong bergulirnya reformasi.[11] Konsep kesatuan tersebut adalah good governance, yang mana munculnya konsep itu berawal dari kegelisahan-kegelisahan rakyat terhadap sistem birokrasi atau pemerintahan sebelumnya yang masih carut marut.
D.    Pandangan Hukum Islam Terhadap Good Governance
Dalam memahami good governance dari sudut pandang syariah, terdapat suatu konsep khilafah (kepemimpinan) yang mengandung maksud bahwa seorang pemimpin pemerintahan harus bertanggung jawab dan bertindak sesuai dengan tujuan syara’ yaitu mewujudkan kemaslahatan (kepentingan) dunia dan akhirat bagi umat. Khilafah ini merupakan pengganti fungsi pembuat hukum islam, yakni nabi sendiri, dalam urusan agama dan keduniaan. Kepemimpinan disini dimaksudkan sebagai kapemimpinan yang menyeluruh yang berkaitan dengan urusan agama dan urusan dunia sebagai pengganti Rasulullah SAW.[12]
Seseorang yang menjalankan fungsi khilafah disebut khalifah, yang berarti orang yang menggantikan (kedudukan) orang sebelumnya; orang yang menggantikan kedudukan orang lain; dan seorang yang mengambil alih tampat orang lain sesudahnya dalam berbagai persoalan. Ada dua hal pokok yang perlu diperhatikan yaitu (1) prosedur pengangkatan mereka sebagai pengganti Nabi Saw. Dalam memimpin umat islam (2) wewenang dan kekuasaan yang diatributkan kepada para pengganti Nabi Saw.[13] Itulah konsep kepemimpinan dalam islam dalam menggambarkan sistem pemerintahan yang menerapkan sistem birokrasi kekeluargaan atau berdasarkan dengan kedekatan terhadap Nabi, meskipun nilai-nilai demokrasi sudah muncul.
Disamping itu, hal yang tidak kalah pentingnya adalah memperhatikan ayat-ayat Al-Qur’an dan sunnah Nabi Saw.untuk menemukan nilai dasar yang dapat dijadikan rujukan kriteria pengelolaan sistem pemerintahan yang baik. Salah satu nilai yang ditunjukan dalam Al-Qur’an adalah tuntutan untuk melakukan musyawarah dalam menyelesaikan suatu urusan.[14] Nilai itu menjadi rumusan asas hukum yang diberlakukan dalam masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam hal ini memiliki peran penting yang sesuai dengan good governance. Keberadaan masyarakat juga memiliki hal penting untuk menentukan legitimasi hukum dengan kesepakatan yang telah dilakukannya. Kebijakan-kebijakan yang dimunculkan mnjadi sebuah masukan besar dalam mengarahkan sistem birokrasi tersebut. Menurut Agus Dwiyanto, peran stakeholder dan aktor diluar pemerintahan dalam pengambilan keputusan dalam melayani kebutuhan masyarakat dibidang pendidikan dan kesehatan masih sangat diperlukan.[15] Pemerintah tidak dapat berbuat banyak apabila tidak ada bantuan dari masyarakat luas. Pemerintah bersama masyarakat harus bekerja sama dalam menangani kasus-kasus sosial seperti itu. Peran keduanya dibutuhkan lebih dari sekedar kesepakatan (musyawarah mufakat) yaitu tindakan nyata dalam lingkungan masyarakat.
Nilai dasar selanjutnya berdasarkan hukum islam adalah prinsip keadilan. Prinsip itu tertera dalam Al-Qur’an dalam QS. Al-Mai’dah (5): 8.[16]
Prinsip itu menekankan kepada siapapun yang menduduki birokrasi pemerintahan dan non-pemerintahan untuk mengedepankan sikap adil tanpa memandang pilih kasih. Dari sikap adil itu akan memunculkan rasa kebersamaan dan kedamaian dibawah suatu kebijakan yang adil.kemudian dasar hukum islam yang lain adalah ayat Al-Qur’an QS.Al-Mai’dah (5): 58.[17]
Ayat di atas mengandung perintah untuk bertindak adil, termasuk dalam memberikan suatu keputusan. Dalam hal ini para birokrat tidak diperbolehkan memberikan suatu keputusan dengan hanya melihat kepentingan salah satu pihak dan merugikan pihak yang lain. Prinsip ini tentunya sangat relevan untuk diterapkan disetiap pemerintahan yang masih memandang sebelah mata dan melakukan setengah hati nilai-nilai keadilan. Seperti di Indonesia.
Dalam good governace, nilai keadilan menjadi pertimbangan utama yang kemudian diturunkan dalam bentuk praktis berupa asas perlakuan yang sama (al-muamalah bi al-mithl). Perlakuan yang sama tersebut menjadi dasar hubungan antar manusia termasuk dalam pemberian layanan sosial,[18]tanpa memandang hubungan kekerabatan, kelas sosial, pengaruh dalam masyarakat, dan struktur dalam pemerintahan. Memang tidak mudah untuk menerapkan prinsip ini karena sifat manusia yang gampang tergoda dengan iming-iming semata.
Pemerintahan yang baik adalah suatu pemerintahan yang mampu menegakan keadilan diantara warganya. Bahkan kepada pihak-pihak yang tidak disukai sekalipun, baik karena perbedaan kepentingan, agama, ataupun partai. Penegasan keadilan didalam sumber-sumber hukum islam sangat banyak sekali, diantaranya adalah.[19]
QS. Al-Ma’idah.[20]
QS. An-Nisa’.[21]
QS. An-Nisa’.[22]
Selanjutnya, berkaitan dengan akuntabilitas dan kriteria lainnya yang penting dalam good governance adalah adanya transparansi yang dikeluarkan oleh pemerintah dan keberpihakan pada rakyat ketika menentukan kebijakan publik.[23] Kurangnya transparansi dalam penentuan kebijakan publik dan tidak dijadikannya kepentingan masyarakat luas sebagai acuannya menjadi sumber maraknya praktek KKN dalam penyelenggaraan pemerintahan dan yang menyebabkan keterpurukan terjadi di berbagai aspek.
E.     PENUTUP
Good Governace yang diartikan sebagai penggunaan kekuasaan dalam suatu instansi atau organisasi baik di dalam maupun di luar pemerintah yang baik dan profesional. Artikulasi governing tidak terbatas pada pemerintahan saja, tetapi juga pada peran kekuasaan yang berada  diluar pemerintahan. Good Governance sering dihubungkan pada sekumpulan atau prinsip yang dijadikan kriteria acuan untuk menilai apakah suatu pemerintahan yang baik atau tidak. Nilai-nilai yang ada dalam pemerintah harus mengedepankan nilai kemanusiaan dan keagamaan.



[1] A.M. Fawa, demokrasi  Teistis: upaya merangkai integrasi politik dan agama di indonesia (jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2001), hal.xi-xii.
[2] Azyumardi Azra, reposisi hubungan agama dan negara; merajut kerukunan antar umat beragama (jakarta: Buku Kompas, 2002), hal. 5.
[3] David B. Guralink & Victoria Neufeldt(ed.), Webster’s New World College Dictionary, Thrid Edition ( USA: Macmillan, 1995), hal. 584.
[4] Syamsul Anwar, studi hukum islam kontemporer(jakarta: RM Books, 2007), hal. 40-41.
[5] Lihat, Edi widodo, dkk., memahami Good Governance dan Good Corporate Governance (yogyakarta: YPAPI, 2004), hal. 9.
[6] Menurut UNDP  ada tiga pilar utama yang membangun governance tersebut yaitu politik, ekonomi dan administrasi . lihat, Sadu Wasistiono, “desentralisasi
[7] Satish Chandra Mishra, “Pemerintah dan Pemerintahan: Memahami Ekonomi Politik Reformasi Institusi,”dalam Jurnal Reformasi Ekonomi, Vol. 1, No. 2 (Oktober, Desember, 2000), hal. 42.
[8] S. Silalahi, Dasar-Dasar Indonesia Merdeka: Versi Para Pendiri Negara (Jakarta Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal. 65-66.
[9] William Chang, Kerikil-Kerikil di Jalan Reformasi (Catatan-catatan dari Sudut Etika Sosial), (Jakarta: Buku Kompas, 2002), hal. 68.
[10] Ibid, hl. 68-69
[11] Lihat, Soedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) dalam Rangka Otonomi Daerah (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 2003) hal.4.
[12] Abdul Aziz Dahlan,dkk., “Khilafah”, dalam Ensiklopedi hokum Islam, Jilid 3 (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), hal.918.
[13] Ibid, hal. 919
[14] Lihat, Q.S> Asy-Syura (3): 159.
[15]Dia melihat dalam konteks keindonesiaan, peran masyarakat masih sangat terbatas karena tingkat pemahaman dan keterlibatannya dalam good governance masih sangat minim. Disamping itu, penyediaan ruang gerak bagi masyarakat pun masih sangat terbatas. Hal itu menjadikan good governance masih sulit terwujud. Lihat, Dwiyanto,”Good Governance di Indonesia,” makalah seminar mengenai Etika politik “Good Governance dan Money Politics, “Universitas Muhammadiyah Magelang, 15 September 2003, hal. 22.
[16] Q.S. Al-Ma’idah (5): 8.
[17] Q.S. Al-Ma’idah (5): 58
[18] Abu Zahrah, al-Ilaqat ad-Dauliyyah fi al-Islam (Mesir Dar Fikr al-Arabi, t.t) hal. 36.
[19] Syamsul Anwar,”Membangun Good Governance dalam Penyelenggaraan Birokrasi Publik di Indonesia: Tinjauan Perspektif Syari’ah dengan Pendekatan Ilmu Ushul Fiqh” Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Ushul Fiqih pada Fakultas Syari’ah tanggal 25 September, halaman 12-13.
[20] QS. Al-Ma’idah (5): 8.
[21] QS. An-Nisa (4): 58.
[22] QS. An-Nisa (4): 42
[23] Sudirman dan Nizar Suhendra,”Korupsi dan Budaya Masyarakat Indonesia,” dalam Hamid Baasyib, dkk., Mencari Uang Rakyat: 16 kajian Korupsi di Indonesia (Jakarta: Aksara Foundation, 2002), hal.110-111.

MAKALAH Shalat

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
            Ibadah merupakan suatu kewajiban bagi umat manusia terhadap tuhannya dan dengan ibadah manusia akan mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan di Dunia dan di Akhirat nanti. Bentuk dan jenis Ibadah sangat bermacam-macam, seperti Shalat, puasa, naik haji, membaca Al Qur’an, jihad dan lainnya.
Shalat merupakan salah satu kewajiban bagi kaum muslimin  yang sudah baligh berakal, dan harus dikerjakan bagi seorang mukmin dalam keadaan bagaimanapun.
Sahlat merupkan rukun Islam yang kedua setelah syahadat. Islam didirikan atas lima sendi (tiang) salah satunya adalah shalat, sehingga barang siapa yang mendirikan shalat, maka dia telah mendirikan agama, dan barang siapa yang meninggalkan shalat, maka ia meruntuhkan agama (Islam)
Shalat yang wajib harus didirikan dalam sehari semalam  sebanyak lima kali, berjumlah 17 raka’at. Shalat tersebut wajib dilaksanakan oleh muslim baligh tanpa terkecuali baik dalam keadaan sehat mapun sakit, dalam keadaan susah maupun senang, lapang ataupun sempit.Selain shalat wajib yang lima ada juga shalat sunat.
            Untuk membatasi masalah bahasan, maka penulis hanya membahas tentang shalat wajib yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.




B. Identifikasi Masalah
Hubungan ibadah dengan ilmu fiqih sangatlah erat karena dengan ilmu fiqih kwalitas ibadah dapat tercapai dengan baik. Dan dengan Ilmu Fiqih  dapat  mempelajari tata cara Shalat, syarat syahnya shalat,serta wajib dan sunahnya shalat,dan lain-lain.

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Mengingat luasnya bahasan yang berhubungan dengan shalat , maka perlu kiranya penulis  memberikan batasan masalah yang akan penulis uraikan  nantinya. Secara garis besarnya Penulis membahas tentang :
1.     Pengertian shalat
2.     Dalil-dalil Yang Mewajibkan Shalat
3.     Syarat-syarat Shalat
4.     Rukun Shalat
5.     Yang Membatalkan Shalat
6.     Sunah dalam Melakukan Shalat
7.     Makruh Shalat
8.     Perbedaan Laki-laki dan Perempuan dalam Shalat
9.     Hal-hal Yang Mungkin Terlupakan
10.   Beberapa Pelajaran dari Kewajiban Shalat
11.   Macam-macam shalat wajib
12.   Waktu yang terlarang untuk shalat
13.   Shalat dalam perjalanan
14.   Shalat Qashar
15.   Tatacara shalat bagi orang sakit


















BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Shalat
Sholat berasal dari bahasa Arab As-Sholah  yang berarti do'a,. Sedangkan secara Syar’i (terminologi), sholat adalah perkataan dan perbuatan tertentu/khusus yang dibuka dengan takbir (takbiratul ihram) dan ditutup dengan salam sesuai dengan syarat dan rukunnya.
Secara lahiriah Shalat berarti ‘Beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan di akhiri dengan salam, yang dengannya kita beribadah kepada Allah menurut syarat-syarat yang telah ditentukan’(Sidi Gazalba,88).
Secara hakiki Shalat ialah ‘Berhadapan hati, jiwa dan raga kepada Allah,secara yang mendatangkan rasa takut kepada-Nya atau mendhairkan hajat dan keperluan kita kepada Allah yang kita sembah dengan perkataan dan perbuatan’ (Hasbi Asy-syidiqi,59)
Dalam pengertian lain Shalat ialah salah satu sarana komunikasi antara hamba dengan Tuhannya sebagai bentuk ibadah yang didalamnya merupakan amalan yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, serta sesuai dengan syarat dan rukun yang telah ditentukan syara’ (Imam Basyahri Assayuthi,30).
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Shalat adalah Suatu ibadah kepada Tuhan, berupa perkataan dengan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan syara’ berupa penyerahan diri secara lahir batin kepada Allah dalam rangkah ibadah dan memohon ridho-Nya.

2.      Hukum dan Dalil Yang Mewajibkan Shalat
Hukum sholat dapat dikategorisasikan sebagai berikut :
Fardhu, Sholat fardhu ialah salat yang diwajibkan untuk mengerjakannya. Sholat Fardhu terbagi lagi menjadi dua, yaitu :
Fardhu ‘Ain : ialah kewajiban yang diwajibkan kepada mukallaf langsung berkaitan dengan dirinya dan tidak boleh ditinggalkan ataupun dilaksanakan oleh orang lain, seperti sholat lima waktu, dan sholat Jum’at(Fardhu 'Ain untuk pria).
Fardhu Kifayah : ialah kewajiban yang diwajibkan kepada mukallaf tidak langsung berkaitan dengan dirinya. Kewajiban itu menjadi sunnah setelah ada sebagian orang yang mengerjakannya. Akan tetapi bila tidak ada orang yang mengerjakannya maka kita wajib mengerjakannya dan menjadi berdosa bila tidak dikerjakan. Seperti sholat jenazah.
Nafilah (sholat sunah),Sholat Nafilah adalah sholat-sholat yang dianjurkan atau disunnahkan akan tetapi tidak diwajibkan. Sholat nafilah terbagi lagi menjadi dua, yaitu
Nafil Muakkad adalah salat sunah yang dianjurkan dengan penekanan yang kuat (hampir mendekati wajib), seperti sholat dua hari raya, sholat tarawih, sholat dhuha, sholat tahajjud, sholat sunah witir dan sholat sunah thawaf.
Nafil Ghairu Muakkad adalah sholat sunah yang dianjurkan tanpa penekanan yang kuat, seperti sholat sunah Rawatib dan sholat sunah yang sifatnya insidentil (tergantung waktu dan keadaan, seperti salat kusuf/khusuf hanya dikerjakan ketika terjadi gerhana).

Dalil yang mewajibkan shalat banyak sekali, baik dalam Al Qur’an  maupun dalam Hadits nabi Muhammad SAW.
Dalil Ayat-ayat Al Qur’an yang mewajibkan shalat antara lain berbunyi;
Artinya:
“Dan dirikanlah Shalat,  dan keluarkanlah Zakat, dan ruku’lah bersama-sama orang yang ruku’(QS.Al Baqarah;43)
Artinya;
Kerjakanlah shalat, sesungguhnya shalat mencegah perbuatan yang jahat dan mungkar”(QS. Al-Ankabut;45)
Perintah shalat ini hendaklah ditanamkan dalam hati dan jiwa kita umat muslim  dan anak-anak dengan cara pendidikan yang lcermat, dan dilakukan sejak kecil sebagaimana tersebut dalam hadis nabi Muhammad SAW :
Artinya ;
Perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan shalat diwaktu usia mereka meningkat tujuh tahun, dan pukulah ( kalau mereka enggan melasanakan shalat) diwaktu usia mereka meningkat sepuluh tahun (HR.. Abu Dawud)

3.      Syarat-Syarat Shalat
·       Beragama islam
·       Sudah baligh dan berakal
·       Suci dari hadats
·       Suci seluruh anggota badan pakaian dan tempat
·       Menutup aurat
·       Masuk waktu yang telah ditentukan
·       Menghadap kiblat
·       Mengetahui mana rukun wajib dan sunah.

4.      Rukun Shalat
·       Niat
·       Takbiratul ihram
·       Berdiri tegak ,bagi yang kuasa ketika shalat fardhu. Boleh duduk,atau berbareng bagi yang sedang sakit.
·       Membaca surat Al-Fatihah pada tiap-tiap raka’at
·       Ruku’ dengan tumakninah
·       I’tidal dengan tumakninah
·       Sujud dua kali dengan tumakninah
·       Duduk antara dua sujud dengan tumakninah
·       Duduk tasyahud akkhir dengan tumakninah
·       Membaca tasyahud akhir
·       Membaca shalawat nabi pada tasyahud akhir
·       Membaca salam yang pertama
·       Tertib; (Berurutan sesuai rukun-rukunnya)
5.      Yang Membatalkan Shalat
Shalat akan batal atau tidak sah apabila salah satu rukunnya tidak dilaksanakan atau ditinggalkan dengan sengaja.
Adapun hal-hal yang dapat membatalkan shalat adalah sebagai berikut :
·       Berhadats
·       Terkena Najis yang tidak dimaafkan.
·       Berkata-kata dengan sengaja di;luar bacaan shalat.
·       Terbuka auratnya
·       Mengubah niat, misal ingin memutuskan shalat (niat berhenti shalat)
·       Makan atau /minum.walau sedikit,
·       Bergerak tiga kali berturut-turut, diluar gerakan shalat.
·       Membelakangi kiblat
·       Menambah rukun yang berupa perbuatan, seperti menambah ruku’sujud atau lainnya dengan sengaja.
·       Tertawa terbahak-bahak
·       Mendahului Imam dua rukun.
·       Murtad, keluar dari Islam.

6.      Sunah dalam Melakukan Shalat
Waktu mengerjakan shalat ada ,dua sunah, yaitu sunah Ab’adh dan sunah Hai’at
a.      Sunah Ab’adh
1.      Membaca tasyahud awal
2.      Membaca shalawat pada tasyahud awal,
3.      Membaca shalawat atas keluarga Nabi SAW pada tasyahud akhir.
4.      Membaca Qunut pada shalat Subuh dan shalat witir.
b.     Sunah Hai’at
1.      Mengangkat keduabelah tangan ketika takbiratul ikhram,ketika akan ruku’ dan ketika berdiri dari ruku’.
2.      Meletakan telapak tangan yang kanan diatas pergelangan tangan kiri ketika sedekap,
3.      Membaca do’a Iftitah sehabis takbiratul ikhram.
4.      Membaca Ta’awwudz ketika hendak membaca fatihah,
5.      Membaca Amiin ketika sesudah membaca Fatihah,
6.      Membaca surat Al-Qur’an pada dua raka’at permulaan sehabis membaca Fatihah,
7.      Mengeraskan bacaan Fatihah dan surat pada raka’at pertama dan kedua, pada shalat magrib, isya’ dan subuh selain makmum.
8.      Membaca Takbir ketika gerakan naik turun,
9.      Membaca tasbih ketika ruku’ dan sujud.
10.  Membaca “sami’allaahu liman hamidah” ketika bangkit dari ruku’ dan membaca “Rabbanaa lakal Hamdu” ketika I’tidal,
11.  Meletakan kedua telapak tangan diatas paha ketika duduk tasyahud awal dan tasyahud akhir,dengan membentangkan yang kiri dan mengenggamkan yang kanan, kecuali jari telumjuk.
12.  Duduk Iftirasy  dalam semua duduk shalat,
13.  Duduk Tawarruk pada duduk tasyahud akhir
14.  Membaca salam yang kedua.
15.  Memalingkan muka ke kanan dan ;kekiri ketika membaca salam pertama dan kedua

7.      Makruh Shalat
Orang yang sedang shalat dimakruhkan :
·       Menaruh telapak tangan di dalam lengan bajunya ketika Takbiratul ikhram, ruku’ dan jsujud.
·       Menutup mulutnya rapat rapat.
·       Terbuka kepalanya,
·       Bertolak pinggang,
·       Memalingkan muka ke kiri dan ke kanan.
·       Memejamkan mata,
·       Menengadah ke langit,
·       Menahan hadats
·       Berludah
·       Mengerjakan shalat di atas kuburan,
·       Melakukan hal-hal yang mengurangi kekhusukan shalat.

8.      Perbedaan Laki-laki Dan Perempuan Dalam Shalat
LAKI-LAKI
·       Merenggangkan kedua siku tangannya dari kedua lambungnya waktu ruku’ dan sujud.
·       Waktu ruku’ dan sujud mengangkat perutnya  dari pahanya.
·       Menyaringkan suaranya /bacaanya dikeraskan di tempatr keras.
·       Bila member tahu sesuatu Membaca Tasbih, yakni ‘Subhaanallah’
·       Auratnya barang antara Pusar dan lutut.
PEREMPUAN
·       Merapatkan satu anggota kepada anggota lainnya.
·       Meletakan perutnya pada dua tangan/ sikunya ketika sujud.
·       Merendahkan suaranya/ bacaanya dihadapan laki-laki lain yang bukan muhrimnya.
·       Bila memberitahu sesuatu dengan bertepuk tangan,yakni tangan kanan ditepukkan ke punggung telapak tangan kiri.
·       Auratnya seluruh anggouta tubuh kecuali bagian muka dan kedua telapak tangan


9.      Hal-hal Yang Mungkin Dilupakan
Dalam melaksanakan shalat mungkin ada hal-hal yang terlupakan misalnya;
1.     Lupa melaksanakan yang Fardhu
Bila yang terlupakan itu fardhu maka tidak cukup diganti dengan sujud sawi bila ia ingat ketika sedang shalat, maka haruslah cepat-cepat ia melaksanakannya. Bila ingat setelah salam, sedang jarak waktunya masih sebentar, wajiblah baginya mengulangi (menunaikan) apa yang terlupakan, lalu sujud sawi (sujud sunah karena lupa) sebelum salam.
2.     Lupa melaksanakan sunah Ab’adh,
Jika yang terlupakan itu sunah ab-adh, kita tidak perlu mengulangi apa yang terlupakan itu,kita meneruskan shalat itu sampai selesai, dan sebelum salam kita disunahkan sujud sawi.
3.     Lupa melakksanakan Sunah hai’at
Jika yang terlupakan itu sunah  hai’at, maka tidak perlu diulangi apa yang terlupakan itu dan tidak perlu sujud sawi.
Sujud sawi itu hukumnya sunah, dan letaknya sebelum salam, dikerjakan dua kali sebagaimana sujud biasa.
Apabila orang bimbang atau ragu tentan bilangan jumlah raka’at yang telah dilakukan, haruslah ia menetapkan dengan yakin, yaitu yang paling sedikit dan hendaklah ia sujud sawi.

10.  Beberapa Pelajaran dari Kewajiban Shalat
a.      Shalat merupakan syarat menjadi taqwa.
Taqwa merupakan hal pyang penting dalam islam karena dapat menentukan tingkah laku manusia, orang-orang yang betul-betul taqwa tidak mungkin melakukan perbuatan keji dan mungkar, dan salah satu syarat orang yang betul-betul taqwa adalah  mendirikan shalat sebagaimana firman tuhan dalam surat Al-Bakarah ayat; 43,dan 110, Surat Al- Ankabut ayat; 45,dan surat An-Nuur, ayat; 56 .
b.     Shalat merupakan benteng kemaksiatan
Shalat sebagai benteng kemaksiatan artinya Shalat dapat mencega perbuatan keji dan mungkar. Semakin baik kwalitas shalat seseorang maka semakin efektif pula benteng pertahanannya untuk memelihara dirinya dari perbuatan maksiat.
c.      Shalat mendidik perbuatan baik dan jujuur
Shalat akan mendidik perbuatan baik seseorang apabila dilaksanakan secara khusuk. Banyak orang-orang yang shalat celaka, karena lalai akan shalatnya.
Selain mendidik perbuatan baik Shalat juga mendidik perbuatan jujur dan tertib, orang yang mendirikan shalat dengan baik tidak .mungkin meninggalkan syarat dan rukunnya, karena apabila salah satu syarat atau rukunnya ditinggalkan maka shalatnta akan batal atau tidak sah.
d.     Shalat akan membangun etos kerja
Sebagaimana keterangan di atas bahwa pada intinya shalat merupakan penentu apakah orang-orang itu baik atau buruk, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun di tempat dimana mereka bekerja. Apabila ia melaksanakan shalat dengan khusuk dan ikhlas karena Allah, maka hal ini akan mempengaruhi terhadap etos kerja, mereka tidak akan melakukan korupsi atau tidak jujur dalam bekerja melaksanakan tugas.
11. Macam-macam shalat wajib
A. Macam-macam sholat wajib:

Sholat Isya' yaitu sholat yang dikerjakan 4 (empat) raka'at dengan dua kali tasyahud dan satu kali salam. Waktu pelaksanaannya dilakukan menjelang malam (+ pukul 19:00 s/d menjelang fajar)yang diiringi dengan sholat sunnah qobliyah (sebelum) dan ba'diyah (sesudah) sholat isya.
Sholat Subuh yaitu sholat yang dikerjakan 2 (dua) raka'at dengan satu kali salam. Adapaun waktu pelaksanaannya dilakukan setelah fajar (+ pukul 04:10) yang hanya diiringi dengan sholat sunnah qobliyah saja, sedang ba'diyah dilarang.
Sholat Lohor (Dhuhur) yaitu sholat yang dikerjakan 4 (empat) raka'at dengan dua kali tasyahud dan satu kali salam. Adapun waktu pelaksaannya dilakukan sa'at matahari tepat di atas kepala (tegak lurus) + pukul 12:00 siang, yang diiringi dengan sholat sunnah qobliyah dan sholat sunnah ba'diyah (dua raka'at-dua raka'at atau empat raka'at-empat raka'at dengan satu kali salam).
Sholat Ashar yaitu sholat yang dikerjakan 4 (empat) raka'at dengan dua kali tasyahud dan satu kali salam. Adapun waktu pelaksanaannya dilakukan setelah matahari tergelincir (+ pukul 15:15 sore atau sebatas pandangan mata) yang hanya diiringi oleh sholat sunnah qobliyah dengan dua raka'at atau empat raka'at (satu kali salam).
Sholat Maghrib yaitu sholat yang dikerjakan 3 (tiga) raka'at dengan dua kali tasyahud dan satu kali salam. Adapun waktu pelaksanaanya dilakukan setelah matahari terbenam (+ pukul 18:00) yang diiringi oleh sholat sunnah ba'diyah dua raka'at atau empat raka'at dengan satu kali salam, sedang sholat sunnah qobliyah hanya dianjurkan saja bila mungkin : lakukan, tapi bila tidak : jangan (karena akan kehabisan waktu).
12. Waktu yang terlarang untuk sholat
Sebagaimana yang telah diteangkan bahwa sholat sunnah mutlak itu tidak mempunyai waktu yang tertentu, tetapi semua waktu boleh untuk sholat sunnah mutlak, kecuali beberapa waktu yang berikut:
·       Sesudah Subuh sampai terbit matahari
·       Sesudah Ashar sampai terbenam matahari
·       Tengah hari selin hari Jum’at
·       Tatkala terbit matahari sampai setinggi tombak (jam 8-9)
·       Tatkala hampir terbenam matahari sampai terbenamnya
    ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Ada tiga waktu di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk melaksanakan shalat di tiga waktu tersebut atau menguburkan jenazah kami, yaitu ketika matahari terbit sampai tinggi, ketika seseorang berdiri di tengah hari saat matahari berada tinggi di tengah langit (tidak ada bayangan di timur dan di barat) sampai matahari tergelincir dan ketika matahari miring hendak tenggelam sampai benar-benar tenggelam.” (HR. Muslim no. 1926)
Dalam hadits di atas kita pahami ada tiga waktu yang terlarang bagi kita untuk melaksanakan shalat di waktu tersebut, yaitu:
·       Ketika matahari terbit sampai tinggi
·       Saat matahari di tengah langit, ketika tidak ada bayangan benda di timur dan di barat
·       Ketika matahari hendak tenggelam sampai benar-benar tenggelam
Dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu disebutkan, termasuk waktu yang dilarang untuk shalat adalah setelah shalat subuh sampai matahari tinggi dan setelah shalat ashar sampai matahari tenggelam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak ada shalat setelah subuh sampai matahari tinggi dan tidak ada shalat setelah ashar sampai matahari tenggelam.” (HR. Al-Bukhari no. 586 dan Muslim no. 1920)
13. Shalat Dalam Perjalanan
Ciri khas syariat Islam adalah keringanan dan kemudahan yang tersebar di hampir semua bagian ibadah. Salah satunya adalah keringanan untuk menjama’ dan mengqashar shalat. Menjama’ adalah melakukan dua shalat dalam satu waktu. Misalnya, shalat Zhuhur dan shalat Ashar dikerjakan di waktu Zhuhur atau di waktu Ashar. Sedangkan mengqashar adalah mengurangi jumlah rakaat shalat ruba'iyah (yang jumlah rakaatnya empat) menjadi dua rakaat.
Namun semua keringanan itu punya aturan, sejumlah syarat dan ketentuan untuk bisa dilakukan. Tidak boleh asal gabung atau asal mengurangi begitu saja.
I. Shalat Jama'
Ada dua jenis jama', yang pertama disebut jama’ taqdim dan yang kedua disebut jama’ ta'khir. Jama’ taqdim adalah melakukan dua shalat pada waktu shalat yang pertama. Jama’ tadim ini hanya ada dua saja. yaitu shalat Zhuhur dan shalat Ashar dilakukan pada waktu Zhuhur. Lalu shalat Maghrib dan shalat Isya' dilakukan pada waktu Maghrib.Di luar keduanya, tidak ada jama’ lainnya.
A. Hal-hal Yang Membolehkan Jama'
a.        Dalam keadaan safar yang panjang sejauh orang berjalan kaki atau naik kuda selama dua hari. Para ulama kemudian mengkonversikan jarak ini menjadi 89 km atau tepatnya 88,704 km. Hujan yang turun membolehkan dijama'nya Mahgrib dan Isya' di waktu Isya, namun tidak untuk jama’ antara Zhuhur dan Ashar.
Dengan dalil :
“Sesungguhnya merupakan sunnah bila hari hujan untuk menjama’ antara shalat Maghrib dengan Isya'” (HR. Atsram)
b.     Keadaan sakit menurut Imam Ahmad bisa membolehkan seseorang menjama’ shalat. Dalilnya adalah hadits nabawi
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjama’ shalat bukan karena takut juga bukan karena hujan. “
B. Syarat Jama’ Taqdim
Untuk dibolehkan dan sah-nya jama’ taqdim, paling tidak harus dipenuhi 4 syarat. Bila salah satu syarat ini tidak terpenuhi, tidak sah bila dilakukan jama’ taqdim.
a.      Niat Sejak Shalat Yang Pertama
Misalnya kita menjama’ shalat Zhuhur dengan shalat Ashjar di waktu Zhuhur, maka sejak berniat shalat Zhuhur kita juga harus sudah berniat untuk menjama’ dengan Ashar. Niat untuk menjama’ ini masih dibolehkan selama shalat Zhuhur belum selesai. Jadi batas kebolehan berniatnya hingga sebelum mengucapkan salam dari shalat Zhuhur. Bila selesai salam kita baru berniat untuk menjama', jama taqdim tidak boleh dilakukan. Sehingga shalat Ashar hanya boleh dilakukan nanti bila waktu Ashar telah tiba.
b.     Tertib
Misalnya kita menjama’ shalat Maghrib dengan shalat Isya' dengan taqdim, yaitu di waktu Maghrib, maka keduanya harus dilakukan sesuai dengan urutan waktunya. Harus shalat Maghrib dulu yang dikerjakan baru kemudian shalat Isya'. Bila shalat Isya' yang dikerjakan terlebih dahulu, maka tidak sah hukumnya.  Namun bila bukan jama’ taqdim, dimungkinkan untuk melakukannnya dengan terbalik, yaitu shalat Isya' dulu baru shalat Maghrib. Meski pun tetap lebih utama bila dilakukan dengan tertb urutan waktunya.
c.       Al-Muwalat (Bersambung)
Maksudnya antara shalat yang awal dengan shalat kedua tidak boleh terpaut waktu yang lama. Boleh diselingi sekadar lama waktu orang melakukan shalat dua rakaat yang ringan. Juga boleh diselingi dengan mengambil wudhu'. Tapi tidak boleh bila diselingi pekerjaan lain dalam waktu yang terlalu lama. Disunnahkan di antara jeda waktu itu untuk mengulangi adzan dan iqamah, tapi bukan shalat sunnah. Sebab pada hakikatnya kedua shalat ini disatukan. Ketiga syarat ini berlaku mutlak untuk jama’ taqdim namun untuk jama’ ta'khir bukan menjadi syarat, hanya menjadi sunnah saja.
d.     Masih Berlangsungnya Safar Hingga Takbiratul Ihram
Shalat Yang Kedua Misalnya kita menjama’ taqdim shalat Maghrib dengan Isya' di waktu Maghrib, maka pada saat Isya' kita harus masih dalam keadaan safar atau perjalanan. Paling tidak pada saat takbiratul ihram shalat Isya'.  Hal itu terbayang kalau kita melakukannya di kapal laut misalnya. Kapal itu harus masih dalam pelayaran pada saat kita takbiratul ihram shalat Isya. Tidak mengapa bila selama shalat Isya itu, kapal sudah merapat ke pelabuhan negeri kita.

C.Syarat Jama’ Ta'khir
Sedangkan syarat dibolehkannya jama’ ta'khir hanya ada dua saja. Yaitu adalah :
a.      Berniat Untuk Menjama' Ta'khir Sebelum Habisnya
Waktu Shalat Yang Pertama. Misalnya kita berniat untuk menjama’ shalat Maghrib dengan Isya di waktu Isya', maka sebelum habis waktu Maghrib, kita wajib untuk berniat untuk menjama’ takhir shalat Maghrib di waktu Isya'. Niat itu harus dilakuakan sebelum habisnya waktu shalat Maghrib.
b.     Safar Harus Masih Berlangsung Hingga Selesainya Shalat Yang Kedua. Kita masih harus dalam perjalanan hingga selesai shalat Maghrib dan Isya'. Tidak boleh jama’ ta'khir itu dilakukan di rumah setelah safar sudah selesai. Sebab syarat menjama’ shalat adalah safar, maka bila safar telah selesai, tidak boleh lagi melakukan jama'. Oleh karena itu, bila kita mau menjama’ ta'khir, jangan lakukan di rumah, melainkan sebelum sampai ke rumah atau selama masih dalam kondisi perjalanan.
Bolehkah Shalat Isya' Dulu Baru Maghrib?
Bila jama’ taqdim, tidak boleh mendahulukan shalat Isya', tapi boleh bila jama’ ta'khir. Namun tetap lebih utama bila dilakukan sesuai urutan shalatnya. Kecuali ada uzdur tertentu yang tidak memungkinkan mendahulukan shalat Maghirb. Misalnya, di waktu Isya di suatu masjid dimana orang-orang sedang shalat Isya', tidak mungkin para musafir yang singgah mengerjakan shalat Maghrib dengan berjamaah.
14. Shalat Qashar
Allah SWT berfirman di dalam Al-quran al-Kariem tentang keringanan bagi orang yang sedang dalam perjalanan untuk mengurangi jumlah bilangan rakaat shalat. Pengurangan bilangan rakaat ini disebut juga dengan istilah Qashr. Yaitu pada shalat fardhu yang jumlah rakaatnya empat dikurangi menjadi dua rakaat. Sedangkan yang jumlahnya tiga rakaat (shalat Maghrib) dan dua rakaat (shalat Shubuh) tidak ada pengurangan jumlah rakaat.
1. Dasar dari Al-Quran
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat, jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.(QS. An-Nisa : 110)
2. Dasar dari Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:  Dari ‘Aisah radhiyallahu ‘anhu berkata : “Awal diwajibkan shalat adalah dua rakaat, kemudian ditetapkan bagi shalat safar dan disempurnakan ( 4 rakaat) bagi shalat hadhar (tidak safar)” (Muttafaqun’alaihi)  Dari ‘Aisah radhiyallahu ‘anhu berkata: ”Diwajibkan shalat 2 rakaat kemudian Nabi hijrah, maka diwajibkan 4 rakaat dan dibiarkan shalat safar seperti semula (2 rakaat)” (HR Bukhari)
Dalam riwayat Imam Ahmad menambahkan :
“Kecuali Maghrib, karena Maghrib adalah shalat witir di siang hari dan shalat Subuh agar memanjangkan bacaan di dua rakaat tersebut”
·       Kapankah Dibolehkan Menjama` / Qashar Shalat?
Sebenarnya untuk membolehkan seseorang menjama` shalatnya, ada beberapa syarat yang harus terpenuhi. Tidak sembarang keadaan bisa membolehkan jama` shalat, sebab kewajiban shalat itu sudah memiliki waktu yang tetap dan pasti. Dan dimana pun seorang muslim mendapatkan waktu shalat, maka disitu dia bisa melakukan shalat. Hal ini sangat jauh berbeda dengan bentuk ibadah ahli kitab yang diwajibkan untuk ibadah HANYA didalam rumah ibadahnya yang khusus. Tidak boleh dilakukan di sembarang tempat.  Buat umat Muhammad, bumi telah dijadikan suci, baik untuk tayammum atau pun untuk melakukan shalat. Kapan pun seorang muslim mendengar Adzan, pada prinsipnya dia bisa langsung mengerjakan shalat di tempat itu. Sebagaimana hadits nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini :
“Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu bahwa nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,”Telah dijadikan bumi ini bagiku dan bagi umatku sebagai masjid dan suci. Dimana pun umatku mendapatkan waktu shalat, maka dia suci. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian, hampir-hampir tidak ada alasan bagi setiap muslim untuk tidak shalat atau mengabung-gabung shalatnya, selama kondisi masih memungkinkan.  Diantara penyebab dibolehkannya jama` dan qashar adalah safar adalah :
1. Bepergian atau safar
Syarat yang harus ada dalam perjalanan itu menurut ulama fiqih antara lain :
a. Niat Safar
b. Memenuhi jarak minimal dibolehkannya safar yaitu 4 burd (88, 656 km ). Sebagian ulama berbeda dalam menentukan jarak minimal.
c. Keluar dari kota tempat tinggalnya
d. Shafar yang dilakukan bukan safar maksiat
2. Sakit
Imam Ahmad bin Hanbal membolehka jama` karena disebabkan sakit. Begitu juga Imam Malik dan sebagian pengikut Asy-Syafi`iyyah.  Sedangkan dalam kitab Al-Mughni karya Ibnu Qudamah dari mazhab Al-Hanabilah menuliskan bahwa sakit adalah hal yang membolehkan jama` shalat. Syeikh Sayyid Sabiq menukil masalah ini dalam Fiqhussunnah-nya.  Sedangkan Al-Imam An-Nawawi dari mazhab Asy-Syafi`iyyah menyebutkan bahwa sebagian imam berpendapat membolehkan menjama` shalat saat mukim (tidak safar) karena keperluan tapi bukan menjadi kebiasaan1. Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Ibnu Sirin dan Asyhab dari kalangan Al-Malikiyah. Begitu juga Al-Khattabi menceritakan dari Al-Quffal dan Asysyasyi al-kabir dari kalangan Asy-Syafi`iyyah.
1 dalam Syarah An-Nawawi jilid 5 halaman 219
Begitu juga dengan ibnul munzir yang menguatkan pendapat dibolehkannya jama` ini dengan perkataan Ibnu Abbas ra, “beliau tidak ingin memberatkan ummatnya”.
Allah SWT berfirman:
“Allah tidak menjadikan dalam agama ini kesulitan”. (QS. Al-Hajj : 78)
“Dan bagi orang sakit tidak ada kesulitan” (QS. Annur : 61)
3. Haji
Para jamaah haji disyariatkan untuk menjama` dan mengqashar shalat zhuhur dan Ashar ketika berga di Arafah dan di Muzdalifah dengan dalil hadits berikut ini : Dari Abi Ayyub al-Anshari ra. Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjama` Maghrib dan Isya` di Muzdalifah pada haji wada`. (HR. Bukhari 1674).
4. Hujan
Dari Ibnu Abbas RA. Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di Madinah tujuh atau delapan ; Zuhur, Ashar, Maghrib dan Isya`”. Ayyub berkata,”Barangkali pada malam turun hujan?”. Jabir berkata,”Mungkin”. (HR. Bukhari dan Muslim)1.
Dari Nafi` maula Ibnu Umar berkata,”Abdullah bin Umar bila para umaro menjama` antara maghrib dan isya` karena hujan, beliau ikut menjama` bersama mereka”. (HR. Ibnu Abi Syaibah)2.
Hal seperti juga dilakukan oleh para salafus shalih seperti Umar bin Abdul Aziz, Said bin Al-Musayyab, Urwah bin az-Zubair, Abu Shahih Bukhari 543 dan Shahih Muslim 705  dengan sanad Shahih
Bakar bin Abdurrahman dan para masyaikh lainnya di masa itu. Demikian dituliskan oleh Imam Malik dalam Al-Muwattha` jilid 3 halaman 40.  Selain itu ada juga hadits yang menerangkan bahwa hujan adalah salah satu sebab dibolehkannya jama` qashar.
Dari Ibnu Abbas ra. Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjama` zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya` di Madinah meski tidak dalam keadaan takut maupun hujan.” (HR. Muslim)1
.
5. Keperluan Mendesak
Bila seseorang terjebak dengan kondisi dimana dia tidak punya alternatif lain selain menjama`, maka sebagian ulama membolehkannya. Namun hal itu tidak boleh dilakukan sebagai kebiasaan atau rutinitas.
Dalil yang digunakan adalah dalil umum seperti yang sudah disebutkan diatas.
Allah SWT berfirman :
 “Allah tidak menjadikan dalam agama ini kesulitan”. (QS. Al-Hajj : 78)
Dari Ibnu Abbas ra, “beliau tidak ingin memberatkan ummatnya”.
Dari Ibnu Abbas ra. Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjama` zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya` di Madinah meski tidak dalam keadaan takut maupun hujan.” (HR. Muslim).
C. Jarak Dibolehkan Jama` / Qashar
Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan menjama` shalat dilihat dari segi batas minimal jarak perjalanan.
1. Pendapat Pertama :
1. Imam Malik ra, Imam Asy-Syafi`i ra, Imam Ahmad bin Hanbal ra. dan lainnya mengatakan minimal berjarak 4 burud (4 farsakh). Para ulama sepakat menyatakan bahwa jarak 1 Farsakh itu sama dengan 4 mil. Dalam tahkik kitab Bidayatul Mujtahid dituliskan bahwa 4 burud itu sama dengan 88,704 km.
2. Pendapat Kedua : 
Abu Hanifah dan Kufiyun mengatakan minimal perjalanan 3 hari.
3. Pendapat Ketiga :
Sedangkan Zahiri mengatakan tidak ada batas minimal seperti yang telah kami sebutkan di atas. Jadi mutlak safar, artinya berapa pun jaraknya yang penting sudah masuk dalam kriteria safar atau perjalanan.  Seorang musafir dapat mengambil rukhsoh shalat dengan mengqashar dan menjama’ jika telah memenuhi jarak tertentu.  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Dari Yahya bin Yazid al-Hana’i berkata, saya bertanya pada Anas bin Malik tentang jarak shalat Qashar? “Anas menjawab:” Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika keluar menempuh jarak 3 mil atau 3 farsakh beliau shalat dua rakaat” (HR Muslim)
Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:” Wahai penduduk Mekkah janganlah kalian mengqashar shalat kurang dari 4 burd dari Mekah ke Asfaan” (HR at-Tabrani, adDaruqutni) Dari Ibnu Syaibah dari arah yang lain berkata:” Qashar shalat dalam jarak perjalanan sehari semalam”.
Adalah Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu mengqashar shalat dan buka puasa pada perjalanan menepun jarak 4 burd yaitu 16 farsakh”. Ibnu Abbas menjelaskan jarak minimal dibolehkannya qashar shalat yaitu 4 burd atau 16 farsakh. 1 farsakh = 5541 meter sehingga 16 Farsakh = 88,656 km.
Dan begitulah yang dilaksanakan sahabat seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar. Sedangkan hadits Ibnu Syaibah menunjukkan bahwa qashar shalat adalah perjalanan sehari semalam. Dan ini adalah perjalanan kaki normal atau perjalanan unta normal. Dan setelah diukur ternyata jaraknya adalah sekitar 4 burd atau 16 farsakh atau 88,656 km. Dan pendapat inilah yang diyakini mayoritas ulama seperti imam Malik, imam asy-Syafi’i dan imam Ahmad serta pengikut ketiga imam tadi.
D. Batasan Waktu Untuk Tetap Menjama` / Mengqashar
Batasan berapa lama seseorang boleh tetap menjama` dan mengqashar shalatnya, ada beberapa perbedaan pendapat di antara para fuqoha.  Imam Malik dan Imam As-Syafi`i berpendapat bahwa masa berlakunya jama` dan qashar bila menetap disuatu tempat selama 4 hari, maka selesailah masa jama` dan qasharnya.  Sedangkan Imam Abu Hanifah dan At-Tsauri berpendapat bahwa masa berlakunya jama` dan qashar bila menetap disuatu tempat selama 15 hari, maka selesailah masa jama` dan qasharnya.  Dan Imam Ahmad bin Hanbal dan Daud berpendapat bahwa masa berlakunya jama` dan qashar bila menetap disuatu tempat lebih dari 4 hari, maka selesailah masa jama` dan qasharnya.  Adapaun musafir yang tidak akan menetap maka ia senantiasa mengqashar shalat selagi masih dalam keadaan safar.  Ibnul Qoyyim berkata,”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal di Tabuk 20 hari mengqashar shalat”.
Disebutkan Ibnu Abbas :” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan shalat di sebagian safarnya 19 hari, shalat dua rakaat. Dan kami jika safar 19 hari, shalat dua rakaat, tetapi jika lebih dari 19 hari, maka kami shalat dengan sempurna”. (HR. Bukhari)
15. Tata cara shalat bagi orang sakit
Orang yang sakit tetap wajib mengerjakan shalat pada waktunya dan melaksanakannya menurut kemampuannya, sebagaimana yang diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firman_Nya: "Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu" [at-Taghâbun/ 64:16]. Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Imran Bin Husain Radhiyallahu 'anhu:
كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الصَّلَاةِ فَقَالَ صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
"Pernah penyakit wasir menimpaku, lalu aku bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang cara shalatnya. Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: Shalatlah dengan berdiri, apabila tak mampu, maka duduklah dan bila tak mampu juga maka berbaringlah” [HR al-Bukhari no. 1117].
Sesuai dengan hadits Imran Bin Husain Radhiyallahu 'anhu diatas maka dapat dijabarkan tentang tata cara shalat bagi orang yang sakit. Tata caranya yaitu:
1. Diwajibkan bagi orang yang sakit untuk shalat dengan berdiri apabila mampu dan tak khawatir sakitnya bertambah parah, karena berdiri dalam shalat wajib merupakan rukun shalat. Allah Azza wa Jalla berfirman: "Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu" [al-Baqarah/ 2:238]. Diwajibkan juga bagi orang yang mampu berdiri walaupun dengan menggunakan tongkat, bersandar ke tembok atau berpegangan pada tiang, berdasarkan hadits Ummu Qais Radhiyallahu 'anha yang berbunyi:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أَسَنَّ وَحَمَلَ اللَّحْمَ اتَّخَذَ عَمُودًا فِي مُصَلَّاهُ يَعْتَمِدُ عَلَيْهِ
"Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika berusia lanjut dan lemah, beliau memasang tiang di tempat shalatnya sebagai sandaran". [HR Abu Dawud & dishahihkan al-Albani dlm Silsilah Ash-Shohihah 319]. Demikian juga orang bungkuk diwajibkan berdiri walaupun keadaannya seperti orang rukuk. Syeikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah berkata, "Diwajibkan berdiri bagi seorang dalam segala caranya, walaupun menyerupai orang ruku' atau bersandar kepada tongkat, tembok, tiang ataupun manusia".
2. Orang sakit yang mampu berdiri namun tidak mampu ruku' atau sujud , dia tetap wajib berdiri. Dia harus shalat dengan berdiri dan melakukan rukuk dengan menundukkan badannya. Bila dia tak mampu membungkukkan punggungnya sama sekali, maka cukup dengan menundukkan lehernya, kemudian duduk, lalu menundukkan badannya untuk sujud dalam keadaan duduk dengan mendekatkan wajahnya ke tanah sebisa mungkin.
3. Orang sakit yang tidak mampu berdiri, maka dia melakukan shalatnya dengan duduk, berdasarkan hadits Imrân bin Hushain dan ijma para ulama. Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan, "Para ulama telah berijmâ' bahwa orang yang tidak mampu shalat berdiri maka dibolehkan shalat dengan duduk".
4. Orang sakit yang khawatir akan bertambah parah sakitnya atau memperlambat kesembuhannya atau sangat susah berdiri, diperbolehkan shalat dengan duduk. Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "Yang benar adalah, kesulitan (Masyaqqah) membolehkan seseorang mengerjakan shalat dengan duduk. Apabila seorang merasa susah mengerjakan shalat berdiri, maka dia boleh mengerjakan shalat dengan duduk", berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: "Allah Azza wa Jalla menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu" [al-Baqarah/ 2:185]. Sebagaimana orang yang berat berpuasa bagi orang yang sakit, walaupun masih mampu puasa, diperbolehkan baginya berbuka dan tidak berpuasa, demikian juga shalat, apabila berat untuk berdiri, maka boleh mengerjakan shalat dengan duduk.
Orang yang sakit apabila mengerjakan shalat dengan duduk sebaiknya duduk bersila pada posisi berdirinya berdasarkan hadîts ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha yang berbunyi:
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مُتَرَبِّعًا
"Aku melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat dengan bersila". Juga, karena duduk bersila secara umum lebih mudah dan lebih tuma'ninah (tenang) daripada duduk iftirâsy. Apabila rukuk, maka lakukanlah dengan bersila dan membungkukkan punggung serta meletakkan tangan di lutut, karena ruku' dilakukan dengan berdiri. Dalam keadaan demikian, masih diwajibkan sujud di atas tanah dengan dasar keumuman hadits Ibnu Abas Radhiyallahu 'anhu yang berbunyi:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ الْجَبْهَةِ وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَالْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ
"Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Aku diperintahkan untuk bersujud dengan 7 tulang, Dahi beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengisyaratkan dengan tangannya ke hidung, kedua telapak tangan, 2 kaki dan ujung kedua telapak kaki" [Muttafaqun ‘Alaihi].
Bila tetap tidak mampu, maka dia melakukan sujud dengan meletakkan kedua telapak tangannya ke tanah dan menunduk untuk sujud. Bila tidak mampu, hendaknya dia meletakkan tangannya di lututnya dan menundukkan kepalanya lebih rendah dari pada ketika ruku'.
5. Orang sakit yang tidak mampu melakukan shalat berdiri dan duduk, cara melakukannya adalah dengan berbaring, boleh dengan miring ke kanan atau ke kiri, dengan menghadapkan wajahnya ke arah kiblat. Ini berdasarkan sabda Rasulullah dalam hadits ‘Imrân bin al-Hushain Radhiyallahu 'anhu:
صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
"Shalatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu maka duduklah dan bila tidak mampu juga maka berbaringlah" [HR al-Bukhâri no. 1117].
Dalam hadits ini Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menjelaskan pada sisi mana seseorang harus berbaring, ke kanan atau ke kiri, sehingga yang utama adalah yang termudah dari keduanya. Apabila miring ke kanan lebih mudah, itu yang lebih utama baginya dan apabila miring ke kiri itu yang termudah maka itu yang lebih utama. Namun bila kedua-duanya sama mudahnya, maka miring ke kanan lebih utama dengan dasar keumuman hadits ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha yang berbunyi:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ التَّيَمُّنَ فِي شَأْنِهِ كُلِّهِ فِي نَعْلَيْهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ
"Dahulu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyukai mendahulukan sebelah kanan dalam seluruh urusannya, dlm memakai sandal, menyisir dan bersucinya" [HR Muslim no 396].
6. Orang sakit yang tidak mampu berbaring, boleh melakukan shalat dengan terlentang dan menghadapkan kakinya ke arah kiblat, karena hal ini lebih dekat kepada cara berdiri. Misalnya bila kiblatnya arah barat maka letak kepalanya di sebelah timur & kakinya di arah barat.
7. Apabila tidak mampu menghadap kiblat dan tidak ada yang mengarahkan atau membantu mengarahkannya, maka hendaklan dia shalat sesuai keadaannya tersebut, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: "Allah Azza wa Jalla tak membebani seseorang melainkan sesuai dgn kesanggupannya" [al-Baqarah/ 2:286].
8. Orang sakit yang tidak mampu shalat dengan terlentang maka shalatnya sesuai keadaannya dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: "Maka bertakwalah kamu kepada Allah Azza wa Jalla menurut kesanggupanmu" [at-Taghâbun/ 64:16].
9. Orang yang sakit dan tidak mampu melakukan shalat dengan semua gerakan di atas (Dia tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya dan tidak mampu juga dengan matanya), hendaknya dia melakukan shalat dengan hatinya. Shalat tetap diwajibkan selama akal seorang masih sehat.
10. Apabila shalat orang yang sakit mampu melakukan perbuatan yang sebelumnya tidak mampu, baik keadaan berdiri, ruku' atau sujud, maka dia wajib melaksanakan shalatnya dengan kemampuan yang ada dan menyempurnakan yang tersisa. Dia tidak perlu mengulang yang telah lalu, karena yang telah lalu dari shalat tersebut telah sah.
11. Apabila yang orang sakit tidak mampu melakukan sujud di atas tanah, hendaknya dia cukup menundukkan kepalanya dan tidak mengambil sesuatu sebagai alas sujud. Hal ini didasarkan hadîts Jâbir Radhiyallahu 'anhu yang berbunyi:
أَنَّ رَسُوْلَ الله عَادَ مَرِيْضًا فَرَآهُ يُصَلِّي عَلَى وِسَادَةٍ فَأَخَذَهَا فَرَمَى بِهَا، فَأَخَذَ عُوْدًا لِيُصَلِّي عَلَيْهِ فَأَخَذَهُ فَرَمَى بِهِ، قَالَ: صَلِّ عَلَى الأَرْضِ إِنِ اسْتَطَعْتَ وَإِلاَّ فَأَوْمِ إِيْمَاءً وَاجْعَلْ سُجُوْدَكَ أَخْفَضَ مِنْ رُكُوْعِكَ
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjenguk orang sakit, beliau melihatnya sedang mengerjakan shalat di atas (beralaskan) bantal, beliau pun mengambil dan melemparnya, kemudian mengambil kayu untuk dijadikan alas shalatnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Shalatlah di atas tanah apabila engkau mampu dan bila tidak maka dengan isyarat dengan menunduk (al-Imâ`) dan jadikan sujudmu lebih rendah dari ruku'mu".

















BAB III
KESIMPULAN
Dari semua yang telah penulis uraikan di atas maka dapat disimpulkan ;
1.Shalat merupakan penyerahan diri secara totalitas untuk menghadap Tuhan, dengan perkataan dan perbuatan menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan syara’
2.Shalat merupakan kewajiban bagi kaum muslim yang baligh berakal tanpa terkecuali.
3.Dalam shalat ada rukun sunah dan wajibnya.
4.Hikmah mendirikan shalat yaitu ;
a.       Shalat mencega perbuatan keji dan mungkar.
b.      Shalat mendidik perbuatan baik dan jujur.
c.       Shalat akan membangun etos kerja.
5. Jarak dibolehkannya seseorang mengqashar dan menjama’ shalat, menurut jumhur ulama; yaitu pada saat seseorang menempuh perjalanan minimal 4 burd atau 16 farsakh atau sekitar 88, 656 km.



DAFTAR PUSTAKA